Oleh : Ummu Rifazi, M.Si
Wacana-edukasi.com,OPINI--Penilaian rakyat terhadap kinerja Presiden Joko Widodo disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi dalam Rilis Temuan Survei Nasional: Evaluasi Publik Terhadap 10 Tahun Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Jumat 4 Oktober 2024.
Hasil jajak pendapat yang melibatkan 3.540 responden di seluruh Indonesia tersebut bahwa sampai September 2024, sebanyak 75 persen publik puas dengan kinerja Jokowi. Menurut Deputi Protokol dan Media Sekretariat Presiden Yusuf Permana, hasil ini mencerminkan kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi (nasional.tempo.co, 04-10-2024).
Dongkrak Pencitraan : Andalan Demokrasi
Hasil Survei Indikator Politik Indonesia tersebut patut dipertanyakan. Pasalnya hasil yang disampaikan bertolak belakang dengan realitas di lapangan. Laporan yang disampaikan jelas hanya pencitraan belaka. Karena sejatinya pemerintahan rezim Jokowi menuai banyak persoalan di tengah masyarakat.
Beberapa kebijakan kasat mata yang menganakemaskan para pemilik modal diantaranya perampasan ruang hidup, persekusi, korupsi, komersialisasi pendidikan, privatisasi tambang, perluasan obyek pajak, pembajakan legislasi. Semua kebijakan dalam ranah tersebut menunjukkan keberpihakan negara pada oligarki dan bukan kepada rakyatnya sendiri.
Manipulasi data untuk mendongkrak popularitas seseorang merupakan keniscayaan dalam sistem demokrasi. Karena sejatinya petahana dapat memenangkan opini umum jika ditingkatkan popularitasnya. Pencitraannya lazim dilakukan lewat instrumen penting dalam sistem batil ini yaitu badan jajak pendapat (media-umat.info, 03-01-2023).
Politik pencitraan sudah jelas berbahaya, karena hanya menawarkan janji-janji politik yang manis tapi minus dari pelaksanaannya. Selain itu, petaka lain dari politik pencitraan adalah rakyat terjebak sehingga semakin mengokohkan sistem demokrasi. Karena petahana yang terpilih akan menjalankan aturan-aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan, suara terbanyak atau bahkan pesanan asing yang dirumuskan dalam lembaga legislatif sistem batil ini.
Meskipun pencitraan tersebut nyata sebagai kebohongan terhadap publik, namun cara seperti ini sah terjadi dalam sistem demokrasi. Teori politik ala Machiavelli (1469-1527) teraplikasi secara faktual dalam sistem batil ini.
Dalam bukunya Il Principe, Machiavelli mengatakan bahwa dunia politik itu bebas nilai. Maknanya, politik tidak perlu dikaitkan dengan etika (moralitas). Yang terpenting dalam politik adalah bagaimana seorang penguasa dapat melanggengkan kekuasaannya. Sekalipun upaya tersebut ditempuh secara inkonstitusional bahkan amoral.
Demokrasi memang sistem yang cacat sejak kelahirannya. Cacatnya bersifat permanen, tidak bisa diperbaiki, karena jauh dari tuntunan Ilahi. Oleh karenanya sistem ini mustahil menghasilkan hal-hal yang baik.
Bahkan sistem sesat ini pun akhirnya menyeret semua hal yang baik menjadi buruk, termasuk manusianya. Para pemimpin yang baik dan amanah mustahil lahir dari sistem rusak ini. Jadi, apakah kita masih mau bertahan pada sistem rusak dan amoral ini?
Kapabilitas Pemimpin Hakiki dalam Sistem Sahih
Sistem kehidupan terbaik hanya akan lahir dari tuntunan Ilahi, yaitu Islam. SyariatNya sempurna dan memuliakan umatNya. Sebagaimana firmanNya “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu” (QS Al Maidah : 3).
Ajaran Islam bagaikan cahaya yang menerangi dan menuntun manusia keluar dari gelapnya kebodohan dan kesesesatan. Segala yang rusak, dibenahi menjadi baik melalui syariatNya yang mulia. Setiap hal dijaga dengan keluhuran ajaranNya sehingga senantiasa berada di jalan yang diridhoiNya.
Dari sistem kehidupan yang luhur ini, akan lahir sistem periayahan (pengurusan) terbaik yang khas, berbeda dengan sistem pengaturan kehidupan lainnya. Periayahan dan kepemimpinan dalam Islam kental dengan dimensi ruhiah. Amanah dijalankan dilandasi keimanan dan ketakwaan, untuk menegakkan syariat Allah secara kaffah.
Islam menghadirkan pemimpin dalam Islam menjalankan tugasnya sebagai pengurus dan penjaga umat. Hingga tertunaikan semua hak rakyat sesuai syariat, baik kesejahteraan lahir maupun batinnya, juga keselamatan dunia maupun akhiratnya.
Untuk dapat mewujudkan semua tersebut, Islam mengamanahkan kepemimpinan hanya kepada yang berhak saja. Tentangnya Allah ta’alaa berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS An-Nisa: 58).
Begitu besar dan beratnya tanggung jawab seorang pemimpin, sehingga peringatan Allah kepada pemimpin yang abai dalam menjalankan amanahnya sangatlah keras. Oleh karenanya Islam sangat memperhatikan kapabilitas pemimpin, agar tidak terjadi pengkhianatan terhadap amanah kepemimpinanannya.
Firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS Al-Anfal: 27).
Kanjeng Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda “Barang siapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak mencurahkan kesetiaannya, maka Allah haramkan surga baginya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Islam telah menetapkan syarat yang harus dimiliki seorang pemimpin atau kepala negara yaitu : Muslim, laki-laki, baligh dan berakal, adil, merdeka (bukan budak), dan mampu melaksanakan tugas sebagai pemimpin atau kepala negara.
Dalam memberikan amanah kepemimpinanan kepada yang berhak menerimanya sebagaimana keteladanan Kanjeng Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalaam. Pada masa itu sahabat Abu Dzar al-Ghifari rhadiyallahu ‘anhu pernah menawarkan diri untuk diangkat menjadi penguasa daerah. Kanjeng Nabi Shallahu ‘alaihi wassalam menjawabnya “Wahai Abu Dzar, sungguh engkau itu lemah, sementara jabatan (kekuasaan) itu Amanah. Sungguh pada Hari Kiamat jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil amanah itu dengan benar dan menunaikan kewajiban yang ada di dalamnya.”
Dari keteladanan Kanjeng Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam jelas terlihat bahwa dalam Islam, kepemimpinan tidak sekadar mendudukkan seorang Muslim di panggung kekuasaan. Peran utama pemimpin dalam Islam adalah menggunakan kekuasaan untuk menjaga, menerapkan dan mendakwahkan Islam.
Seorang pemimpin bertanggung jawab dunia akhirat dalam mengurus rakyat dengan menjalankan hukum-hukum Islam secara kaffh. Smuanya hanya bisa terlaksana dalam negara Islam Daulah Khilafah Islamiyyah. Maasyaa Allah, allahumma arimna bil Islam, wallahu a’lam bisshowwab.
Views: 9
Comment here