Di negara yang berlandaskan sekularisme, kekerasan terhadap ras minoritas menjadi pemandangan biasa. Terutama di negara-negara Barat, di mana tingkat kekerasan karena alasan rasial dan motif agama cenderung melonjak.
Oleh. Fitria Zakiyatul Fauziyah CH (Mahasiswi STEI Hamfara Yogyakarta)
wacana-edukasi.com, OPINI– Rasialisme atau rasisme adalah suatu paham yang merasa bahwa ras diri sendiri merupakan ras yang paling tinggi diantara ras lainnya. Rasisme ini biasanya dikorelasikan dengan paham diskriminasi agama, suku, ras, adat, golongan atau ciri-ciri fisik pada seseorang. Berbagai tindakan rasisme terjadi dalam banyak bidang kehidupan bermasyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, hiburan, dan lain sebagainya. Adapun perilaku rasisme tersebut bisa menyebabkan perpecahan, baik antarsesama atau pada golongan tertentu.
Selama ini, media dan dunia sering menyematkan umat Islam sebagai teroris dan ekstremis. Padahal, kelompok ekstremis supremasi kulit putih merupakan racun yang paling mematikan bagi Eropa. Banyak data menyebutkan bahwa kasus pembunuhan dan penembakan massal oleh kaum supremasi ras kulit putih terus melonjak di beberapa tahun terakhir.
Di tengah melonjaknya ekstremisme kelompok kanan yang mengagungkan ras kulit putih, pemerintah Australia akan mengajukan Rancangan Undang-Undang Amandemen Legislasi Kontra-Terorisme. Pemerintahannya berenca UU tersebut akan menjabarkan larangan penggunaan simbol Nazi atau SS, baik secara online maupun di depan publik, dengan pidana penjara maksimal 12 tahun. (detik.news.com, 9/6/2023)
Lantas, apa yang sebenarnya melatarbelakangi gerakan ekstremisme yang mendorong supremasi kulit putih? Apa kaitan supremasi ras kulit putih dengan kelompok neo-Nazi? Bagaimana Islam memandang bahwa di dunia ini terdapat kelompok supremasi kulit putih?
Kelompok Ekstremis di Australia
Ekstremisme sayap kanan adalah istilah luas yang acapkali disematkan untuk kelompok fasisme, sosialisme nasional (Nazisme), neo-Nazi, supremasi kulit putih, anti-demokrasi, dan lain-lain. Menurut Intelijen Keamanan pemerintah Australia, ancaman terorisme sayap kanan oleh kelompok neo-Nazi mulai meningkat sekitar akhir tahun 2010-an.
Maret 2019, penembakan di Masjid Christchurch, Selandia Baru, merupakan tindakan terorisme sayap kanan yang paling gempar oleh seorang Australia.
Meskipun kelompok ekstremis sayap kanan mendapatkan kecaman keras dari pemerintahan federal, namun pada faktanya peningkatan kelompok rasis terselubung masih sulit dideteksi. Kelompok minoritas seperti umat Islam, Tionghoa, dan pribumi di Australia kerap menjadi target kelompok ekstremis tersebut.
Kegagalan Sistem Demokrasi
Di negara yang berlandaskan sekularisme, kekerasan terhadap ras minoritas menjadi pemandangan biasa. Terutama di negara-negara Barat, di mana tingkat kekerasan karena alasan rasial dan motif agama cenderung melonjak.
Sistem demokrasi memberikan ruang seluas-luasnya di media sosial untuk bersuara melalui media tulisan dan lisan. Hal ini sering digunakan oleh sebagian orang maupun kelompok tertentu untuk bertindak kontroversi termasuk penistaan agama, melontarkan isu-isu sentimen negatif terkait ras, kesukuan, dan golongan.
Tak heran! Rasisme, islamofobia, dan ekstremisme kelompok cenderung meningkat di setiap tahunnya. Amerika Serikat sebagai kampiun demokrasi yang konon katanya menjunjung tinggi HAM dan menolak diskriminasi, nyatanya masih menjadi tempat berkubangnya masalah rasisme.
