Opini

Rasisme dan Bukti Hipokrisi HAM dalam Kapitalisme

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Vikhabie Yolanda Muslim

wacana-edukasi.com, OPINI– Baru-baru ini, telah terjadi kerusuhan di Prancis yang membara dan semakin meluas, hingga Otoritas Prancis kerahkan puluhan ribu pasukan keamanan untuk mengatasi aksi-aksi protes yang terjadi selama empat hari berturut-turut. Penyebab kerusuhan ini dipicu oleh aksi penembakan terhadap seorang remaja bernama Nahel M. (17) oleh polisi hingga tewas. Dilansir AFP, peristiwa penembakan terjadi di pinggiran Kota Paris, Nanterre, pada 27 Juni 2023. Awalnya, polisi menghentikan remaja itu karena melanggar aturan lalu lintas. Sebuah video di media sosial, yang diautentikasi oleh AFP, menunjukkan dua petugas polisi mencoba menghentikan kendaraan (news.detik.com, 2/07/2023).

Kronologi kejadian ini bermula ketika salah satu polisi tampak menodongkan senjatanya ke pengemudi melalui jendela dan menembak dari jarak dekat. Kemudian mobil almarhum Nahel terlihat bergerak beberapa puluh meter sebelum akhirnya menabrak. Petugas layanan darurat pun mencoba menyadarkan remaja laki-laki tersebut. Namun tidak lama kemudian, remaja tersebut menghembuskan nafas terakhirnya. Kepala polisi Paris Laurent Nunez pun mengakui dalam sebuah wawancaranya dengan televisi BFM bahwa tindakan polisi tersebut “menimbulkan pertanyaan”.

Dalam wawancara yang disiarkan pada saluran TV France 5 seperti dilansir dari laman Antara News, ibu Nahel pun mengatakan motif penembakan tersebut adalah rasialisme. Petugas polisi itu ”melihat wajah seorang Arab, seorang anak kecil”, dan “ingin mengambil nyawanya”.

Peristiwa ini lagi-lagi membuktikan kelemahan dan keburukan dari produk bernama HAM yang selalu diagung-agungkan oeh negara barat. Atas nama kemanusiaan mereka merumuskan hak asasi manusia agar semua manusia mendapatkan hak-hak kehidupan mereka. Peradaban barat pun dibangun oleh sistem sekularisme yang meniadakan agama dari kehidupan, maka prinsip-prinsip yang dibangun hanya berasal dari akal manusia. Karena itulah rasialisme turut lahir dalam sistem ini. Karena sebagian manusia menganggap bahwa diri mereka lebih baik daripada manusia lain.

Perasaan ini muncul karena adanya ikatan emosional. Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitabnya Nidhamul Islam menjelaskan, ikatan emosional biasanya terjadi pada masyarakat primitif yang taraf berpikirnya rendah dan wawasan pemikirannya sempit. Sehingga ketika ras atau keluarganya memiliki kekuasaan, maka mereka pun ingin memperluas kekuasaannya dan terus ingin memperluasnya. Perasaan seperti ini semakin bertambah subur di dalam sistem kapitalisme. Alhasil, rasisme pun terus bermunculan.

Berbeda dengan sistem sekularisme, rasisme tidak ada di dalam ajaran Islam, bahkan hingga ke tatanan sistem negara Islam. Meskipun Islam diturunkan di Arab, Allah menegaskan melalui lisan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, bahwa mereka tidak memiliki kelebihan apapun dibandingkan dengan non arab. Allah menegaskan semua manusia sama di hadapan-Nya. Yang membedakan di antara mereka hanyalah ketakwaan.

Sebagaimana dalam firman-Nya yang tertuang pada Quran Surat Al-Hujurat ayat 13, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa”.

Dalam hadits Rasulullah juga disebutkan, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan bapak kalian juga satu (yaitu Adam). Ketahuilah, tidak ada kemuliaan orang Arab atas orang ajam (non Arab) dan tidak pula orang ajam atas orang Arab. Begitu pula orang berkulit merah tidaklah lebih mulia atas yang berkulit hitam dan tidak pula yang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali atas dasar ketakwaan”(HR. Ahmad dan Al-bazzar).

Di hadis yang lain juga ditegaskan, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu ia berkata, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian” (HR. Muslim). Hal ini telah terlihat dan terbukti ketika Khilafah tegak berdiri selama 1300 tahun lamanya. Berbagai manusia dengan ras, suku, bangsa, maupun warna kulit yang berbeda bisa hidup dalam kerukunan dan persatuan.

Salah satu buktinya adalah seorang ulama besar yang hidup pada masa kekhalifahan Bani Umayyah bernama Atha’ bin Abi Rabah. Beliau adalah seorang budak berkulit hitam milik Habibah binti Maisaroh Bin Abu Hutsaim yang tinggal di Makkah. Sang tuan melihat potensi keilmuan Atha’ yang luar biasa. Kemudian Habibah memerdekakan Atha’ agar Atha’ bisa memperdalam keilmuannya. Atha’ pun menjadi seorang ulama dan keilmuannya diakui oleh kekhilafahan Bani Umayyah. Beliau lalu diangkat menjadi seorang mufti (pemberi fatwa) untuk musim haji pada masa Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Di samping itu Atha’ juga diangkat sebagai penasihat khalifah.

Tidak hanya konsep tersebut, konsep toleransi dalam Islam juga mampu menyatukan berbagai agama dalam satu Kepemimpinan negara Khilafah. Allah telah berfirman dalam Qur’an Surat Al-Kafirun ayat 6, “Untukmu agamamu, untukku Agamaku”. Di surat yang lain Allah pun menegaskan, “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Sungguh telah jelas diantara kebenaran dan kesesatan” (QS. al-Baqarah ayat 256).

Dalam kitab Daulah Islamiyah karya Syaikh Taqyiyuddin an-Nabhani, beliau menjelaskan bahwa warga daulah khilafah terdiri dari muslim non muslim.
Dalam kehidupan publik mereka mendapatkan jaminan yang sama, pelayanan yang sama, hak yang sama. Daulah khilafah tidak boleh memaksa warganya yang non muslim untuk masuk agama Islam.

Hal ini pula yang telah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Ketika itu ada seorang wanita tua beragama nasrani yang dibantu oleh khalifah melunasi utang-utangnya. Ketika itu Khalifah Umar menanyakan, “Mengapa engkau tidak masuk Islam?”, wanita tua itu berkata, “Biarlah aku yang menjadi wanita terakhir dengan agama ini”. Lantas saat itu Khalifah Umar merasa bersalah, padahal beliau hanya bertanya.

Begitulah Islam terbukti mampu meniadakan rasisme tanpa embel-embel HAM, sehingga terwujud kesatuan dan persatuan diantara sesama manusia. Lantas apa lagi yang membuat kita ragu mengambil Islam sebagai satu-satunya the way of life?

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 11

Comment here