Opini

Pulau Rempang dan Solusi Komprehensif Agraria dalam Islam

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Lely Novitasari
Aktivis Generasi Peradaban Islam

wacana-edukasi.com, OPINI– Konflik pulau Rempang belum menemui titik terang. Kabar ditangkapnya beberapa warga Rempang yang masih di tahan semakin memperuncing konflik antara masyarakat dengan rezim. Jika rezim masih bersikeras mengambil lahan untuk kepentingan investor, bukan tidak mungkin degradasi rasa percaya masyarakat Rempang mulai luntur pada negara sebagai pengayom masyarakat.

Menteri investasi Bahlil memberikan statemen di tanggal 25 september, bahwa proyek Eco City yang rencananya akan dibangun sudah memiliki AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup). Hanya saja muncul keraguan saat surat undangan konsultasi publik untuk penyusunan AMDAL baru keluar di tanggal 27 september 2023. 

Tapi anehnya, Menteri Koordinasi Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan pun mengonfirmasi bahwa dokumen AMDAL proyek Rempang Eco-City saat ini masih dalam proses. Merdeka(dot)com

Lalu, bagaimana bisa AMDALnya baru mau diproses sementara warga Rempang sudah diminta mempercepat angkat kaki dari wilayah tersebut mengikuti arahan Pemerintah?

Direktur Walhi (Wahana Hidup Lingkungan), Riau Boy Even Sembiring mengutarakan bahwa sebelum menetapkan sebuah kawasan seharusnya dilakukan studi dan penelitian mengenai tingkat bahayanya bagi ekosistem. Studi itu lantas dilembagakan dalam bentuk AMDAL. Hal ini dilakukan agar tidak sekadar untuk memenuhi syarat administratif saja.

Namun seakan tak mau kalah Menteri Investasi Bahlil mengeluarkan pernyataan: “Tidak peduli dengan lingkungan hidup, dengan sejarah, dengan budaya dan dengan 16 kampung tua. Bahlil hanya khawatir dengan investasi Tiongkok di Rempang. Ia memposisikan seakan sejarah dan peradaban lahirnya Indonesia lebih rendah dibanding investasi,” tuturnya. 

Rakyat mana yang tidak sakit hati ketika disebutkan investasi lebih bernilai tinggi dibanding keberadaan rakyatnya sendiri? Ketidakberpihakkan rezim pada kondisi rakyat semakin mencerminkan wajah negeri ini sesungguhnya kian kapitalistik. Dimana sistem hari ini lebih mengayomi para pemilik modal ditambah penguasa yang menjadi pengusaha.

Padahal kalau negeri ini ingin dapat cuan yang melebihi investasi, mudah saja. Sebab wilayah Rempang dan sekitarnya termasuk wilayah yang eksotis, menjadi jalur perdagangan perairan yang tersibuk di Asia. Bayangkan jika negara Indonesia menutup jalur perdagangan ini yakni di selat Malaka, apa yang terjadi? Kacau distribusi perdagangan berbagai negara.

Tak pelik sengketa lahan/ tanah ini menjadi ujian atas konsep kedaulatan di tangan rakyat. Siapa hakikatnya yang berdaulat ketika rakyat justru banyak dirugikan dalam berbagai kasus sengketa tanah/ agraria hari ini?

Mengingat kembali sejarah di tanah kelahiran demokrasi yaitu Yunani, bapak pendiri filsafat Yunani Socrates, yang memprotes demokrasi itu sendiri dengan menganalogikan penumpang yang berada dalam sebuah kapal.

Dikutip dari media kompas yang mengutip laman The School of Life, dalam Buku Enam Republik, Socrates berkata pada karakter Adeimantus, “Jika Anda melakukan perjalanan melalui laut,” tanya Socrates. “Siapa yang idealnya memutuskan dan bertanggung jawab atas kapal? Semua orang atau orang yang paham pelayaran?”

