Opini

Rezim Berwatak Kapitalistik, Rakyat Dipalak dengan Pajak

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Suhrani Lahe

wacana-edukasi.com– Saat ini Indonesia telah mengalami keterpurukan akibat dampak buruk dari pandemi. Utang negara melonjak, acap kali menjadi perbincangan hangat oleh media mengenai kas negara yang keok, berbagai kebijakan pun dilakukan.

Negara digadang-gadang membutuhkan anggaran cukup besar untuk mengembalikan kas negara dengan defisit 3% pada tahun 2023. Defisit yang melebar saat ini sebanyak 5% dan pemerintah setidaknya membutuhkan anggaran sekitar Rp600 sampai Rp700 trilliun (Cnbcindonesia.com, 6/10/2021).

Hingga akhirnya pemerintah sampai pada kebijakan tentang pemberlakuan pajak yang baru.

Belum lama ini pemerintah mengeluarkan putusan pada tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% naik menjadi 11% yang akan diberlakukan mulai April 2022 yang telah resmi disahkan pada Kamis, 7 Oktober 2021 dimana hal ini tertuang pada Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) (Kontan.co.id, 11/11/2021).

Namun pada sisi lain, pemerintah juga batal mengenakan PPN untuk beberapa barang dan jasa yang pada umumnya dibutuhkan masyarakat yang sebelumnya telah direncanakan dimana hal ini sesuai usulan seluruh fraksi di DPR dan atas aspirasi masyarakat. Sistem multi tarif PPN yang batal diterapkan oleh Pemerintah tetap pada single tarif berdasarkan aspirasi seluruh stakeholder karena dikhawatirkan sistem multitarif PPN akan meningkatkan cost of compliance yang akhirnya menyebabkan timbulnya potensi dispute (sengketa). Namun dalam kasus ini, pemerintah masih mengklaim bahwa tarif pajak di negara ini masih lebih sedikit dibanding negara-negara lain. Tarif PPN di Indonesia secara global relatif lebih rendah dari rata-rata dunia sebesar 15,4% dan lebih rendah dari beberapa negara-negara lainnya (Money.compas.com, 7/11/2021)

Bukan hanya kasus tersebut saja yang muncul pada wewenang negara dalam memberlakukan aturan sistem pajak, kabar yang sampai ditelinga masyarakat pun mengenai peraturan menggunakan NIK sebagai NPWP orang pribadi.

Desas-desus berita ini bak petir di siang bolong, kecemasan masyarakat terhadap polemik yang terjadi dalam negeri ini makin menyeret kondisi ekonomi masyarakat menjadi kian minim. Kebijakan pemerintah mengenai aturan-aturan pajak seolah tidak ingin meloloskan satupun warganya untuk membayar pajak. Berbagai aturan muncul, alih-alih sebagai alasan untuk pemulihan ekonomi negara dan ingin menggusur angka kemiskinan, namun mirisnya hanya menggeser masyarakat yang miskin menjadi sengsara.

Pajak adalah sebuah kewajiban untuk setiap warga Negara Indonesia yang diterapkan oleh Pemerintah kepada warga yang telah memiliki penghasilan melalui aturan dalam Undang-undang Negara. Hal ini karena sumber utama dari penghasilan terbesar negara berasal dari pajak. Jadi setiap warga tidak bisa terhindar dari wajib pajak kecuali memiliki alasan spesifik tertentu atau meninggal dunia.

Dalam perspektif kebijakan pemerintah mengenai intensifikasi dan ekstensifikasi pajak berbanding terbalik dengan kebijakan dalam mengelola harta kekayaan masyarakat berupa sumber daya alam.

Kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak yg bertujuan untuk pengawasan terhadap wajib pajak melalui syarat objektif dan subjektifnya yang telah memenuhi syarat namun belum terdaftar sebagai wajib pajak agar didaftarkan untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) melalui seksi ekstensifikasi dan penyuluhan. Kemudian berlanjut pada intensifikasi dimana kegiatan akan berlanjut mengoptimalisasi penggalian penerimaan pajak terhadap subjek dan objek yang telah tercatat atau terdaftar. Dalam hal ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan intensifikasi pajak yang bisa dimanfaatkan seperti PPh yang ditanggung oleh pemerintah.

