Opini

Rekontekstualisasi Fiqih, Arus Moderasi Berbaju Baru

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Novianti

wacana-edukasi.com–Di bulan Oktober baru saja selesai perlehatan konferensi international tentang Studi Islam yang dikenal dengan AICIS (Annual International Conference on Islamic Studies) ke-20. Sebuah forum yang menjadi wadah bagi para sarjana studi Islam untuk menyebarkanluaskan temuan penelitiannya dan merupakan jejaring global. Forum yang dimulai sejak tahun 2000 ini rutin dihadiri oleh akademisi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) dan sejumlah ilmuwan dari dari berbagai negara.

Tema yang diangkat adalah Reaktualisasi Fiqh dan Kontekstualisasi Islam dalam Kebijakan Publik. Menurut Menag,Yaqut Cholil Qoumas, tema ini sangat relevan dengan perkembangan dunia saat ini. Tata dunia sudah berubah dan gagasan rekontekstualisasi sejumlah konsep fikih akan mendorong Islam berperan secara konstruktif untuk menyempurnakan. Ada empat alasan pentingnya mengapa tema ini harus diangkat.

Pertama, bahwa pengamalan Islam adalah operasionalisasi dari pesan-pesan utamanya, yaitu: tauhid, kejujuran, keadilan, dan rahmah. Kedua, model operasionalisasi tersebut harus dikontekstualisasikan dengan realitas aktual agar praktek-praktek yang diklaim sebagai pengamalan Islam tidak bertentangan dengan pesan-pesan utama Islam itu sendiri. Ketiga dakwah Islam harus dijalankan dengan tetap memelihara harmoni masyarakat secara keseluruhan. Keempat, pencapaian dakwah adalah ketika nilai-nilai substansial Islam diadopsi sebagai nilai-nilai yang operasional dalam masyarakat. (sharianews.com, 27/10/2021).

Apakah pernyataan Menag ini menunjukkan perubahan keberpihakan dan merupakan dukungan agar Islam terimplementasikan, mengingat selama ini ia berbicara keras terhadap penerapan Syariah Islam. Bahkan lembaga yang dipimpinnya _‘leader project’_ dalam program deradikalisasi dan menentang upaya yang ingin mengeksiskan kembali Islam dalam kancah kehidupan.

Bendera AICIS
Untuk mengetahui kemana arah AICIS dan konsep apa yang diusungnya, bisa dilihat dari rekam jejak tema-tema yang dibahas di tahun sebelumnya.

Tahun 2017 mengambil tema Religion, Identity and Citizenship, dan salah satu yang dibicarakan adalah radikalisme dan penyajian materi Islam Nusantara. (kumparan.com, 12/11/2017).

Tahun 2018, temanya adalah Islam in a Globalizing word: text, knowledge and practise. Forum ke lima ini menghasilkan rekomendasi kebutuhan untuk meninjau ulang perspektif lama dalam studi Islam. Harus ada langkah-langkah mengikis radikalisme dan terorisme dengan pendekatan deradikalisasi dan idiologi. Persoalan intoleransi diselesaikan melalui berbagai program dan aksi yang relevan dan membangun model Islam moderat. (sultengraya.com, 19/11/2018).

Tahun 2019 mengambil tema Digital Islam, Education, and Youth: Changing Landscape of Indonesian dengan mengusung pemikiran bahwa generasi muda sudah tidak bisa belajar agama dengan cara tex book melainkan harus kreatif dengan bertanya mengapa begini dan begitu. Pada penutupan forum ini dilaunching Jejaring Media Islam Moderat (JMIM). (www.dutawarta.com, 4/10/2020)

Dalam pidato pembukaan AICIS 2021, Wapres KH Ma’ruf Amin menyampaikan penyelenggaraan forum ini mempromosikan Indonesia yang mengusung Islam moderat. Konsep yang dibutuhkan oleh masyarakat dunia dalam mengatasi konflik dan berbagai permasalahan lainnya. Disinillah diperlukannya rekonstekstualisasi fqih agar bisa berkontribusi.

Terlihat jelas AICIS ini forum yang membawa bendera moderasi beragama. Sebuah konsep yang dipropagandakan Barat sebagaimana yang tertuang dalam dokumen Rand Corporation. Karenanya gagasan rekontekstualisasi fiqih sangat jauh dari semangat ingin menerapkan Syariah Islam. Forum AICIS merupakan gerakan intelektual yang berupaya agar Syariah Islam ditundukkan pada pemikiran Barat.

Kekeliruan Dasar Berpikir
Empat alasan yang dikemukakan Menag mengapa perlunya rekontekstualisasi fiqih merupakan argumentasi keliru. Ada beberapa kesalahan berpikir.