Adeimantus menjawab, “tentu yang terakhir.” Namun, ternyata hanya ada satu orang saja yang ahli, fatalnya tidak disukai dan akhirnya yang dipilih penumpang lain secara acak.

Inilah yang menjadikan Socrates membenci demokrasi. Ia menggambarkan seharusnya dalam memilih pemimpin sebuah negara yang memberikan hak suara dalam pemilihan adalah keterampilan, bukan intuisi acak atau sekedar pilihan suara terbanyak.

Dikaitkan dengan kondiri hari ini sangat relate bahwa celah munculnya kepemimpinan oligarki dan kesewenang-wenangan dalam memakai jabatannya untuk kepentingan pribadi ataupun para investor sangat mungkin bisa terjadi. Sebab setiap kebijakan dilakukan melalui proses voting dan suara mayoritaslah yang menang. Dan ketika mayoritas yang memvoting kebijakan tidak memiliki kapasitas yang layak, hasilnya sudah pasti bisa ditebak, kekacauan dan kedzaliman di berbagai bidang.

Tanah Rempang Bukan Tak Bertuan

Mengutip tulisan ustadz Niko Pandawa sebagai peneliti sejarah Islam di Nusantara menyebutkan, jauh sebelum berdirinya negara Indonesia, Rempang dan pulau sekitarnya sudah berdaulat dan termasuk di bawah kepemimpinan kesultanan Riau Lingga yang menginduk pada Kekhilafahan Ustmani. Hal ini mengisyaratkan bahwa keberadaan masyarakat Rempang-Galang diakui sebagai masyarakat asli yang telah lama mendiami wilayah itu dan bukan pendatang.

Ditambah adanya bukti catatan Furu’ al-Ma’mur, Undang-Undang Kerajaan Lingga Riau oleh Yang Dipertuan Muda X Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi, semakin mengukuhkan bahwa pemerintahan Kesultanan Riau Lingga lah yang mengatur wilayah Rempang-Galang dan sekitarnya.

Dari fakta sejarah ini negara tidak mengusik dan merelokasi jika masyarakatnya tidak bersedia. Atau jika memang alasannya urgen seharusnya menggunakan jalur diskusi dengan duduk bersama dan mendengarkan aspirasi rakyat agar didapatkan solusi yang saling membawa manfaat untuk semua pihak.

Janganlah negeri ini kembali menjadi bangsa yang primitif, seenaknya mengusir penduduk menggunakan kekuasaan. Untuk menjadi bangsa yang besar, negara haruslah mengenali sejarahnya. Tanpa mengenal sejarah, ibarat manusia yang amnesia tidak mengenal siapa dirinya di masa lalu, sehingga bisa lebih bijak dalam menjalankan amanahnya.

Keberadaan Indonesia sejak masa diproklamirkan sebagai bangsa yang merdeka dari penjajahan jelas tidak lepas dari perjuangan umat Islam, termasuk di wilayah Rempang-Galang.

Masih mengutip kitab Tuhfat An-Nafis karya pahlawan nasional Raja Ali Haji, masa perang Riau I (1782-1784) saat melawan Belanda, penduduk setempat yakni Rempang-Galang dan sekitarnya menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah, kakek Raja Ali Haji. Kemudian, dalam Perang Riau II (1784-1787), mereka di bawah pimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah, ikut berjuang melawan Belanda.

Dari fakta sejarah ini, penguasa harus berkaca, ketika pemilu tiba selalu umat Islam yang lebih dulu didatangi. Karena memang umat Islam sebagai mayoritas di negeri ini yang suaranya menjadi primadona sebab memiliki peran paling signifikan. Tapi kini justru mereka lebih sering hanya dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan. Suaranya dibutuhkan ketika penguasa ada maunya.

