Opini

Refleksi Hari Guru Dunia : Saatnya Revitalisasi Peran Guru

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Dwi R Djohan

Wacana-edukasi.com, OPINI-– Tepat tanggal 5 Oktober diperingati sebagai Hari Guru Sedunia. Peringatan ini dilakukan sejak 1994 yang merupakan hasil dari Konferensi UNESCO di Paris dengan dihadiri oleh 86 perwakilan negara dan 35 organisasi Internasional.

Guru yang dimaksud ini adalah semua pengajar di sekolah yang bertanggung jawab untuk pendidikan murid baik guru yang mengajar di sekolah umum maupun sekolah privat.

Adapun upaya UNESCO ini adalah dalam bentuk apresiasi, kepedulian dan pemahaman terhadap para guru di seluruh dunia. UNESCO memandang pendidikan sebagai cara mengubah kehidupan dan inti dari misi mereka yaitu memberantas kemiskinan, membangun perdamaian dan mendorong pembangunan berkelanjutan

Namun, saat berkaca tentang pendidikan maka banyak fakta di lapangan yang membuat kita geleng kepala. Masih segar di ingatan kita tentang peristiwa asusila antara guru dengan murid di Gorontalo serta peristiwa tindak kekerasan oleh oknum pengajar terhadap anak didiknya di Deli Serdang. Dan masih banyak peristiwa lainnya. Dunia pendidikan sedang tidak baik-baik saja.

Menanggapi hal itu, Iman Zanatul Haeri, selaku salah satu guru dan juga Kepala Bidang advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), pada tirto.id (1/10/2024) menyebut bahwa guru harusnya menjadi sentral moral dan etika bagi peserta didiknya. Khususnya dalam kasus kekerasan belakangan ini.

Guru yang melakukan kekerasan atau terlibat dalam kekerasan haruslah mendapat kecaman keras. Karena salah satu faktor langgengnya kekerasan di sekolah adalah minimnya pengetahuan guru dan siswa soal bentuk-bentuk kekerasan. Meskipun dalam skala paling mikro yang sifatnya halus dan belum dianggap kekerasan.

Negara sendiri sudah membuat peraturan untuk mencegah dan menanggapi kekerasan di satuan pendidikan yaitu Permendikbud Nomor 46/2023. Tetapi, masih banyak sekolah yang menerapkan secara parsial dan hanya untuk menggugurkan kewajiban. Meskipun ada sekolah yang menindaklanjuti aturan ini dengan membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) serta Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (Satgas PPKSP), tetapi hal tersebut hanya sementara, tidak berlangsung lama. Maka, itulah yang dimaksud dengan menggugurkan kewajiban saja. Selain itu, tidak adanya pengawasan dan perhatian yang maksimal dari pemerintah, membuat peraturan ini jauh dari panggang api sehingga kultur kekerasan di sekolah masih terus terjadi.

Untuk tahun ini, peringatan Hari Guru Sedunia mengangkat tema ‘Valuing teacher voices: towards a new social contract for education (menghargai suara guru: menuju kontrak sosial baru untuk pendidikan)’. Tema ini diangkat untuk menyoroti pentingnya aspirasi seorang guru. Pasalnya, suara para guru sangat diperlukan agar mereka dapat memberikan pembinaan dan memanfaatkan potensi terbaik dari setiap anak didiknya.

Sedemikian penting peran guru, namun fakta di Indonesia justru menunjukkan hal sebaliknya. Guru dibenturkan pada berbagai persoalan, baik gaji yang belum mensejahterakan, kurikulum yang membingungkan dan menjauhkan anak dari perilaku utama, juga tekanan hidup yang tinggi. Guru juga tak dihargai sepatutnya, hanya dianggap sebagai faktor produksi, pendidik siswa.

Tata kehidupan sekulerisme pun mempengaruhi jati diri guru, sehingga tega melakukan tindakan buruk pada siswa, berupa kekerasan fisik maupun seksual, bahkan mengakibatkan siswa meregang nyawa.

Sebenarnya, guru sendiri menjadi pilar yang paling penting dan beragam dalam pembentukan masa depan generasi. Selain menjadi figur penyampaian pengetahuan kepada siswa, guru juga punya peran yang luas dalam pembentukan perkembangan masa depan mereka.

Bahkan guru bisa menjadi pemantik bagi muridnya untuk menemukan kompentensi dan potensi dirinya sehingga berpengetahuan dan bertanggung jawab dalam bermasyarakat.

Guru memahami bahwa para siswa kelak akan terjun ke masyarakat dengan ilmu dan skill yang mereka miliki. Dengan peran guru, mereka bisa siap menghadapi dunia secara mandiri tanpa kehadiran guru di sisinya. Itu bisa terjadi jika peran guru dimaksimalkan. Guru hanya fokus memikirkan masa depan generasi, bukan masa depan dirinya. Tetapi sekarang…

Tak hanya itu, guru juga harus menanamkan agama pada muridnya. Bahwa kemudahan yang mereka dapatkan selama menimba ilmu hingga bisa mengamalkan ilmunya, bukanlah murni hasil jerih payahnya. Tetapi itu semua atas ridlo Allah. Ini yang belum terjadi saat ini yaitu selalu menghadirkan Allah dalam segala aktivitas keduanya dari awal hingga akhir.

Dengan begitu, sosok guru bisa membentuk masa depan siswa-siswinya dengan cara yang inspiratif, bermakna dan positif. Bukan hanya berkutat tentang mengajar saja tetapi juga tentang memberikan dampak secara nyata dalam dunia pendidikan.

Akan menjadi sempurna jika Islam yang diterapkan. Islam memiliki sistem pendidikan yang mampu menghasilkan guru yang berkualitas, bersyaksiyah Islamiyah (berkepribadian islami), memiliki kemampuan terbaik, dan mampu mendidik siswanya dengan baik pula.

Islam sangat menghormati dan memuliakan guru, diantaranya memberikan gaji yang tinggi. Islam mengharuskan calon guru berkriteria tinggi, karena tugasnya berat, yaitu menjadi pembentuk syaksiyah Islamiyah pada diri anak didiknya. Hal itu terjadi karena para guru adalah hamba yang takut pada Allah dan sistem yang diterapkan tegas atas apa yang diatur oleh Allah bukan malah lalai atau bahkan menjauhinya.

Wallahu a’lam bisshawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 2

Comment here