Opini

Program Pesantrenpreneur, Mampukah Membangun Indonesia Lebih Maju?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Hanum Hanindita, S.Si.

wacana-edukasi.com, OPINI– Menindaklanjuti Perda tentang pesantren nomor 5 tahun 2022 yang diresmikan pada 16 Maret 2023 lalu, sebanyak 100 pesantren di Kabupaten Bekasi akan dijadikan percontohan pengembangan pesantrenpreneur secara nasional. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Sandiaga Salahuddin Uno secara resmi melaunching program pesantrenpreneur di Pondok Pesantren Al Baqiyatussholihat, Desa Sindangmulya Kecamatan Cibarusah. Sandiaga Uno memberikan apresiasi karena pesantren-pesantren sebagai lembaga pendidikan yang akan menghasilkan generasi muda yang memiliki akhlak yang baik dan juga menjadi wirausahawan sejati yang akan membangun Indonesia yang lebih maju.

Ia juga memproyeksikan bahwa melalui pesantrenpreneur menjadi upaya yang dilakukan untuk membangun kemandirian ekonomi pesantren dan peningkatan keterampilan santri. Diharapkan santri dalam generasi saat ini haruslah memiliki jiwa kewirausahaan, memiliki keterampilan atau skill tertentu yang dibutuhkan masyarakat, pintar dan dapat memanfaatkan peluang, memanfaatkan jaringan untuk berkolaborasi, dan mampu menggunakan teknologi. (bekasikab.go.id, 15/05/23)

Dari program pesantrenpreneur yang akan dilaksanakan, bisa tertangkap dengan jelas bahwa tujuan akhir dari program ini adalah melahirkan generasi muda yang tidak hanya pandai soal agama namun juga berjiwa wirausaha dan menguasai teknologi digital untuk mendukung karirnya dan mampu memberikan kontribusi di masyarakat. Seperti terdengar sempurna, namun benarkah program ini benar-benar mampu mewujudkan generasi pembangun peradaban dan membawa Indonesia menjadi lebih maju ?

Pemuda dengan segala potensi yang dimilikinya dan ditambah dengan jumlahya yang sangat besar memang menjadi kekuatan tersendiri. Dengan potensi ini maka wajar pemuda diharapkan menjadi tonggak dari terlaksananya pengembangan ekonomi yang dalam hal ini pesantren menjadi targetnya, dengan digiringnya santri melakukan peningkatan skill termasuk penguasaan teknologi digital. Jika kita lihat lebih jauh, program ini tidak lepas dari adanya kepentingan kapitalis. Pemuda didorong untuk meningkatkan keterampilan yang ujung-ujungnya dimanfaatkan sebagai alat penggerak roda kapitalis, meskipun menggunakan embel-embel pesantrenpreneur.

Narasi menjadikan pemuda berjiwa wirausaha sejatinya adalah jebakan yang akan mengeksploitasi pemuda. Ini menunjukkan pembajakan potensi pemuda muslim, sekaligus menjadikan mereka tumbal kepentingan kapitalis. Barat yang saat ini tengah mencengkeram kehidupan melalui sekulerisme kapitalisme tak pernah melewatkan sedikitpun kesempatan untuk memanfaatkan potensi pemuda. Potensi ini mereka giring, tak lain hanya bertujuan untuk mempertahankan eksistensi kapitalisme. Program pesantrenpreneur ini akan mengarahkan pemuda hanya fokus bekerja mencari cuan, meningkatkan keterampilan dan berprestasi dalam ukuran materi semata.

Di sisi lain, Barat juga ketakutan jika para pemuda memahami hakikat Islam secara benar, maka sejumlah usaha pun dilancarkan untuk menjauhkan generasi muda dari Islam. Tujuanya adalah untuk mencegah dan menghalangi kebangkitan umat Islam dengan memanfaatkan pemuda-pemuda muslim yang merupakan harta berharga. Program-proram yang dibuat mengarahkan pemuda menjadi tidak sadar akan pentingnya berjuang mengambil peran dalam rangka mengembalikan Islam di tempatnya yang mulia. Potensi pemuda muslim benar-benar telah dirampok dan dirampas.

