Opini

Propaganda Rekontekstualisasi Fikih, Relevankah?

blank
Bagikan di media sosialmu

LOleh: Nurhikmah (Tim Pena Ideologis Maros)

wacana-edukasi.com– Beberapa waktu lalu, Kementerian Agama menggelar Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-20 di kota Surakarta dengan mengangkat tema “Islam in a Changing Global Context: Rethinking Fiqh Reactualization and Public Policy”, atau artinya adalah “reaktualisasi fikih dan kaitannya dengan berbagai kebijakan publik.”

Jika ditelaah, tema yang diangkat dalam forum AICIS ke-20 tersebut berpotensi dapat merusak pemikiran kaum muslim terhadap ajaran agama Islam yang lurus. Hal ini dapat terlihat dari pandangan yang disampaikan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang mengatakan bahwa rekontekstualisasi sejumlah konsep fiqih atau ortodoksi Islam penting dilakukan dalam rangka merespon tantangan zaman.

Dikatakan pula bahwa Norma-norma agama, ada yang bersifat universal dan tidak berubah (kesempurnaan moral dan spiritual), serta ada yang bersifat fleksibel jika dihadapkan pada masalah spesifik yang muncul dalam situasi, waktu, dan tempat yang selalu berubah (Tribunnews.com, 25/10/2021)

Dalam pandangan ini menerangkan bahwa ajaran Islam akan diselaraskan dengan perkembangan zaman. Maksudnya Islam akan di sesuaikan dengan fakta atau fakta dijadikan standar dalam penentuan suatu hukum. Hal ini tentu tak sesuai dengan prinsip ajaran Islam itu sendiri. Sebab, yang menjadi sumber hukum dalam Islam adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah bukan realitas empiris.

Disamping itu, setidaknya ada 14 kondisi pendorong yang menjadi alasan penting diangkatnya tema reaktualisasi fikih dan kaitannya dengan berbagai kebijakan publik dalam AICIS-20 tersebut. Salah satunya disebutkan dalam poin ke-9 bahwa “setiap usaha untuk mendirikan negara Islam-al-imamah al-udzma universal (Imamah Agung), juga dikenal sebagai al-khilafah (Khilafah) – hanya akan menimbulkan bencana bagi umat Islam, karena akan ada banyak pihak yang berebut untuk menguasai umat Islam di seluruh dunia.”

Dalam pandangan tersebut, tentu lagi-lagi yang akan kembali disudutkan dalam hal ini adalah perjuangan penegakan negara Islam (khilafah). Khilafah dipandang sebagai ancaman bagi dunia. Padahal khilafah sendiri merupakan salah satu dari ajaran Islam yang tidak mungkin dapat disingkirkan begitu saja dengan alasan tak lagi sesuai dengan perkembangan zaman.

Imam al-Mawardi menyatakan, “Menegakkan Imamah (Khilafah) di tengah-tengah umat merupakan kewajiban yang didasarkan pada Ijmak Sahabat.” (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 5).

Tanpa disadari, sejatinya acara tersebut digelar sebagai upaya penanaman paham sekularisme pada benak kaum muslim. Yaitu sebuah paham yang telah lama tumbuh subur di tengah-tengah kaum muslim. Dimana, aturan kehidupan dipisahkan dengan aturan agama.

Sebagai akibatnya, dalam pengelolaan sistem ketatanegaraan aturan dibuat sesuai kepentingan para pemilik kekuasaan. Jikapun, aturan tersebut diambil dari nas syariat, nas tersebut akan ditafsirkan sesuai dengan kehendak dan kepentingan beberapa pihak tertentu.

Misalnya, hukum waris yang sudah jelas dan tegas di dalam al-Quran, begitu direkontekstualisasikan dengan feminisme, justru ditabrak begitu rupa. Padahal fikih bukanlah hasil dari buah pemikiran manusia sebagaimana pendapat filosof atau pemikir. Tetapi merupakan hasil dari pemahaman terhadap wahyu (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dengan kaidah yang telah ditetapkan syariat.

Maka pertanyaannya, apakah Rekontekstualisasi Fikih, memang benar sesuai dengan ajaran Islam ?

Dalam firman Allah SWT. pada QS. Al-Maidah: 3 dijelaskan bahwa satu-satunya agama yang sempurna hanyalah agama Islam. Dengan demikian, dalam kondisi apapun, atau bagaimanapun perubahan zaman yang terjadi, Islam tentu akan tetap menjadi satu-satu agama yang sempurna dan merupakan solusi atas setiap permasalahan yang terjadi. Al-Qur’an dan As-Sunnah akan tetap menjadi standar penentuan sebuah hukum, bukan malah mencoba menjadikan fakta sebagai standar hukum.

Dalam menghadapi dan menyelesaikan segala permasalahan yang timbul dari perubahan zaman, Islam telah menetapkan sebuah metode yang khas yakni melalui jalan Ijtihad. Ijtihad merupakan proses penggalian hukum terhadap suatu fakta baru yang belum dijelaskan hukumnya secara rinci oleh Syariat, dengan menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai standar penggalian hukum.

Dalam ajaran Islam, proses ijtihad tentu berbeda dengan rekontekstualisasi fikih yang diwacanakan saat ini. Ijtihad hanya berlaku pada nas-nas syariah yang zhanni, yang masih ada ruang ijtihad di dalamnya. Bisa juga terkait nas-nas yang mengandung ‘illat. Sedangkan rekontekstualisasi terhadap fikih justru merupakan upaya penafsiran terhadap nas syariat secara dangkal, yang menjadikan perkembangan zaman sebagai standar. Alhasil, hasil penafsiran yang diperoleh tentu berpotensi menyeleweng dari hukum syariat yang semestinya.

Oleh sebab itu, dapat diketahui dengan jelas bahwa sejatinya rekontekstualisasi terhadap fikih Islam hanyalah upaya para penguasa kapitalis menafsirkan nas-nas syariat sesuai kehendaknya demi melanggengkan kursi kekuasaannya. Dan tentu hal ini sangat bertolak belakang dengan proses penggalian hukum yang shahih dan telah ditetapkan oleh kaidah syariat yakni melalui metode ijtihad para ulama.

Wallahu’alam Bisshawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 6

Comment here