Di AS sendiri, organisasi masyarakat sipil ADL (Anti-Defamation League) mengungkapkan bahwa hampir 80% penembakan massal senantiasa berkaitan dengan ekstremisme oleh supremasi kulit putih. Demokrasi yang katanya mengutamakan pluralisme dan toleransi, akan tetapi gagal dalam merawat pluralitas. Pada hakikatnya, sistem demokrasi belum dapat mengurai persoalan rasisme di berbagai penjuru dunia. Sebab, sejak awal, demokrasi merupakan mainan negara imperialis Barat untuk memuluskan jalan penjajahan mereka atas bangsa lain.
Rasialisme dalam Islam
Perbedaan rupa, warna kulit, dan postur tubuh merupakan fitrah dari Sang Pencipta. Di dalam Islam tidak mengenal rasisme, yakni perbedaan warna kulit, suku, kedudukan bahkan Islam sesungguhnya tidak mewatasi satu negeri dengan negeri lainnya. Yang membedakan terletak pada manusia yang beriman atau tidak beriman.
Seperti di dalam firman Allah Swt., bsrfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 13 yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” Ayat ini secara jelas menguraikan proses kejadian manusia. Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan. Lalu dari pasangan tersebut lahir pasangan-pasangan yang lainnya.
Dengan demikian, hakikatnya manusia itu adalah “satu tubuh”. Proses penciptaan yang “sama” itu adalah membuktikan bahwa pada dasarnya semua manusia adalah sama. Oleh karena itu, manusia mempunyai kedudukan yang sama.
Ajaran Islam sangat memuliakan, maka salah satunya adalah memandang bahwa kedudukan manusia itu sama atau setara. Manusia tidak dapat memilih, baik itu bentuk fisik, kulit, atau suku apa ia lahir. Manusia hanya diberi pilihan menyangkut dengan amalnya di dunia. Sehingga manusia tentu patut memahami bahwa seluruh amal di dunia ini harus terikat syarak. Yaitu aturan Allah. Sang Pencipta sekaligus Sang Pengatur.
Lantas apa yang membedakan antara manusia satu dan lainnya? Ayat di atas menjawab bahwa yang membedakan antara orang satu dengan yang lainnya terletak pada takwanya. Maknanya Allah tidak membedakan berdasarkan keturunan (nasab), warna kulit, suku, ras, atau bangsa yang dimiliki oleh seseorang.
Memunculkan pertanyaan, apakah prinsip persamaan yang Islam bawa tersebut dengan paham persamaan (egalitarianisme) diagungkan di Barat dewasa ini sama? Dengan tegas dapat kita tolak, bahwa paham persamaan yang dibawa Islam sangatlah berbeda dengan paham persamaan yang sering didengungkan peradaban Barat.
Persamaan yang Islam ajarkan adalah persamaan dalam bentuk paling hakiki dan sempurna. Islam mengajarkan bahwa semua manusia dari aspek harkat dan martabatnya adalah setara di hadapan Tuhan. Tidak terdapat perbedaan antara manusia satu dan lainnya kecuali pada takwanya kepada Tuhan.
Adapun persamaan di peradaban Barat, hanya mengajarkan persamaan di mata hukum yang tidak lain adalah aturan buatan manusia sendiri. Paham ini muncul di Barat sebagai akibat dari Revolusi Prancis pada tahun 1789. Cita-cita kemanusiaan yang amat diunggulkan dalam revolusi ini adalah persamaan, kebebasan, dan persaudaraan (liberte, egalite, fraternite). Implementasi terpenting dari cita-cita tersebut adalah munculnya sistem politik demokrasi. Sampai saai ini kebebasan HAM menjadi bumerang, sebab banyaknya kehancuran tatanan hidup yang didukung oleh HAM. HAM hanya untuk kepentingan satu golongan dengan alasan kebebasan HAM.
Terbukti hanya Islam yang dapat menyelesaikan persoalan kebencian pada satu kaum, bangsa, atau rasial ini. Dengan penerapan hukum Islam, maka akan mampu seratus persen dengan matang menyelesaikan permasalahan di dunia. Sudah saatnya dan selayaknya kita memperjuangkan Islam sehingga tegak di muka bumi ini. Bagi pelaku rasisme hendaknya dihukum mati, bukan malah penjara seumur hidup. Terlebih lagi pelaku telah banyak menghilangkan nyawa. Dan pelaku dengan sengaja memublikasikan secara langsung perbuatannya. Hanya hukum Islam yang adil dan membawa rahmat bavi seluruh alam.
Wallahu A’lam Bish-Shawwab.
Views: 23
Comment here