Hakikinya berusaha mengubah kebijakan di sistem yang cacat, bagaikan menulis di atas air, tentu sulit. Akan banyak kepentingan elit penguasa dan pengusaha yang menunggangi arah kebijakan yang diambil. Masihkah layak berharap dengan sistem demokrasi-kapitalis seperti saat ini?

Islam, agama dan politik

Sebagai agama mayoritas penduduk di negeri ini, tentu harusnya negara tidak perlu repot-repot mengadopsi sistem lain ketika memimpin umat Islam. Sebab Islam diturunkan sepaket dengan sistem yang mengatur kehidupan umat manusia secara umum. Termasuk memberikan solusi atas seluruh problematika manusia.

Dalam konteks peemasalahan agraria, Rasulullah Saw. mengajarkan harta kekayaan termasuk lahan yang ada pada sebuah negara dalam pandangan Islam terbagi menjadi tiga bagian, yakni: milik umum, milik negara, dan milik individu.

Ketika ada lahan/tanah yang tidak digarap selama 3 tahun maka akan dikembalikan pada negara untuk dikelola. Kemudian jika ada individu yang menemukan lahan tidak bertuan, cukup diberikan patok batasan tanah yang mampu dikelolanya maka lahan/tanah itu bisa menjadi miliknya.

Dengan dibagi menjadi 3 jenis kepemilikan , sistem Islam tentu akan meminimalisir privatisasi lahan/tana, juga termasuk meminimalisir negara mengambil paksa tanah milik rakyatnya atas nama investasi semata. Apalagi wilayah Rempang yang telah dihuni sejak lama bahkan diakui keberadaannya secara empiris. Maka lahan tersebut termasuk milik pribadi. Dalam pandangan Islam yang menjadi sebab kepemilikan lahan diantaranya karena waris, menghidupkan tanah yang mati, bekerja, dan pemberian negara.

Kalaupun negara ingin mengelola wilayah Pulau Rempang dan sekitarnya menjadi wilayah industri, perlu adanya diskusi dan izin dari masyarakat setempat, bukan main paksa.

Realita wilayah Rempang dan sekitarnya menjadi wilayah yang eksotis sebab sangat strategis dilewati perairan jalur perdagangan laut yang sangat penting. Tentunya pertimbangan ini seharusnya membuat negara mempertahankan wilayah tersebut dengan memberdayakan masyarakat dan negerinya sendiri, bukan diserahkan ke asing.

Secara empiris dan historis, sistem Islam mempunyai bukti kuat bagaimana penerapan Islam menjaga lahan strategis untuk kebutuhan umat yang lebih luas.

Saat di masa Rasulullah Saw. Abyadh bin Hamal Al-Mazini meminta kepada Rasulullah Saw. hak untuk mengelola tambang garam. Lalu Rasulullah SAW memberikannya. Setelah Abyadh pergi, ada shahabat yang berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.”

Rasulullah SAW kemudian bersabda: “Tariklah kembali barang tambang tersebut darinya.” Muhammad Husein Abdillah (1990), ad-Dirosah fi al Fikry al Islamy, Beirut: Dar al Bayariq

Sangat jelas Islam menjadikan negara sebagai pihak yang bertanggungjawab mengurus urusan rakyat termasuk menjaga hak-hak rakyat. Penting diperhatikan sistem Islam menetapkan kedaulatan di tangan syara’ (hukum Allah Swt.) dan umat sebagai pemiliki kekuasaan, sebab Islam merupakan agama ruhiyah dan siyasiyah. Jauh berbeda dengan demokrasi-kapitalis-liberal yang memiliki banyak celah hingga mudah ditunggangi kepentingan elit penguasa dan pengusaha.

وشِرَارُ أَئمَّتِكُم الَّذينَ تُبْغِضُونَهُم ويُبْغِضُونَكُمْ، وتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ  

”Sebaik-baik pejabat negara kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk pejabat negara kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka juga melaknat kalian.” (HR Muslim)

Wallahu’alam bishowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 36

Comment here