wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Kasus kekerasan seksual pada anak kian marak terjadi. Pelaku kasus ini pun beragam, dari usia dewasa, hingga remaja juga ternyata ada. Miris, anak yang sejatinya akan menjadi generasi penerus kebaikan orang tua. Juga menjadi pelopor peradaban bangsa. Justru menjadi korban kekerasan, yang pasti akan berpengaruh pada kehidupan masa depannya. Karena trauma masa kecil, tentu akan berdampak di masa mendatang. Alih-alih mendapat jaminan perlindungan, malah berisiko memperpanjang rantai kekerasan.
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Daerah (PPAD) Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) rutin melakukan edukasi pencegahan dan penanganan kasus seksual atau asusila setiap tiga bulan sekali. Dalam pertemuan tersebut disiapkan fasilitator anak, yaitu bagaimana nanti dalam rangka pencegahan kekerasan seksual terhadap anak dalam bentuk fisik maupun non fisik, kemudian kekerasan terhadap perempuan dan pencegahan perkawinan anak usia dini.
Kepala Dinas PPAD Kalbar, Herkulana Mekarryani, menjelaskan terjadinya kekerasan seksual terhadap anak diakibatkan karena pelaku dari masa kecilnya pernah mengalami hal yang sama dan tidak mendapatkan pendampingan atau pemulihan karena pelaku diam, sehingga trauma itu membawa pelaku cenderung untuk melakukan hal yang sama kepada orang lain. Karena itu, biasanya kalau terjadi atau ada korban pelecehan seksual yang dilakukan, itu dilakukan pemulihan terhadap korban agar nanti tidak terjadi pelaku melakukannya lagi (https://www.suarakalbar.co.id 04/12/2023).
Wajar dan sangat harus, jika pemerintah mengambil kebijakan untuk memutus rantai kekerasan tersebut. Salah satunya dengan edukasi pencegahan kasus seksual pada anak di sekolah. Ada juga perlindungan fisik, pemenuhan hak prosedural, bantuan medis dan psikologis, serta fasilitasi restitusi. Bahkan berbagai regulasi juga sudah dibuat untuk mengatasinya.
Namun, jika kita perhatikan. Sejauh ini, berbagai upaya tersebut belum membuahkan hasil maksimal. Sebab, regulasi tersebut dinilai belum sampai pada akar masalah yang begitu kompleks adanya. Kebebasan masih menjadi landasan dalam bertindak. Agama tidak dijadikan standar dalam berbuat. Apalagi norma dan adat budaya. Belum lagi jika pelaku kekerasan bukan dari kalangan orang biasa. Sehingga apa yang dilakukannya dapat dengan mudah selesai dengan uang dan backingan.
Tentu berbeda jika Islam yang dijadikan sandaran. Dalam Islam, perempuan dan anak-anak akan dilindungi. Islam menjadikan ketakwaan individu sebagai pendorong ketaatan masyarakat. Dalam aspek pemerintahan, Islam mewajibkan seorang pemimpin menjalankan syariat Islam dengan sempurna. Sedangkan sebagai masyarakat mukmin wajib mengikuti aturan tersebut.
Sebagai seorang pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban di akhirat, akan berusaha maksimal melindungi dan mengurusi kebutuhan rakyat. Pemimpin ini akan menerapkan sistem pemerintahan Islam (khilafah), sistem ekonomi Islam, sistem pergaulan Islam hingga sistem sanksi Islam. Semuanya akan mendukung satu sama lain.
Dalam pergaulan, Islam mewajibkan hubungan antara laki-laki dan perempuan terpisah. Mereka dilarang berkhalwat, ikhtilat, tabaruj, dan seterusnya. Dengan demikian, semua akan terjaga hubungannya dan tidak akan terjadi perselingkuhan. Bahkan Islam mewajibkan menikah atau berpuasa bagi yang tidak bisa menahan hawa nafsu agar terhindar dari perbuatan dosa. Islam juga melarang tindakan sodomi kepada anak. Islam juga mengatur fikih keluarga yang memunculkan kasih sayang antaranggota.
Apabila masih ada tidakan kejahatan, maka Islam memberikan sanksi yang tegas. Sanksi ini akan membuat jera dan pelaku terampuni dosanya. Akibatnya, pintu kekerasan akan tertutup rapat. Jadi, hanya dengan penerapan Islam yang sempurna ini akan memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak-anak secara komprehensif.*
Sri Purwanti
Singkawang-Kalbar
Views: 13
Comment here