Oleh : Irawati Tri Kurnia (Aktivis Muslimah)
wacana-edukasi.com, OPINI– Fenomena kejahatan pencucian uang saat ini makin menjadi. Apalagi pasca terkuaknya satu persatu ‘dosa’ eks pejabat Dirjen Pajak, Rafael Alun Trisambodo. Mulai dari tidak membayar pajak, sampai dengan pencucian uang.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan bahwa pencucian uang yang dilakukan mantan Pejabat Dirjen Pajak Eselon III Rafael Alun dilakukan secara terencana, struktural, dan melibatkan banyak pihak (www.cnbcindonesia.com). Dilakukan bak sindikat profesional, melibatkan jasa profesional pencucian uang, konsultan pajak, tenaga ahli hukum, hingga jasa berbadan hukum lainnya.
Seperti diketahui, PPATK menemukan aliran dana Rp 500 milyar milik Rafael Alun tersebut, dari 40 rekening miliknya. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Mahfud MD menjelaskan, ada miliaran rupiah yang disimpan oleh Pejabat Pajak Rafael Alun Sambodo (RAS) sampai dengan Rp 500 miliar, yang terbukti baru Rp 37 miliar yang ditemukan dalam sebuah deposit box.
Setelah kasus ini terungkap, Mahdud MD mendapatkan laporan adanya pergerakan uang mencurigakan sebesar Rp 300 triliun di lingkungan kementerian keuangan. Pergerakan uang mencurigakan ini sebagian besar terjadi di Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Pergerakan uang tersebut telah melibatkan 467 pegawai Kementerian Keuangan, dengan total 160 laporan dari kurun waktu 2009 hingga 2023. (Jum’at 10 Maret 2023, www.cnbcindonesia.com) (1).
Pencucian uang merupakan salah satu upaya untuk menyembunyikan asal-usul hasil kejahatan yang telah dilakukannya dan menghindari penegakan hukum. Karenanya, pencucian uang masih menjadi bisnis yang menarik di kalangan para pelaku white collar crime. Atau tindak kecurangan seseorang dengan menggunakan posisi ataupun wewenang pada sektor swasta dan pemerintahan. Tindakan korupsi biasanya dibarengi tindak pencucian uang dalam rangka menyembunyikan fakta, bahkan memalsukan data korupsi itu sendiri, melalui transaksi keuangan. Meskipun orang yang melakukan pencucian uang tak selalu pelaku korupsi.
Maraknya tindak pencucian uang di kalangan pemerintahan, menunjukkan gagalnya sistem politik demokrasi untuk melahirkan pejabat yang amanah, jujur dan bertanggung jawab dalam mengurus urusan rakyat. Semua adalah dampak dari sistem demokrasi sekuler sehingga terjadi penyelewengan kekuasaan dan menyuburkan korupsi hingga pencucian uang.
Faktanya dalam demokrasi, korupsi hingga pencucian uang, adalah bisnis politik. Kebutuhan akan modal yang dikeluarkan pejabat dalam pemilihan, akan menyuburkan relasi antara pemilik modal (korporasi) dan elit politik calon penguasa. Modal ini harus dikembalikan. Karena itu ketika terpilih, pejabat harus mendapatkan profit selama menduduki jabatannya. Ia harus mengembalikan modal yang disokong oleh pemilik modal dan mendapatkan keuntungan. Dari sinilah penyelewengan kekuasaan menjadi jalan, sebab biaya politik sistem demokrasi tergolong mahal. Terkadang modal dikembalikan dalam bentuk kebijakan yang mengikuti kepentingan pemilik modal. Bukan terselesaikannya permasalahan negara, malah makin memperumit. Ditambah lagi dengan kehidupan hedon dan konsumtif, menjadikan pejabat berlomba-lomba hidup mewah. Beginilah pejabat yang lahir dari sistem politik demokrasi.
Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam yang disebut Khilafah. Sistem Islam berlandaskan pada akidah Islam. Aturannya bersumber dari Allah SWT, Sang Pencipta dan Pengatur manusia. Sehingga aturannya sangat terperinci dan memberikan solusi atas setiap permasalahan umat manusia. Akidah Islam akan melahirkan kesadaran bahwa setiap manusia selalu diawasi Allah. Dari sini akan lahir kontrol dan pengawasan internal yang menyatu dalam diri pemimpin, politisi, aparat, dan pegawai negara. Akidah yang kokoh, yang dibentuk oleh Khilafah sebagai penerap akidah Islam sebagai dasar negara, akan mencegah sejak dini tindak pidana korupsi hingga pencucian uang.
Sistem politik Islam tak membutuhkan biaya tinggi, termasuk dalam hal pemilihan pejabat. Inilah yang mencegah pemilik modal masuk dan menyetir sejumlah kebijakan. Para pejabat Khilafah akan benar-benar melakukan tugasnya sebagai pengurus urusan umat.
Bukan hanya langkah preventif, Islam juga memiliki langkah kuratif dalam memberantas tindak pidana pencucian uang dengan hukum yang membuat jera. Pencucian uang diidentikkan dengan penggelapan (Ghulul). Karena pelaku pencucian uang mengambil harta yang bukan haknya dan menyembunyikannya dalam hartanya. Pencucian uang disebut penipuan. Karena di dalamnya mengandung unsur menipu aparat penegak hukum dengan menyembunyikan harta hasil kejahatannya, seolah-olah itu dari hasil aktivitas yang sah. Ini juga dikatakan sebagai bentuk pengkhianatan atas amanah publik, yang seharusnya dijalankan dengan baik. Dan Khilafah akan menjalankan kewajibannya menegakkannya, untuk menumpas harta Ghulul dan memberikan sanksi tegas pada pelakunya.
Hukum pidana Islam tidak secara eksplisit menyebut money laundering dalam nash. Baik dalam Al-Qur’an maupun hadis. Maka pencucian uang dikategorikan sebagai jarimah ta’zir, yaitu suatu perbuatan pidana yang sanksi hukumannya ditentukan oleh Negara, yakni Khalifah. Khalifah atau Qadhi-lah yang berhak menentukan hukumannya berdasarkan hasil ijtihad atau penggalian hukum Islam. Sanksi Islam ini membuat pelaku jera (fungsi Zawajir/Pencegah) hingga dosa pelakunya (jawabir). Karena itu hanya sistem Khilafah yang mampu memberantas tindak pencucian uang maupun tindak penyelewengan kekuasaan lainnya, dan menciptakan rasa keadilan di tengah masyarakat.
Wallahu’alam Bishshawab
Catatan Kaki :
(1) https://www.cnbcindonesia.com/news/20230310182211-4-420748/breaking-news-cuci-uang-rp300-t-libatkan-467-pns-kemenkeu
Views: 10
Comment here