Ini juga sebagai bukti kegagalan penguasa dalam menganalisa problem pendidikan dan perekonomian di negeri ini. Sebab dengan adanya program yang digadang-gadang sebagai terobosan baru untuk semakin mengoptimalkan SDM di pesantren ini, sekaligus diharapkan membawa kemajuan untuk bangsa, justru akan mengubah fungsi utama pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mencetak santri fakih fiddin menjadi berorientasi materi. Jika program ini berlanjut, maka ini merupakan bencana yang akan semakin menjauhkan generasi ini dari gambaran generasi qur’ani yang senantiasa diwarnai dengan ketakwaan yang dibangun dari kuatnya akidah sebab pemahaman mendalam para santri terhadap agama.

Sedangkan di sisi lain, ketika ekonomi kapitalisme masih tegak program-program yang disusun dengan tujuan untuk membangkitkan ekonomi masyarakat ini pun akhirnya juga bermuara pada kegagalan. Contohnya adalah justru angka pengangguran didominasi oleh mereka yang telah dibekali keterampilan dan materi kewirausahaan. (cnbcindonesia.com, 09/05/23).

Inilah akibat dari memandang cara mencetak generasi dengan kacamata yang berlawanan. Di dalam kacamata kapitalisme generasi muda, termasuk generasi muslim hanya dimanfaatkan sebagai alat untuk mengeksiskan rencana-rencana para kapitalis untuk tetap mempertahankan posisi mereka. Maka wajar generasi yang mereka dambakan adalah generasi berorientasi materi saja, terlebih jika sudah terserang pragmatis akut. Pada dasarnya tidak jadi masalah, jika seorang santri juga meningkatkan skill atau keterampilan demi menunjang kebutuhan ekonomi kelak, namun yang menjadi masalah adalah ketika jiwa wirausaha dicetak melalui sistem pendidikan kapitalisme yang berasal dari barat. Tentunya ini akan menghasilkan pengusaha-pengusaha bermental kapitalis, sekalipun dididik dalam pesantren. Kalaupun ada yang tidak seperti itu, jumlahnya pasti tidak banyak.

Berbeda dengan Islam ketika memandang pendidikan untuk generasi muda, karena jelas standar yang digunakan adalah aqidah. Oleh karena itu, ini harus menjadi perhatian bersama. Pesantren sudah semestinya dikembalikan menjadi lembaga pendidikan yang fokus mencetak generasi bertakwa yang memiliki kepribadian yang Islam. Dengan inilah generasi akan memiliki mental terbaik sebagai muslim yang produktif di berbagai bidang. Sehingga ketika nantinya para santri terjun dalam kancah kehidupan, apakah sebagai ulama, pengusaha, ilmuwan, ataupun profesi lain mereka melaksanakan itu semua sebagai bentuk ketaatan kepada Allah bukan semata-mata berorientasi materi saja.

Sungguh potensi pemuda muslim begitu luar biasa, manakala dibina dan diarahkan dengan tepat sesuai dengan standar syariat Islam. Potensi itu bahkan bukan hanya berskala lokal saja, tetapi berstandar dunia. Di masa keemasan Islam, banyak pemuda hasil binaan sistem pendidikan Islam yang telah berhasil membuktikan kepiawaiannya. Islam memandang pemuda sebagai agen perubahan. Islam memiliki cara terbaik untuk membina pemuda sesuai dengan potensinya untuk kebaikan umat manusia dan bukan sebagai budak kapitalisme. Oleh sebab itu, umat muslim tidak boleh tinggal diam. Harus ada upaya mengembalikan posisi dan potensi pemuda untuk meraih masa depan yang cerah yakni dengan Islam. Karena hanya Islamlah yang mampu memposisikan pemuda dengan baik sesuai dengan fitrahnya. Islam juga mendorong pemuda untuk beramal dan berkontribusi untuk kebaikan umat, bukan hanya untuk kemajuan bangsa saja yang sifatnya duniawi, namun juga berorientasi meraih ridho Illahi. Wallahu a’lam bishowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 34

Comment here