Oleh: Zulhilda Nurwulan (Relawan Opini Kendari)
wacana-edukasi.com– Kembali, isu radikalisme mencuat di tengah kerepotan emak-emak antri minyak goreng, korupsi pejabat yang membludak, narkoba yang merajalela dan berbagai permasalahan sosial lainnya yang butuh solusi cepat.
Sederet nama penceramah masuk dalam daftar penceramah radikal versi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dilarang mengisi ceramah di berbagai kajian umum. Namun, BNPT menyanggah pernyataan pihaknya menulis daftar 180 penceramah radikal melainkan hanya menuliskan ciri-ciri penceramah radikal tanpa mencantumkan nama.
“Terkait dengan list daftar penceramah (radikal) itu, BNPT tak pernah merilis. Hoax itu,” kata Irfan, Rabu 9 Maret 2022.
Lempar batu sembunyi tangan, itulah sifat pejabat rezim hari ini. Padahal, informasi tersebut sudah ramai diperbincangkan. Sesuatu yang pasti, jejak digital sulit dihilangkan.
Stigma radikal yang disematkan pada beberapa penceramah adalah bentuk islamophobia akut. Hal ini menimbulkan pertanyaan, radikal seperti apa yang dimaksud oleh BNPT dan beberapa pihak yang membenci Islam?
Selaras dengan ini, BNPT kemudian merumuskan ciri-ciri penceramah radikal diantaranya; mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila dan pro-ideologi khilafah transnasional.
Menurut Ust. Ismail Yusanto, pengamat politik Islam mengatakan bahwa Khilafah merupakan ajaran islam. Islam tidak ada yang radikal juga tidak ada yang moderat. Sehingga, Islam hanya mengajarkan sesuatu yang wajib diterapkan secara kaffah (menyeluruh).
Selanjutnya, ciri penceramah radikal versi BNPT yakni mengajarkan paham takfiri, yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama. Sejatinya, definisi takfiri menurut BNPT sangat jauh dari makna sebenarnya. Seolah, BNPT ingin menyamakan kedudukan semua agama sehingga Islam tidak boleh mengatakan kafir kepada agama yang bukan Islam.
Ketiga, menanamkan sikap anti pemimpin atau pemerintahan yang sah. Sontak, pernyataan ini jelas ingin memangkas opini publik agar tetap taat terhadap aturan pemerintah sekalipun zalim. Terlebih, pemerintah menyadari jika dakwah Islam dengan cepat akan mengubah pandangan masyarakat tentang kebijakan pemerintah. Hal ini dianggap ancaman bagi rezim yang bisa meruntuhkan kedudukan mereka dari singgasananya.
Beberapa ciri-ciri di atas sangat sarat dengan kepentingan politik. Sejatinya, siapa pun (baca: pengemban dakwah Islam) yang dianggap membahayakan rezim maka bersedia menjadi tumbal kezaliman, seperti penembakan seorang dokter di Purworejo yang diduga teroris. Padahal, sang dokter merupakan dokter kesayangan umat yang dalam praktiknya bahkan menggratiskan biaya pengobatan pasien.
Seorang yang masih dalam status terduga “teroris” bahkan belum memiliki catatan tindakan teror langsung dibunuh hanya karena terlihat alim/islami. Sementara, anggota KKB yang terbukti membunuh dengan sadis delapan pekerja di Papua tidak dinyatakan sebagai teroris terduga pun tidak. Padahal tindakan yang dilakukan benar-benar radikal.
*Islam, Ideologi yang Mengancam Rezim Sekuler*
Radikal, ciri yang disematkan pada penceramah yang vokal menyuarakan Islam. Bukan hanya itu, sepaket dengan radikal, intoleransi turut digunakan pada penceramah pembela Islam.
“Radikalisme merupakan sebuah proses tahapan menuju terorisme yang selalu memanipulasi dan mempolitisasi agama.” Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Ahmad Nurwakhid dalam keterangannya, Sabtu (5/3).
Seperti itulah gambaran umum radikalisme menurut pemerintah. Sayangnya, tuduhan radikalisme hanya ditujukan pada orang-orang yang gentar menyuarakan Islam dan mengkritik kekeliruan rezim. Seolah, Islam tidak boleh dikaitkan dengan urusan politik. Padahal, dalam Islam politik bermakna sebagai kepengurusan terhadap umat. Sehingga, Islam tidak boleh dipisahkan dari politik apalagi negara.
