Oleh Ummu Alkhalifi (Anggota Komunitas Setajam Pena)
Wacana-edukasi.com — Marhaban yaa Ramadan. Ramadan telah kembali di tengah pandemi yang masih melanda negeri.
Sudah menjadi tradisi, di saat Ramadan datang, harga pasar melambung, apalagi wabah pandemi tak kunjung pergi.
Kebutuhan pangan adalah hal utama yang haruslah terpenuhi. Rakyat terus menjerit dengan harga-harga yang terus melangit. Sudah menjadi kebiasaan di saat menjelang Ramadan hingga hari raya berakhir harga kebutuhan pokok serba mahal.
Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri mengatakan harga berbagai komoditas pangan mulai menunjukkan kenaikan beberapa hari menjelang puasa.
Abdullah mengatakan, saat ini harga rata-rata daging ayam bisa mencapai Rp38.000 hingga Rp40.000 per ekor, daging sapi sekitar Rp130.000 hingga Rp131.000 per kg, dan minyak goreng sekitar Rp14.300 per kg.
“Ini terus naik ritmenya. Permintaan juga sudah mulai terlihat tinggi. Secara nasional sekitar 10 persen kenaikannya per hari ini. Ini akan kita pantau terus,” ujar Abdullah, (KOMPAS.com, 8/4/2021).
*Permainan Harga Pasar oleh Kapitalisme*
Tentu saja permainan harga pasar menjelang Ramadan hingga hari raya menjadi sebuah momok bagi rakyat. Di mana permintaan barang terus meningkat di tengah keterbatasan stok dan juga harga yang fantastis naiknya.
Inilah hidup di era kapitalisme, di mana aturan yang diterapkan adalah peraturan selain dari Islam. Peraturan yang justru semakin membuat umat hidup penuh dengan belenggu. Kesalahan dalam pengaturan urusan pangan yang hanya akan menyebabkan terjadinya inflasi di setiap menjelang Ramadan.
*Mekanisme Islam Mengatasi Lonjakan Harga*
Berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang diterapkan berdasarkan syariat. Di mana sistem ini bukan saja hanya bersifat menekan kenaikan harga, sekaligus mampu menghentikan secara permanen laju inflasi.
Meskipun demikian, Islam mengharamkan jika negara mematok harga karena aktivitas tersebut menurunkan daya beli mata uang dan justru akan memicu terjadinya inflasi.
Ketika zaman Nabi, saat harga barang-barang mengalami kenaikan, para sahabat mendatangi Rasulullah SAW. meminta agar harga-harga tersebut dipatok supaya harganya tetap terjangkau. Namun, permintaan tersebut ditolak oleh Nabi SAW dalam sabdanya:
“Allahlah Zat Yang Maha Mencipta, Menggenggam, Melapangkan Rezeki, Memberi Rezeki, dan Mematok Harga.” (HR. Ahmad dari Anas).
Sehingga, Rasulullah tidak mau mematok harga, melainkan mengembalikannya mengikuti mekanisme supply and demand (persediaan dan permintaan) di pasar. Namun, bukan berarti negara kemudian sama sekali tidak melakukan intervensi. Melainkan intervensi yang dimaksudkan tidak bersifat merusak persaingan di pasar.
Jika terjadi kenaikan harga barang karena supply yang kurang sementara demand-nya besar, maka negara dapat melakukan intervensi pasar dengan cara menambah supply barang di wilayah tersebut, di mana supply barang didapatkan dari wilayah lain yang masih termasuk wilayah negara Islam, agar harga barang tersebut dapat turun dan kembali normal. Tentu saja dengan cara seperti ini pasar tidak mengalami kebobrokan.
Ketika wilayah Syam mengalami wabah penyakit hingga menyebabkan produksi barang berkurang, maka semua kebutuhan barang di wilayah tersebut kemudian disuplai dari Irak. Kebijakan ini dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab untuk menjaga kestabilan kondisi pasar pada masa itu.
Lebih lanjut, terdapat beberapa kebijakan negara khilafah untuk mengendalikan stabilitas harga, dan tentu saja cara tersebut sesuai dan dibenarkan oleh syariat, di antaranya yaitu jika berkurangnya supply barang karena penimbunan, maka negara bertindak tegas dengan menjatuhkan sanksi takzir, sekaligus menentukan kewajiban melepaskan barang pemiliknya ke pasar. Namun, jika kenaikan harga tersebut terjadi karena adanya kasus penipuan, maka negara bisa menjatuhi sanksi takzir, sekaligus hak khiyar, antara membatalkan atau melanjutkan akad.
Adapun, jika kenaikan harga itu terjadi karena faktor inflasi, maka negara juga berkewajiban untuk menjaga mata uangnya, yaitu dengan standar emas dan perak. Termasuk juga, tidak menambah jumlahnya sehingga menyebabkan jatuhnya nilai nominal mata uang yang ada.
Sehingga, ketika Ramadan telah kembali, harga pangan tidak perlu menjulang tinggi. Harga yang terus dalam keadaan stabil, tidak mengalami gejolakan. Sebab, pengurusannya telah didasarkan oleh syariat. Umat dengan khusyuk menjalankan ibadah-ibadah di bulan Ramadan, tanpa terbebani dengan kesibukan serta kesulitan terhadap permasalahan yang ada.
Wallahu a’lam bishshawab.
Views: 2
Comment here