Opini

Relokasi, Benarkah Menjadi Solusi?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Aficena Sakila, S.S. (Aktivis Dakwah Muslimah Deli Serdang)

Wacana-edukasi.com, OPINI– Euforia ceasefire permanen telah terjadi di Gaza dengan mediasi Mesir dan Qatar. Kesepakatan final gencatan senjata ini menghasilkan 3 poin, yaitu menukar tawanan Hamas dengan tahanan warga Gaza, penghentian penyerangan, serta rekonstruksi Gaza. Namun dari sisi yang lain, Presiden Donald Trump menawarkan untuk merelokasi warga Gaza sebanyak satu setengah juta orang ke negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania.

Mengutip dari Republika.com, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan pada Sabtu bahwa ia ingin melihat Yordania, Mesir dan negara-negara Arab lainnya meningkatkan jumlah pengungsi Palestina yang mereka terima dari Jalur Gaza. Hal ini berpotensi memindahkan cukup banyak penduduk untuk “membersihkan” wilayah yang dilanda perang tersebut.

Cuitan Trump ini menoreh banyak polemik kontra, seperti PIJ (Jihad Islam Palestina) yang menyatakan bahwa saran Presiden AS merupakan “kejahatan perang” sebab tak lain dan tak bukan merupakan pembersihan etnis.
Dua hari setelah gencatan senjata sniper zionis menewaskan anak kecil dan melukai warga Rafah, drone zionis menjatuhkan bahan peledak di Rafah, menyerbu tepi barat west bank dan menangkap puluhan warga serta anak-anak. Ini menunjukkan adanya celah pelanggaran besar disetiap tahap dan track record Zionis yang sering mengingkari perjanjian.

Sejarah Migrasi Israel ke Palestina

Tahun 1880-1917 terbentuknya gerakan anti-semitism yang di pelopori oleh Theodore Herzl yang mengusulkan tanah Palestina sebagai tanah yang dijanjikan untuk membangun negara Yahudi.

Theodor Herzl, pendiri gerakan Zionisme modern, pernah berusaha mendapatkan tanah di Palestina dari Kekhalifahan Utsmaniyah. Pada tahun 1901, Herzl bertemu dengan Sultan Abdul Hamid II untuk meminta izin mendirikan pemukiman Yahudi di Palestina. Namun Sultan Abdul Hamid II menolak permintaan Herzl dengan tegas. Beliau menyatakan:

“Saya tidak akan menjual sejengkal pun tanah ini, karena tanah ini bukan milik saya, melainkan milik umat Islam. Umat Islam telah berjuang dan menumpahkan darah mereka demi tanah ini, sehingga tanah ini menjadi milik mereka.”

Namun tahun 1941 terjadi peristiwa Holocaust dimana sekitar 6 juta warga Yahudi dibantai oleh Nazi, yang menyebabkan semakin banyak orang yahudi mengungsi ke Palestina. Sehingga PBB mengusulkan pembagian wilayah Palestina menjadi Yahudi dan Arab. Namun peristiwa puncak terjadi ketika Israel memproklamirkan kemerdekaannya tahun 1948 setelah peristiwa perang Nakba yang menyebabkan ratusan ribu warga Palestina di usir dari tanah mereka.

Realita pendudukan israel ialah pengungsi yang terlunta-lunta, meminta pertolongan, dan bukan penduduk asli, mereka hanya tamu namun menginginkan menjadi warga negara asli. Bagaimana mungkin perampok yang seharusnya diusir dan dihukum namun mendapatkan pembagian atas tanah yang bukan miliknya. Ini adalah perampokan yang sistemis.

Relokasi apakah jadi Solusi?

Usulan relokasi tidaklah menjadi solusi, sebab ini akan membenarkan rencana pembersihan etnis serta memberikan kebebasan pihak musuh untuk membangun negara yang mereka rencanakan, yang seharusnya bisa memberikan keputusan yang fair dengan mengakhiri perang lalu warga Palestina mendapatkan kembali hak-hak mereka yang diambil secara paksa.

Namun sikap Prabowo yang mendukung two state solution setelah bertemu dengan presiden Amerika Joe Biden mengundang banyak sorotan. Ditambah lagi semakin bertambahnya nilai ekspor Indonesia terhadap Israel US$ 37.673.255 dan nilai impornya sebanyak US$ 7.506.568 yang tidak sesuai dengan komitmen pemerintah untuk memutus hubungan dengan Israel.

Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barangsiapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka ia syahid.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menunjukkan bahwa Islam membolehkan seseorang membela hartanya, bahkan jika ia harus berhadapan dengan perampok atau perampas harta. Maka melawan penjajahan Israel merupakan pembelaan atas hak milik warga Palestina.

Dalam kitab Jihad dan Perang menurut Syariat Islam tulisan Dr. Muhammad Khair Haikal menerangkan bahwa perlawanan merupakan respon atas berbagai kondisi seperti musuh telah menduduki satu wilayah di negeri kaum muslim, telah memobilisasi pasukan untuk mendudukinya, telah melakukan penyerangan atau berkeinginan melakukan keburukan dan kezaliman terhadap kaum Muslim, baik akan ditawan, dibunuh, atau hanya ditakut-takuti dan semacamnya, maka Jihad dalam kondisi ini hukumnya menjadi fardu ‘ain. Sehingga wajib bagi umat islam membantu saudara di Palestina tanpa ada bargaining atapun solusi lain seperti two state solution.

Rasulullah ﷺ bersabda:
“Hilangnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang Muslim tanpa hak” (HR. An-Nasa’i, no. 3987, dan At-Tirmidzi, no. 1395, dinyatakan sahih oleh Al-Albani).

Islam sangat menjaga perihal harta dan nyawa, sehingga membunuh seorang tanpa hak akan membayar setimpal dengan apa yang sudah dihilangkan, seperti mata dibayar mata, tangan di bayar tangan, begitupun nyawa di bayar nyawa. Dan semua bisa dilakukan dengan adanya institusi Khilafah. Khalifah akan menyerukan Jihad, melakukan perlawanan sampai titik darah penghabisan, hingga kemenangan ada di tangan umat Islam. [] WE/IK.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 10

Comment here