Imbauan larangan mengundang penceramah radikal langsung datang dari presiden. Tentu hal ini semakin menguatkan stigma bahwa rezim hari ini anti Islam. Bagaimana tidak? Setiap kebijakan pemerintah yang dikritik oleh umat Islam maka langsung dilawan rezim dengan mengeluarkan kebijakan baru dan kebijakan tersebut tentu akan menyelamatkan rezim. Terbukti, salah satunya dengan adanya imbauan larangan mengundang penceramah yang masuk daftar penceramah radikal versi BNPT.
Radikal dan radikul terus digoreng agar publik semakin gusar. Pemerintah semakin gencar menyuarakan fitnah keji pada umat Islam. Tindakan semacam ini seolah mengebiri langkah umat Islam menyebarkan kebenaran dan kebaikan agama ini. Sayangnya, semakin dalam ditekan semakin tinggi kecintaan umat pada agama mereka. Sebagaimana kebaikan, tetap mencari jalannya untuk terpancar.
Kegemilangan Islam di masa lalu menjadi ketakutan tersendiri bagi rezim sekuler. Mengingat, Islam pernah menjadi mercusuar peradaban selama kurang lebih 14 abad. Hal ini tentu bukan hal yang mudah, sebuah keberhasilan yang gemilang yang tidak ditemukan di zaman apa pun. Ini menjadi alarm bagi rezim bahwa kegemilangan ini bisa saja terulang kembali tatkala umat Islam sadar akan kegemilangan di masa lalu itu. Seyogianya, umat sudah sangat muak dengan berbagai kezaliman dan kerusakan yang disebabkan oleh rezim sekuler hari ini. Sayangnya, umat belum memiliki pemikiran yang searah bahwa solusi atas permasalahan dunia hari ini hanyalah masalah sistem.
Allah akan Memenangkan Kebenaran
Fitnah terhadap umat Islam bukan baru terjadi di masa sekarang melainkan juga sebelum Indonesia ini ada. Sejak Islam datang, Islam sudah menjadi ancaman bagi kafir Quraisy yang memegang sistem pemerintahan kala itu. Rasulullah Saw ketika hendak menyebarkan dakwah di penjuru Mekkah kala itu mendapat perlawanan yang keras bahkan propaganda yang keji pun turut membersamai langkah beliau.
Setelah ber-Islamnya Umar bin Khattab, kaum Quraisy merasa terancam dengan dakwah rasul. Mereka khawatir jika dakwah Rasulullah terus dibiarkan maka akan banyak dari kaum mereka yang akan mengikuti ajaran beliau. Sehingga, kaum Quraisy membuat blokade, melarang Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib melakukan perkawinan dengan mereka pun memblokade aktivitas jual-beli diantara mereka sebagai bentuk pencekalan terhadap dakwah Islam. Tidak sampai disitu, kaum Quraisy menghasut orang-orang kafir Makkah bahkan orang-orang yang datang berhaji untuk tidak mendengarkan perkataan Rasulullah Saw. Bahkan, fitnah keji pun turut beliau dapatkan, diantaranya tuduhan orang gila hingga tukang sihir. Semua ini dilakukan untuk mengebiri dakwah Rasulullah.
Sayangnya, dari kejadian-kejadian itu Rasulullah Saw semakin gencar berdakwah dan menyebarkan syiar Islam. Dakwah mulai tersiar tidak hanya di dalam Mekkah melainkan hingga keluar perbatasan Mekkah. Berkat kegigihan keluarga Rasulullah dan orang-orang yang telah beriman, dengan cepat dakwah tersiar hingga ke tengah-tengah masyarakat Arab dan kabilah-kabilah. Sehingga, agama yang baru ini (baca: Islam) yang awalnya hanya terkurung di tengah lingkaran gunung-gunung Makkah, kini berkumandang ke seluruh jazirah.
“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam.” (QS. Ali Imran: 19)
Sebagaimana firman Allah dalam ayat diatas, kebenaran tentu akan mencapai kemenangannya. Propaganda dan cemoohan yang didapat Rasulullah pada masa itu kini berulang kembali di masa rezim sekuler. Namun, kali ini masyarakat diperangi secara ideologi, diperangi melalui pemikiran, pemikiran yang membuat kaum muslim mencampakkan Islam jauh dari kehidupan dunia. Disematkan islamophobia akut agar mereka awam terhadap agamanya sendiri. Inilah yang paling berbahaya!
Oleh karena itu, umat Islam wajib mempelajari agama mereka dengan benar dan sempurna agar tidak terjerumus dalam ide sekuler yang berbahaya. Maka, dakwah ideologi sangat penting untuk membangun pemikiran yang sempurna terkait kebenaran agama Islam. Allahu’alam.
Views: 105
Comment here