Opini

Proyek Pembangunan Kereta Cepat untuk Kepentingan Oligarki

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Sally Vania

wacana-edukasi.com, OPINI– Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Kereta Cepat Indonesia-Cina (KCIC) adalah bagian dari mega proyek global Cina yang bernama Belt Road Initiative (BRI) yang juga populer dengan sebutan Jalan Sutra Abad 21. BRI sendiri adalah wujud unjuk gigi Cina sebagai kekuatan ekonomi baru dunia. Sementara itu, Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang bergabung menjadi anggota BRI dengan maksud meningkatkan perekonomian secara signifikan dalam bentuk kerjasama Cina-Indonesia yang terus meningkat. Realisasi BRI di Indonesia yakni berupa penanaman modal di sektor infrastruktur, salah satunya proyek KCJB ini. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa Indonesia tidak ubahnya surga investasi bagi negara-negara kapitalis besar dunia, Cina hanya salah satunya.

Namun, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat (Jabar) Meiki W Paendong mengungkap setidaknya ada 15 laporan dari kelompok warga yang terdampak proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Mayoritas melaporkan pencemaran sungai, pencemaran sawah, dan kerusakan permukiman akibat proyek tersebut (Alinea.id 10/10/2023).

Unsur-unsur dalam pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung merupakan unsur pelanggaran yang dapat dikenakan sanksi administrasi dan pidana. Walaupun demikian, unsur pelanggaran ini menjadi tidak berlaku dikarenakan adanya Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2015 yang berisi perintah kepada setiap kepala daerah untuk mengakomodasi proyek kereta api Jakarta-Bandung ini ke dalam RTRW-nya. Akibat adanya Perpres ini, setiap daerah wajib melakukan penyesuaian terhadap Rencana Tata Ruang Wilayahnya. Selain itu, hilangnya mata air yang ditengarai akibat pengerjaan proyek kereta cepat patut diduga termasuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Hal itu mengacu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).

Walhi Jabar berpendapat, keberadaan kereta cepat merupakan bentuk layanan pemerintah pada kelompok oligarki properti dan kaum kaya. Dengan begitu sebenarnya pemerintah malah membuka lebar jurang pemisah strata sosial di masyarakat. Kesenjangan sosial kelas miskin dan kaya akan semakin parah di saat pemerintah sendiri yang menciptakan dan membiarkan itu terjadi (bandungbergerak.id 15/10/2023). Proyek kereta cepat merupakan pintu masuk proyek properti lainnya. Perampasan ruang hidup rakyat, pemindahan paksa, dan alih fungsi lahan skala besar kelak dipastikan terjadi.

Total nilai utang Indonesia kepada China telah mencapai jumlah yang fantastis, yakni di angka USD 20,225 miliar atau setara dengan Rp 315,1 triliun pada tahun 2022. Dan kedepan, kekhawatiran resiko gagal bayar utang Indonesia semakin menghantui. Kekhawatiran ini bukanlah tanpa dasar, pasalnya dari negara-negara yang terlibat dalam proyek BRI, beberapa telah dinyatakan gagal bayar, salah satunya Sri Lanka terkait proyek pembangunan pelabuhan Hambantota.

Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan risiko terjerat utang, di antaranya karena China memberikan pembebanan skema kredit yang tinggi. Selain itu, persyaratan pinjaman untuk proyek BRI juga memunculkan polemik tersendiri karena pencairan loan mewajibkan negara mitra membeli 70% bahan baku dari China dan mempekerjakan para pekerja China dengan jumlah yang besar. Kondisi ini tentu saja bukanlah kerja sama yang imbang, melainkan cenderung menguntungkan investor China dan imbasnya akan memberatkan pelaku industri lokal.

