Penulis: Ariefdhianty Vibie, S.S. (Pegiat Literasi)
wacana-edukasi.com, OPINI– Anggota DPRD Kota Bandung menemui warga secara langsung untuk menyosialisasikan produk Peraturan daerah (Perda) di daerah pemilihan (Dapil) masing-masing. Salah satunya, seperti yang dilakukan Anggota DPRD Kota Bandung Juniarso Ridwan aktif menyosialisasikan Perda tentang minuman beralkohol (minol), yaitu Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung Nomor 11 tahun 2010 tentang pelarangan, pengawasan, dan pengendalian minuman beralkohol.
Juniarso menjelaskan, beberapa yang disampaikan di antaranya, kandungan yang diperbolehkan ada dalam minuman beralkohol tersebut sebanyak 5 persen hingga 20 persen. Yang boleh mengkonsumsi adalah mereka yang berusia 21 tahun ke atas. Selain itu, kata dia, yang juga diatur dalam Perda ini adalah, boleh menjual minol hanya di tempat-tempat tertentu, yaitu tempat dimana menyediakan bar. “Jadi boleh, hotel restoran, atau cafe menjual minol, tapi harus ada barnya,” katanya. Juniarso berharap, masyarakat bisa melakukan pengawasan semaksimal mungkin, agar tidak terjadi pelanggaran. Apalagi, izin menjual minol ada di pemerintah pusat (rejabar.republika.co.id, 27/02/2024).
Menurut anggota Pansus 9 DPRD Kota Bandung lainnya, yaitu Erick Darmadjaya,g menegaskan bahwa Raperda tentang Pelarangan, Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol masih dalam tahap pembahasan oleh Pansus 9. Erick mengatakan, di Kota Bandung kemungkinan besar penjualan minol tidak akan dilarang, hanya ada aturan-aturan membatasinya sebagai pengendalian. Kota Bandung juga tidak melarang penjualan minol karena ada juga yang membutuhkan untuk pengobatan dengan dosis kecil atau kadang-kadang masih ada yang menjalankan tradisinya (jabar.tribunnews.com, 06/03/2024).
Sesungguhnya, kemudaratan minuman alkohol sudah tidak diragukan. Banyak pakar dan peneliti menjelaskan kerusakan minuman alkohol (khamar), baik dari sisi kesehatan maupun sosial masyarakat. Banyak juga tindak kriminalitas dan kejahatan diawali dari kegiatan meminum minuman beralkohol. Akibat meminum khamar, para pelaku dalam keadaan setengah sadar dan mabuk, kemudian melakukan hal yang sesuai dengan kehendaknya, mulai dari penganiayaan, pemerkosaan, bahkan hingga pembunuhan. Wajar, akhirnya minuman beralkohol ini dianggap sebagai pangkal kejahatan.
Hanya saja sungguh miris, di negara tercinta kita Indonesia, dengan populasi muslim terbanyak di dunia, khamar justru dilegalkan walau dibatasi dan diatur. Bukan hanya oleh pemerintah daerah, pemerintah pusat pun membuka investasi industri miras yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Bahkan miras pernah menyumbang Rp250 miliar pada kas negara (cnnindonesia, 2021). Tentu, sumbangan dari penjualan miras ini adalah angka yang besar. Sehingga wajar jika pemerintah, baik pusat maupun daerah, tetap melegalkan peredaran minuman beralkohol ini sekalipun kejahatan merajalela.
Walhasil, lahirnya perda semacam ini, menurut penulis, hanya memunculkan kebijakan yang kontraproduktif. Di satu sisi, pemerintah ingin masyarakat dalam keadaan tertib, kondusif, dan aman. Di sisi lain, pemerintah tetap ingin mengambil keuntungan dari penjualan minuman beralkohol yang masuk lewat pajak. Pembatasan usia konsumen, ataupun tempat tersedianya minuman beralkohol bukanlah solusi untuk mengkondusifkan masyarakat dari kejahatan. Melegalisasikan khamar sama saja artinya dengan membuka pintu kejahatan dan kemaksiatan.