Sedangkan kebijakan pemerintah dalam mengelola harta masyarakat pada sumber daya alam nyatanya berbanding terbalik. Konsep pengelolaan harta dari SDA tidak berjalan dengan baik dan hanya membebani masyarakat dan menjauhkannya dari kesejahteraan.

Dibalik potensi SDA yang melimpah pada negara ini, nyatanya Indonesia tidak bisa menghindari keterpurukan menjadi negara miskin. Pemerintah memberi kebebasan atas pengelolaan SDA tanpa adanya persetujuan rakyat, hingga yang terjadi kekayaan SDA yang dimiliki mengalir ke luar negeri dan lebih banyak dinikmati oleh negara-negara Asing. Seperti kekayaan alam dalam industri minyak, Indonesia selalu menghasilkan surplus yang baik, namun di sisi lain realita yang terjadi harga BBM di negeri ini sungguh mengerikan.

Kita dapat menarik garis benang merah, bahwa pemerintah acuh tak acuh dalam kebijakan-kebijakan yang diberlakukan, seolah memilah untung rugi tanpa melihat aspek-aspek dalam mensejahterakan masyarakat. Pemerintah yang begitu fokus mengejar pajak pada masyarakat demi pertumbuhan ekonomi negara lupa bahwa pengelolaan harta SDA jauh lebih menguntungkan dan berpotensi baik untuk pertumbuhan ekonomi. SDA yang dimiliki adalah jalan keluar dari polemik lemahnya ekonomi saat ini, namun dalam pengelolaannya pemerintah salah sasaran, masyarakat malah menjadi sasaran empuk pendapatan negara dengan menggali berbagai macam cara untuk memberlakukan wajib pajak hingga membebani rakyat sampai ke lubang jarum.

Mengapa demikian? Karena sistem untung rugi yang menjadi acuan bagi para kapitalis, mengorbankan rakyat demi keuntungan pribadi bagi individu-individu tertentu hingga rakyat hanya mendapat sepah-sepah 1% dari 99% kekayaan yang dihasilkan, dimana selebihnya itu mengalir ke tangan kapitalis, yang berujung rakyat menanggung beban negara. Jadi pajak bagi warga negara ialah sebuah kontribusi yang bersifat memaksa dan menjadi utang pribadi terhadap negara.

Penerapan pajak pada Negara Indonesia pun terus menuai konflik dimana pungutan pajak yang bersifat memaksa berujung meresahkan dan memeras rakyat, berbeda dengan sistem pajak yang diberlakukan oleh negara dengan sistem Khilafah. Pemerintah memberlakukan wajib pajak dan menetapkan rakyatnya untuk memikul beban ketika dana di Baitul Mal benar-benar kosong. Namun hal ini tidak diambil dengan tetap, semua bergantung pada kebutuhan sesuai dengan hukum syara.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman saat manusia tidak peduli dari mana mereka mendapatkan harta, dari yang halalkah atau yang haram” [HR Bukhari kitab Al-Buyu : 7]

Dimana sistem pajak yang berlaku pada negara ini berbentuk kedzaliman karena sistem pajak yang diterapkan dibebankan untuk rakyatnya, dimana semua aturan-aturannya tidak berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Itulah bedanya sistem pemerintahan Islam dengan sistem kapitalis yang membumi di negeri ini. Menggiring individu dalam prinsip-prinsip tanpa batas, sikap berlebihan dari kelas-kelas dan eksploitasi kaum kapitalis yang menghegemoni perekonomian. Tapi sistem ekonomi Islam menyikapi dampak dari ulah para kapitalis dengan memberlakukan sistem ekonomi yang berlandas pada prinsip-prinsip ajaran Islam sesuai hukum syara’ dengan tidak ada dominasi kelas dan pencarian keuntungan yang tidak berlandaskan untuk kesejahteraan rakyat.

Wallahu’alam Bisowwab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 7

Comment here