Opini

Rakyat Diperdaya Demokrasi

blank
Bagikan di media sosialmu

Wacana-edukasi.com, OPINI-– Realitanya, dalam sistem demokrasi yang tercipta adalah oligarki, yakni kekuasaan yang dikuasai segelintir orang dengan mengatasnamakan rakyat. Orang-orang itu merasa berhak membuat dan mengesahkan berbagai peraturan dan perundang-undangan apa pun meski tidak berpihak pada rakyat kebanyakan. Inilah rusaknya sistem demokrasi.

Pemindahan ibukota negara rencananya akan mulai direalisasikan dalam waktu singkat. Dalam keadaaan perekonomian yang belum pulih, puluhan juta rakyat menjadi miskin, dan urang luar negeri yang hampir mencapai tujuh puluh ribu trilyun rupiah, pemerintah tetap bersikukuh memindahkan ibukota ke daerah Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

Tidak sedikit pihak yang mempertanyakan kebijakan yang telah disepakati para wakil rakyat dan pemerintah. Bukan hanya tidak mendesak, banyak persoalan lain seperti: kelayakan lokasi, nasib warga sekitar, dan dampak lingkungan.

Kenyataannya, rakyat justru banyak yang menolak rencana ini. Terlebih warga Kalimantan Timur, khususnya warga Penajam Paser Utara, juga merasa tidak pernah dimintai persetujuannya. Timbul kecurigaan kalau pembangunan IKN ini hanya akan menguntungkan kaum oligarki, terutama para pemilik lahan dan investor lokal maupun asing, bukan untuk rakyat. Sebenarnya tidak pertama kali Pemerintah dan wakil rakyat mengesahkan undang-undang yang merugikan rakyat. Produk hukum yang menyengsarakan rakyat antara lain UU Cipta Karya, UU Minerba, pencabutan subsidi energi seperti BBM dan gas, dan UU Ormas, baru sebagian kecil.

Hakikatnya dalam sistem demokrasi dikatakan rakyat berdaulat. Seluruh undang-undang, hukum, dan peraturan haruslah bersumber dari rakyat. Suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox populi vox dei). Terwujudnya lembaga perwakilan rakyat adalah sebagai penyambung lidah rakyat untuk menyuarakan aspirasi mereka kepada pemerintah.

Kenyataannya, dalam sistem demokrasi, yang tercipta adalah oligarki, yakni kekuasaan yang dikuasai segelintir orang dengan mengatasnamakan rakyat. Sebab sudah mendapat mandat sebagai wakil rakyat, mereka merasa berhak membuat dan mengesahkan berbagai peraturan dan perundang-undangan apa saja meski tidak berpihak pada rakyat kebanyakan. Inilah rusaknya sistem demokrasi.

Selain itu, demokrasi juga menciptakan peluang bagi lolosnya kepentingan segelintir kaum kapitalis dengan jalan membuat undang-undang. Terlebih lagi banyak pengusaha yang juga duduk sebagai wakil rakyat. Terdapat 45,5 persen (262 orang) dari 575 anggota DPR 2014-2019 malah ada 52,3 persen (293 orang) dari 550 anggota yang pengusaha. Masalah ini berpeluang memunculkan konflik kepentingan antara rakyat dan para penguasa.

Masalah undang-undang yang dibuat sesuai pesanan yang disodorkan pihak tertentu pernah diungkap Mengko Polhukam Mahfud MD. Saat tahun 2019. Mahfud menyatakan, “Problem kita itu sekarang dalam membuat aturan hukum itu sering kacau balau. Ada hukum yang dibeli. Pasal-pasalnya dibuat karena pesanan itu ada. UU yang dibuat karena pesanan perda juga ada. Disponsori oleh orang-orang tertentu agar ada aturan tertentu.”(news.detik.com, 19/12/2019).

Mirisnya, semua kepentingan kaum elite itu disahkan atas nama rakyat. Itulah bagian tipu daya demokrasi. Masyarakat pun masih banyak yang percaya kalau demokrasi akan menjadikan suara mereka berdaulat. Akan tetapi, kenyataannya mustahil.

Aturan demokrasi berbeda dengan aturan Islam. Semata-mata tidak ada kemiripan di antara keduanya, baik secara asas maupun aturan yang dilahirkan.

Kontrasnya itu terletak pada sejumlah hal. Antara lain pertama, dalam Islam kedaulatan (hal membuat hukum) ada di tangan syariat, bukan pada rakyat maupun penguasa. Tugas pemerintah adalah mengurus rakyat dengan menerapkan hukum-hukum Allah SWT., bukan sebagai pembuat hukum. Firman Allah “Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut wahyu yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah Allah turunkan maka ketahuilah bahwa Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah kaum yang fasik.” (QS Al Maidah: 49).

