Oleh: Nurhayati, S.S.T.
wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Nampaknya proyek IKN yang digadang-gadang sebagai mega proyek menjelang berakhirnya kepemimpinan era Jokowi masih menuai polemik. Meski banyak para pakar dan penagamat yang kontra atas proyek ini tidak menyurutkan tekad penguasa era ini untuk tetap menjalankan proyek ini.
Ditengah tekad yang membara itu lagi-lagi menghasilkan masalah baru yakni pembengkakan anggaran. Sebagaimana dilansir dari Cnbcindonesia.com (21/3/2023) disana dikatakan bahwa Direktorat Jenderal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa anggaran Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara diperkirakan akan membengkak hingga sekitar Rp 30 triliun, dari anggaran awal Rp 23 triliun pada tahun ini.
Hal ini disebabkan oleh permintaan tambahan anggaran sebesar Rp 7 – Rp 8 triliun yang diusulkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kementerian Perhubungan.
Ditengah kondisi perokonomian sudah jatuh tersungkur pemerintah masih menganggap bahwa proyek IKN akan berjalan lancer tanpa hambatan.
Sebenarnya untuk apa repot mengurusi proyek IKN sedangkan kondisi ekonomi masih banyak yang butuh perhatian? Disisi lain, PR penguasa periode ini masih banyak yang belum tuntas seperti pengentasan kemiskinan, pengangguran kian meningkat, korupsi berjamaah para pejabat, utang Indonesia tembus 7000 T. Jika dipaksakan, apakah tidak menjadi hambatan besar yang baru dikemudian hari?
Proyek IKN Tidak Berimplikasi Pada Kesejahteraan Rakyat
Proyek IKN ini pendanaanya adalah dari APBN yang dapat kita ketahui bahwa kas APBN adalah uang yang diperuntukkan untuk rakyat. Hari ini kondisi rakyat Indonesia saat pandemi Covid 19 lalu mengalami peningkatan menjadi 27 juta orang miskin. Dengan adanya proyek IKN justru semakin menguras anggaran negara yang besar kemungkinannya tidak banyak berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Bahkan ketika wacana pembangunan IKN digulirkan pakar ekonomi Faisal Basri menuturkan bahwa proyek ini sarat akan kepentingan oligarki. Pemerintah dalam hal ini Presiden RI, mengemukakan alasan pemindahan IKN ke Kalimantan adalah bencana banjir yang kerap menimpa Jakarta, pemerataan pembangunan, ketersediaan lahan dan dukungan masyarakat lokal disana.
Namun melihat polemik negeri yang begitu kompleks, pemidahan IKN ke Pulau Kalimantan disana justru menambah masalah baru. Seperti pembangunan besar-besaran disana jelas akan mempengaruhi kondisi hutan disana. Bukan hal yang tidak mungkin puluhan tahun kedepan tak ubahnya seperti DKI Jakarta yang kerap akan berlangganan dengan banjir.
Pemindahan Ibu Kota Negara, Bukan Persoalan Utama
Sebenarnya pemindahan IKN ini tidak akan menuai masalah ketika pembangunannya didasarkan pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat, bukan segelintir elite dan korporasi. Untuk memindahkan ibu kota baru tentu memerlukan perencanaan yang matang. Pemindahan ibu kota mestinya dilakukan secara optimal dari aspek kota baru yang dibangun, kota yang ditinggalkan, dan selama masa transisi tersebut pelayanan rakyat tidak boleh terganggu.
Pada masa peradaban Islam, setidaknya ibu kota negara Khilafah mengalami perpindahan sebanyak empat kali. Semua perpindahan tersebut memiliki alasan politik. Melansir dari laman fahmiamhar.com, pada 30 Juli 762 M, Khalifah al-Mansur mendirikan Kota Baghdad. Al-Mansur percaya bahwa Baghdad adalah kota yang akan sempurna untuk menjadi ibu kota Khilafah.
Modal dasar kota ini adalah lokasinya yang strategis dan memberikan kontrol atas rute perdagangan sepanjang sungai Tigris ke laut dan dari Timur Tengah ke Asia. Tersedianya air sepanjang tahun dan iklimnya yang kering juga membuat kota ini lebih beruntung daripada ibu kota Khilafah sebelumnya, yakni Madinah atau Damaskus.
Setiap bagian kota yang direncanakan untuk jumlah penduduk tertentu dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan.
Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan. Sebagian besar warga tidak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua didukung oleh infrastruktur yang berkualitas demi terwujudnya pemenuhan hak-hak yang diperoleh oleh rakyat dari negara.
Sederhananya, seperti yang dipaparkan diatas terkait prinsip pemindahan dan pembangunan kota di sistem Khilafah. Segala aspek akan dipertimbangkan demi mencapai kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat. Bukan sekadar mengejar ambisi tanpa visi yang jelas. Wallahu ‘alam bishowab[]
Views: 7
Comment here