Oleh: Novriyani, M.Pd. (Praktisi Pendidikan)
wacana-edukasi.com, OPINI– Bulan suci Ramadhan telah kita lewati bersama. Penuh haru dan syukur atas apa yang telah kita lakukan dengan segala upaya menjalankan amalan di bulan suci ini. Takbir kemenangan telah berkumandang. Kebahagian dirasakan umat muslim seluruh dunia dengan hadirnya hari raya Idul Fitri. Tidak terkecuali bagi para narapidana yang berada di lapas.
Hari raya Idulfitri kali ini, ribuan narapidana (napi) mendapatkan remisi atau pengurangan masa menjalani pidana yang berkonflik dengan hukum. Sebanyak 146.260 dari 196.371 narapidana yang beragama Islam di Indonesia menerima Remisi Khusus (RK) hari raya Idulfitri. Setidaknya 145.599 diantaranya menerima RK I atau menerima pengurangan masa pidana sebagian, sementara 661 lainnya menerima RK II atau langsung bebas. Penerima RK Idulfitri terdiri dari 79.374 pelaku tindak pidana tertentu dan 66.886 pelaku tindak pidana umum (SINDONEWS.com, 21/4/2023)
Regulasi remisi ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, serta dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
Kebijakan ini tentunya menggembirakan bagi para narapidana yang bisa bertemu dan berkumpul dengan keluarganya. Tidak terkecuali bagi pejabat yang menerima remisi atau langsung bebas, mereka akan bersukacita menyambut udara bebas. Sudah bukan rahasia lagi, jika para pejabat yang berkonflik dengan hukum juga akan mudah bebas sekalipun telah melakukan tindak pidana korupsi.
Kabar remisi ini tentu menjadi resah masyarakat juga. Pasalnya, keluarnya para napi bisa menambah kasus di lapangan terjadi. Masyarakat akan bersyukur jika napi yang bebas sudah bertaubat. Akan tetapi, sulitnya impitan hidup akan menjadikan mereka kembali untuk melakukan kejahatan. Dapat dikatakan mereka akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Disisi lain, perusahaan atau kantor sangat sedikit yang mau memperkerjakan mantan narapidana. Jika tidak kuat iman, maka bisa saja jalan pintas menjadi pilihan mereka untuk cepat mendapatkan uang.
Jika hal ini terjadi, masyarakat pun justru akan terancam. Setiap saat mereka akan dibayangi tindak kejahatan, pencurian, perampokan, hingga pembunuhan. Banyaknya tindak kriminalitas yang terjadi karena adanya mantan narapidana yang kembali berbuat kejahatan. Hal ini juga menunjukkan bahwa lemahnya sistem keamanan dan sanksi yang diberikan. Sehingga tidak memberikan pengaruh atau efek jera bagi pelakunya.
Hukuman atau sanksi yang diberikan hanya sekedar formalitas. Bagi mereka yang kaya akan mampu membeli hukum dan bebas keluar masuk tahanan. Maka wajar jika kejahatan terus berulang karena semuanya bisa dibeli dan memperoleh remisi juga. Tidak hanya itu, sekalipun tahanan juga memberikan pembinaan kepada para napi tetap saja mereka mengulangi kesalahan dan kejahatan. Hal ini terjadi karena sistem kapitalisme sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga pembinaan yang dilakukan hanya sekedar aturan administratif yang tidak membekas bagi para napi.
Terlebih, sistem kapitalisme ini menuntut individu untuk berorientasi pada materi. Tolak ukur perbuatan dalam kapitalisme adalah teraihnya kemanfaatan yang bernilai materi dan meniscayakan lahirnya manusia-manusia serakah. Tidak pernah merasa cukup dengan pendapatan yang diperoleh dari jalan yang halal, tetapi selalu mencari celah menumpuk harta dari jalan haram sekalipun. Maka selama sistem ini masih diadopsi, dapat dipastikan kejahatan tidak akan pernah sirna. Para napi akan memperoleh kesulitan hidup dan membuka kesempatan mereka untuk melakukan kejahatan yang sama.
Sudah saatnya rakyat beralih pada sistem yang bersumber dari sang pencipta. Sistem yang memberikan aturan hukuman sesuai dengan kadar perbuatan yang dilakukan. Bukan berasa dari hukuman buatan manusia, yakni sistem Islam. Islam merupakan agama paripurna. Islam mengatur segala aspek kehidupan. Islam juga memiliki sistem sanksi yang dapat memberikan efek jera bagi narapidana. Sistem pidana Islam pun bersifat tegas. Sesuai dengan nas syarak atau hasil ijtihad para qadi. Sehingga tidak bisa dibeli dengan uang.
Dalam sistem Islam, negara akan memberikan pembinaan agar para narapidana melakukan taubat nasuha. Narapidana akan dibekali dengan pemahaman untuk menanamkan keimanan kepada Allah Swt. Sehingga akan tertancap dalam benak mereka untuk memiliki rasa takut dalam melakukan kejahatan. Selain itu, negara juga akan memberikan lapangan pekerjaan untuk siapa saja. Tak peduli akan mantan narapidana atau bukan, sehingga mereka dapat hidup dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan.
Penerapan hukum Islam tersebut akan terlaksana apabila negara menerapkan sistem Islam. Sistem yang mampu memberikan solusi tuntas dalam setiap persoalan umat. Di bawah naungan Islam umat akan merasa aman dan sejahtera.
Wallahu’alam
Views: 4
Comment here