Tentang pesan-pesan utama Islam dibatasi pada tauhid, kejujuran, keadilan, dan rahmah sehingga operasionalisasi Islam tidak boleh melanggar pesan utama tersebut. Ini bentuk pengebirian konsep Islam sebagai sebuah pemikiran semata. Padahal Islam juga memiliki thariqah atau metode yang harus diterapkan untuk mengatur kehidupan manusia sehari-hari.

Lalu alasan operasionalisasi Islam tidak boleh bertentangan dengan pesan-pesan utama tersebut merupakan bentuk pemaksaan kepada umat Islam agar diam terhadap segala bentuk pelanggaran hukum Allah. Sementara negara ini mendudukkan agama hanya dalam area individu dan kehidupan masyarakat termasuk tata kelola negara menggunakan hukum produk manusia. Dalam muamalah, agama dikompromikan dengan kemajuan zaman karena aturan Islam ‘lama’ dianggap sudah tidak relevan.

Demikian juga pandangan terhadap dakwah tidak boleh merusak keharmonian yang ada serta puncak dakwah adalah cukup pada penerapan nilai-nilanya. Ini tidak sesuai dengan bukti sejarah saat Rasulullah mendakwahkan Islam. Dakwah Rasululllah berbenturan dengan adat istiadat, budaya yang sudah temurun sehingga berbagai tuduhan dialamatkan kepada beliau seperti tukang sihir dan pemecah belah.

Artinya kebenaran Islam harus disampaikan apa adanya termasuk menjelaskan kesalahan dan penyimpangan yang ada di tengah masyarakat. Meski berakibat pada penolakan atau ketersinggungan dari mereka yang belum bisa menerimanya. Dan puncak dakwah adalah penerapan Syariah Islam bukan sebatas penerapan nilai-nilainya.

Islam adalah sistem kehidupan yang sempurna datang dari Allah yang Maha Sempurna. Seyogyanya kita sebagai muslim menunjukkan bukti keimanan dengan rela untuk tunduk pada aturan yang sudah Allah tetapkan tanpa kecuali.

Islam Membuka Pintu Ijtihad

Dunia pasti berubah seiring muncul fakta-fakta yang tidak ada pada zaman Rasulullah. Misalnya dalam perekonomian muncul lembaga keuangan, kartu kredit, pasar saham, asuransi, atau multi level marketing. Ijtihad memang diperlukan untuk menghukumi itu semua.

Namun dalam proses penggalian hukumnya, fakta tidak boleh dijadikan sebagai standar kebenaran lalu mencari dalil untuk melegalisasi. Cara ini merupakan metode hukum Barat,sehingga hukum mengikuti fakta. Ijtihad dilakukan dengan tujuan bagaimana syariat dapat beradaptasi dengan perkembangan yang ada agar semua praktek berlabelkan syariah padahal faktanya sebagai kedok bagi hukum Barat.

Ijtihad dalam Islam adalah proses menggali hukum-hukum baru dari nash-nash Al Quran dan As Sunnah untuk menghukumi fakta atau persoalan yang baru ditemukan. Ijtihad bukan mengubah hukum yang ada kemudian disesuaikan dengan fakta seperti prinsip dalam rekonstekstualisasi.

Dan tidak ada ijtihad bagi hukum-hukum yang sudah jelas nashnya seperti pembagian harta warisan, haramnya riba, wajibnya mengenakan kerudung. Sementara rekontekstualisasi justru merubah hukum yang sudah ada lalu disesuaikan dengan fakta.

Karenanya, rekonstekstualisasi fiqih merupan ancaman akan mengacak-acak Syariah Islam. Umat menjadi bingung dan ragu dengan aturan-aturan fiqih yang sudah ada. Lantas fiqih tidak lagi dilihat sebagai persoalan penting padahal fiqih merupakan kumpulan hukum-hukum Islam untuk mengatur praktek kehidupan manusia sehari-hari dalam seluruh aspek kehidupannya.

Rekontekstualisasi akan menggerus iman umat Islam dan bisa membawa pada penafsiran terhadap ayat-ayat Al Quran secara serampangan hanya untuk mengikuti hawa napsu. Gagasan akan makin menjauhkan umat dari Syariah Islam.

Islam agama sempurna datang dengan seperangkat aturan lengkap, tidak pantas seorang muslim mengutak-atiknya. Hak dan kebatilan sudah jelas dan Allah sudah memperingatkan:
“Dan janganlah kamu campur adukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.” (QS Al-Baqarah: 42).

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 47

Comment here