Dalam konteks Indonesia, perjanjian guna mendorong penggunaan mata uang Yuan dan Rupiah dalam transaksi luar negeri juga memunculkan kekhawatiran lain. Indonesia perlu memperhitungkan risiko besar dalam penerapan perjanjian ini karena akan berkaitan dengan kestabilan ekonomi dalam negeri. Pasalnya, China kerap mendevaluasi mata uangnya. Peraturan devaluasi ini telah dilakukan China beberapa tahun belakangan dengan tujuan untuk mengamankan ekonominya. Oleh karena itu, ketika Indonesia mulai intensif menggunakan mata uang Yuan maka dikhawatirkan peredaran barang impor dari China akan membanjiri pasar lokal karena harganya yang jauh lebih murah dan mengancam eksistensi pasar domestik, terutama sektor UMKM Indonesia dan industri yang berkaitan dengan bahan baku konstruksi-infrastruktur.

Terlepas dari implikasi ekonomi di atas, ketergantungan Indonesia pada China juga akan menimbulkan implikasi politik. Salah satunya mengenai isu Laut China Selatan yang mengancam kedaulatan Indonesia, khususnya di perairan Natuna. Ketergantungan dalam bidang ekonomi dengan China akan memberatkan posisi Indonesia untuk memberikan perlawanan dan sikap yang tegas terhadap tekanan China yang semakin agresif di kawasan tersebut.

Negara yang tidak menjadikan Islam sebagai ideologi, telah nyata hanya akan berakhir menjadi negara jajahan bagi negara adidaya. Hanya negara yang menerapkan Islam sebagai sistem lah yang mampu menjadikannya menjadi negara yang mandiri, bebas dari penjajahan cengkaraman negara asing, dan itu adalah Khilafah. Pemahaman akan sabda Rasulullah ﷺ bahwa Islam itu tinggi dan tidak ada yang melebihi ketinggiannya menjadikan Khilafah sebagai negara pertama dan berpengaruh dalam perpolitikan global. Visi politik luar negeri Khilafah akan menjadikannya tidak ada negara asing yang berani mendikte. Sistem ekonomi Islam pun bersifat mandiri, tidak memberi celah sedikitpun bagi negara manapun untuk masuk dalam kedok investasi asing demi pembangunan negeri berupa pinjaman luar negeri atau apapun bahasa manisnya. Haram hukumnya bagi Khilafah menerima bantuan hutang dari negara kafir yang tentunya dengan skema riba yang akan menjadi alat penjajahan.

Pada masa kekhilafahan pernah dibangun megaproyek Hejaz Railway. Hejaz Railway atau jalur kereta api Hijaz adalah jalur kereta api yang dibangun pada masa Khilafah Utsmaniyah pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II. Jalur ini membentang antara Damaskus-Amman sampai ke Madinah. Tujuan pembangunannya adalah mempermudah dan meningkatkan pelayanan jemaah haji. Proyek Hejaz Railway ini juga mengiringi program telekomunikasi dengan pemasangan kabel telegraf di seluruh wilayah Khilafah. Biaya yang diperlukan untuk pembangunan Hejaz Railway adalah sebesar US$16 juta berdasarkan nilai dolar saat itu. Selain dana dari kas negara, pembangunan Hejaz Railway juga didukung sumbangan dari kaum muslim, angkatan bersenjata, tokoh-tokoh masyarakat, bahkan dari kantong pribadi Sultan Abdul Hamid II, yang pastinya tanpa utang luar negeri. Perencanaan yang matang dari Khilafah pada masa itu dalam pembangunan infrastruktur akan menghasilkan kemaslahatan bagi publik. Tidak ada kesempatan bagi oligarki untuk mengambil keuntungan atas kebijakan yang ditetapkan. Tidak ada ironi yang dirasakan publik, yang ada adalah layanan prima dari Khilafah kepada publik. Sudah saatnya umat Islam menyerukan untuk menerapkan Islam secara kaffah agar kebahagiaan dunia akhirat dapat teraih. Wallahu’alam.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 54

Comment here