Oleh : Heny Era
wacana-edukasi.com– Remisi koruptor jadi sorotan setelah 23 narapidana koruptor kini bebas bersyarat. Masa hukuman para koruptor itu menjadi lebih pendek karena dipotong remisi. Aturan remisi koruptor sendiri termuat dalam Permenkumham Nomor 7 tahun 2022 (detikNews 7/09/2022).
Setelah diberitakan sebelumnya, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) telah menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 7 tahun 2022. Aturan baru ini sebagai buntut putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan PP Nomor 99 Tahun 2012 atau yang lazim dikenal PP pengetatan remisi koruptor (detikNews 7/09/2022).
Remisi koruptor atau berkurangnya masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana korupsi ini menjadikan salah satu koruptor yaitu mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari bebas bersyarat, padahal baru dua tahun menjalani masa tahanan dan kasus korupsi yang menjeratnya tergolong besar.
Berlakunya aturan tersebut tentu mencederai kepercayaan rakyat pada pemerintah, karena kita semua sepakat bahwa kasus korupsi bukanlah hal sepele dan tergolong kejahatan keji, bagaimana tidak banyaknya pungutan pajak yang rakyat bayarkan justru disalahgunakan aparat pemerintah untuk kepentingan pribadi dengan jalan korupsi. Tetapi tragisnya dalam sistem demokrasi korupsi diberi hati seolah-olah tindak kejahatan ini adalah hal yang sudah biasa, serta tidak ada hukuman yang setimpal agar memberi efek jera, maka wajarlah kasus korupsi begitu menggurita di negeri demokrasi.
Penegakan hukum atas pelaku juga sangat lemah, pasalnya para koruptor dibebaskan berayarat tanpa penjelasan yang cukup ke publik sedangkan pemerintah berdalih bahwa sudah sesuai aturan yang berlaku, dan tak hanya itu para mantan koruptor tidak kehilangan hak mencalonkan diri dalam kontestasi politik ini makin menegaskan bahwa sistem demokrasi begitu ramah koruptor, serta memberi banyak kesempatan agar koruptor tetap memiliki kedudukan tinggi di mata publik.
Begitulah kondisi diterapkannya sistem sekuler-kapitalis, pemisahan antara agama dari kehidupan hanya membuat manusia tidak merasa terikat dengan aturan Allah SWT pada kehidupan sehari-hari. Agama hanya dijadikan ibadah ritual saja sehingga diranah publik mereka membuat aturan sesuka hati.
Adanya pemahaman materi adalah sumber kebahagian membuat semua orang rela melakukan apa saja demi meraih materi sebanyak mungkin, ini yang menjadikan politik dalam negeri tidak betul-betul mengurusi rakyat, jabatan dan kekuasaan yang diterima hanya untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya, itulah orientasi yang ingin mereka capai sehingga politik kering akan nilai-nilai agama.
Semua itu berbeda dengan Islam, sumber kebahagiaan hakiki dalam Islam adalah meraih ridho Allah SWT materi bukanlah tujuan utama melainkan alat atau sarana yang digunakan untuk mendapatkan Ridho Allah. Sehingga muncul kesadaran dalam diri bahwa keterikatan dengan syariat adalah kewajiban.
Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin dalam sebuah negara bersih dari korupsi, seorang pemimpin akan melaksanakan tugasnya secara amanah jika didorong oleh ketakwaan kepada Allah SWT, sebab ia yakin bahwa Allah melihat semua aktifitasnya dan akan dimintai pertanggung jawaban kelak diakhirat, ketakwaan inilah yang ditanamkan oleh Khalifah (pemimpin dalam Islam) kepada seluruh pegawai negara tanpa terkecuali.
Juga dengan hukuman yang tegas dan sepadan, hakikatnya seseorang akan takut menerima resiko hukuman yang akan mencelakainya, termasuk bila diterapkannya hukuman tegas kepada para koruptor. Dalam hal ini Khilafah akan menerapkan hukum sanksi berdasarkan aturan Islam kepada koruptor.
Hukuman untuk pelaku koruptor masuk kategori tazir, hukuman yang jenis dan kadarnya akan ditentukan oleh hakim. Dimulai dari yang paling ringan berupa nasehat atau teguran sampai pada hukuman terberat yaitu hukuman mati. Berat atau ringannya hukuman ditentukan dari sebrapa berat atau ringan pula kejahatan itu.
Dan juga adanya sistem pembuktian terbalik harta pejabat. Rasulullah ﷺ, pernah bersabda: “Wahai manusia, siapa saja diantara kamu yang diangkat menjadi pegawai kami untuk melakukan pekerjaan tertentu, kemudian menipu kami terhadap penghasilannya, maka ketahuilah sesungguhnya apa yang lebih dari penghasilannya adalah harta haram (ghullu) yang akan dibawanya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud).
Artinya harta kekayaan para pejabat akan dihitung sebelum dan sesudah mereka menjabat. Jika ada pertambahan harta kekayaan makan akan diselidiki dari mana harta tersebut, meski orang atau pejabat yang kaya dengan cepat tidak selalu melakukan korupsi tapi hal ini cukup efektif untuk memberantas korupsi sebagaimana pernah dilakukan pada masa Khalifah Umar bin Khaththab yang tidak segan menyita kelebihan harta pejabat yang begitu mencolok dibandingkan santunan dan gaji yang layak baginya.
Kemudian masyarakat juga dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dengan aparat yang tidak segan menerima suap dan hadiah agar kepentingannya dipermudah.
Begitulah cara Khilafah Islamiyyah dalam mencegah dan memberantas korupsi, hanya Islam yang dapat mengatasi problematika kehidupan dimana hukum Islam tetap berlaku sama seiring dengan perubahan zaman dan waktu.
Wallahu a’lam bish showab.
Views: 18
Comment here