Regulasi soal khamar ini juga begitu sulit ditetapkan karena basis regulasinya abu-abu, tidak jelas, dan saling kontradiktif di lapangan. Pada awalnya, pengaturan khamar adalah karena dampaknya yang sangat buruk di masyarakat, seperti kematian, memicu kejahatan pembunuhan, pemerkosaan, kecelakaan dan lainnya. Kemudian semakin ke sini, pertimbangan manfaat ekonomi lebih dikuatkan karena keuntungannya yang menggiurkan. Larangan peredaran khamar seolah akan menimbulkan konflik, padahal keberadaan khamar itu sendiri biang masalahnya.
Kalau saja pemerintah menggunakan landasan hukum syariat dalam menetapkan regulasi khamar, masalahnya akan menjadi sangat sederhana dan solusinya mudah; bahwa khamar itu haram menurut syariat, merusak akal, dan induk segala kejahatan sehingga negara harus melarang peredarannya di tengah masyarakat secara mutlak dan tidak bisa ditawar. Negara yang melandaskan asasnya pada syariat Islam, tidak akan mempertimbangkan keuntungan materi sebagai basis peraturan. Karena sudah jelas, Allah telah mengharamkan khamar.
Inilah tantangan bagi kaum muslim di Indonesia. Undang-undang yang diterapkan saat ini tidak berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah. Manfaat menjadi tujuan utama dan boleh untuk mengabaikan syariat. Bahkan, syariat harus dipinggirkan atas nama kepentingan ekonomi pemilik modal dan penguasa. Walhasil, masyarakat dan generasi menjadi rusak akibat penerapan aturan sekuler semacam ini.
Adanya regulasi minuman beralkohol adalah bukti nyata sekularisasi yang ada di Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim. Sesuatu yang tegas Allah haramkan, malah tetap dibiarkan. Ini juga merupakan bukti dari sistem kapitalisme yang menghalalkan segala cara karena adanya keuntungan materi.
Benang kusut problematik khamar di negeri ini hanya bisa terurai dan disolusi secara paripurna dengan penerapan syariat kaffah oleh negara. Terkait khamar, Islam telah mengatur dan memberikan penyelesaian yang praktis sebab Islam menggariskan dengan sangat terperinci tentang produksi, promosi, dan distribusi suatu komoditas di tengah masyarakat.
Dalam Negara yang menerapkan Islam, regulasi syariat terkait khamar sangat jelas. Khamar adalah barang haram, tidak boleh dijadikan komoditas ekonomi. Produksi, promosi, dan distribusi khamar di tengah masyarakat dilarang dan ada sanksi tegas bagi siapapun yang melanggar aturan ini. Tidak boleh ada pemilik usaha yang memproduksi dan mengedarkan khamar dalam kehidupan publik.
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat 10 orang dengan sebab khamar atau minuman beralkohol dengan dalil sebagai berikut, dari Anas bin Malik, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat sepuluh golongan dengan sebab khamar: orang yang memerasnya, orang yang minta diperaskan, orang yang meminumnya, orang yang membawanya, orang yang minta diantarkan, orang yang menuangkannya, orang yang menjualnya, orang yang makan hasil penjualannya, orang yang membelinya, dan orang yang minta dibelikan.” [HR. Tirmidzi, no. 1295].
Adapun bagi kafir dzimmi yang agama mereka membolehkan mengonsumsi khamar, maka khamar hanya boleh dimiliki dan dikonsumsi secara pribadi pada kalangan terbatas, seperti di rumah dan komunitas mereka. Akan tetapi, mereka terlarang untuk mengedarkannya dalam kehidupan publik, baik kepada kafir dzimmi, apalagi kepada muslim. Ini karena Islam menutup semua syiar kebatilan, apa pun bentuknya.
Namun, apabila dampak dari konsumsi khamar tersebut menimbulkan bahaya bagi si peminum ataupun orang lain, meski dalam kehidupan privat, peminum khamar akan mendapat sanksi oleh negara berdasarkan ketentuan syariat Islam. Ini karena persoalannya bukan lagi tentang jaminan toleransi berakidah dan ibadah bagi kafir dzimmi, melainkan sudah menjadi masalah dharar (bahaya) dan jarimah (kriminalitas) yang wajib dihentikan negara.
Dengan demikian, kehidupan harmonis, tentram, aman, dan damai, akan menyelimuti seluruh warga negara Islam. Masa depan generasi terjaga dan mereka bisa melejitkan potensi akal, jiwa, dan raga untuk berinovasi bagi kemaslahatan masyarakat dan negara ketika Islam diterapkan secara sempurna dan menyeluruh.
Wallahu’alam bishawab.
Views: 6
Comment here