Sebab hukum yang berlaku berasal dari wahyu Allah SWT., tentu tidak ada celah bagi penguasa untuk membuat hukum yang akan menguntungkan dirinya dan kelompoknya. Lain dengan sistem demokrasi. Peraturan dibuat oleh manusia sesuai pesanan dan kepentingan pihak yang mensponsorinya.

Terlebih keimanan yang terpatri dalam dada membuat penguasa takut terhadap ancaman Allah Swt. Apabila mengkhianati amanah mengurus umat. Penguasa lebih takut terhadap siksa Allah, ketimbang sogokan, iming-iming, atau ancaman kaum oligarki.

Berikutnya, di dalam Islam ada Majelis Umat yang berfungsi menyampaikan aspirasi masyarakat dan menjalankan fungsi amar makruf nahi mungkar. Lembaga ini tidak membuat atau melegalisasi peraturan dan undang-undang. Lembaga umat berkewajiban menegur khalifah dan pejabatnya jika melenceng dari syariat Islam dalam melayani umat. Tidak halal hukumnya anggota Majelis Umat mendiamkan kemungkaran yang dilakukan penguasa, apalagi bersekongkol dengan mereka. Nabi saw. bersabda: “Tidakkah seseorang berada pada sebuah kaum yang di dalamnya dilakukan sesuatu kemaksiatan, sementara mereka mampu mengubah kemaksiatan tersebut, tetapi mereka tidak melakukannya, maka Allah akan menimpakan siksa kepada mereka sebelum mereka meninggal dunia.” (HR Abu Dawud dari Jarir).

Selanjutnya, Khalifah sebagai penguasa wajib menjadi pelindung umat. Penguasa layaknya perisai melindungi orang yang berperang dari serangan musuh. Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu laksana perisai. Orang yang berperang di belakangnya dan dia digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, maka dengan itu dia akan mendapatkan pahala. Namun, jika dia memerintahkan yang lain maka dia akan mendapatkan dosa/azabnya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Pemimpin diamanahi kewajiban mengutus kebutuhan umat dan melindungi hak-hak mereka dari kezaliman. Abu Abdillah menyebut penguasa harus memandang rakyat sebagai anak yatim. Wakil yang mengasuh anak yatim harus memperhatikan kebutuhan mereka sebaik-baiknya. Beliau tidak boleh memakan harta anak yatim melainkan sekadarnya untuk hidup. Beliau pun haram menipu apalagi merampas hartanya. Ia berkata, “Kedudukan seorang pemimpin terhadap rakyatnya seperti kedudukan seorang wali terhadap anak yatim.”

Melalaikan kebutuhan rakyat, menipu mereka, apalagi untuk membela kepentingan kalangan orang berduit adalah pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah saw. mengancam para penguasa seperti itu dengan sabdanya, “Tidaklah seorang hamba yang Allah beri wewenang untuk mengurus rakyat mati pada hari dia mati, sementara dia dalam kondisi menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan bagi dia surga.” (HR Muttafaq ‘alayh).

Hai orang-orang muslim, sesungguhnya tidak ada yang bisa memberikan keadilan dan pembelaan pada umat kecuali syariat Islam. Usahlah kita terperdaya dengan slogan kedaulatan milik rakyat. Realitanya, hak-hak kita dirampas untuk diberikan kepada segelintir orang. Terlebih, Allah SWT, telah mengingatkan, “Hai manusia, apakah yang telah mempercayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.” (QS Al-Infithar: 6).

Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menjelaskan, “Ayat ini adalah ancaman, bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban sebagai sangkaan sebagian orang; apa yang memperdaya kamu, wahai anak Adam, hingga durhaka kepada Tuhanmu Yang Maha Agung sehingga engkau melakukan kemaksiatan dan membalas Dia dengan tidak patut?” (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 8/341-342 (Maktabah Syamilah).

Sekilas, aturan-aturan yang dibuat hari ini seperti UU IKN tampak bagus dan logis, misalnya dengan alasan menghindari banjir, menaikkan perekonomian, terhindar dari kemacetan, dan tidak mengandalkan APBN. Akan tetapi, jika ditelusuri dengan detail dan teliti akan didapat kenyataan bahwa semua berpotensi merugikan rakyat.

Sebab itu, jika kita mengharapkan kebijakan yang berpihak pada rakyat, semua itu hanya ada dalam Islam. Bergegaslah!

Firman Allah, “Jika dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi.’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami adalah kaum yang melakukan perbaikan,’ Ingatlah sesungguhnya mereka itulah kaum yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (QS Al-Baqarah: 11-12). Wallahu a’lam bishshawwab.

Ummu Aisyah
Sedayu, DIY

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 5

Comment here