Surat Pembaca

Ribut-Ribut Efisiensi Anggaran, Layanan Publik Dikorbankan?

blank
Bagikan di media sosialmu

Wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Anggaran negara kembali dipangkas. Dalihnya, efisiensi. Alasan di baliknya, menutup kebutuhan Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun, sayangnya, yang terpangkas justru anggaran yang menyentuh rakyat banyak. Subsidi menciut, bantuan menipis, pendidikan dan riset pun turut terkikis. Lantas, benarkah ini efisiensi? Ataukah hanya skenario baru untuk menegaskan siapa yang berkuasa dan siapa yang harus berkorban?

Efisiensi Anggaran, Rakyat yang Menanggung Beban?

Pemerintah mengumumkan pemangkasan anggaran hingga Rp306 triliun (Reuters, 18/2/2025). Dari jumlah ini, Rp256 triliun dipangkas dari kementerian dan lembaga, sedangkan Rp50 triliun dari transfer ke daerah. Pemangkasan ini memberikan dampak pada keberlangsungan program infrastruktur, layanan kesehatan, pendidikan tinggi, bahkan riset dan inovasi.

Sebagai contoh, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menghadapi pemotongan hingga 80% (The Australian, 7/2/2025). Begitu pula Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), yang anggarannya terpangkas lebih dari 50% (Financial Times, 20/2/2025). Padahal, BMKG berperan krusial dalam mitigasi bencana. Di negeri yang rawan gempa dan tsunami, pemotongan ini seperti menutup mata terhadap bahaya yang mengintai.

Rakyat kehilangan subsidi, mahasiswa meratapi riset yang tersendat, ilmuwan berhenti bermimpi karena dana penelitian semakin menyempit. Apa ini efisiensi? Ataukah ini sekadar redefinisi pengorbanan—agar rakyat terbiasa menelan pahitnya ketimpangan?

*Kontradiksi dalam Kebijakan Efisiensi*

Lucunya, di saat sektor esensial dipangkas, ada anggaran yang tetap kokoh berdiri. Kementerian Pertahanan, misalnya, tetap mendapat porsi besar untuk pengadaan alutsista (Reuters, 18/2/2025). Bahkan, enam staf khusus baru ditunjuk untuk kementerian ini (Kompas, 2025). Jika efisiensi adalah kata kunci, mengapa langkah ini bertolak belakang?

Begitulah wajah anggaran di negeri kapitalistik. Yang dibela bukan rakyat, tapi korporasi. Kebijakan fiskal seolah menjadi tameng bagi kepentingan oligarki, bukan alat untuk menyejahterakan rakyat. Pemotongan anggaran hanya berlaku bagi mereka yang lemah, sementara mereka yang kuat justru semakin berkuasa.

*Islam Mengutamakan Pelayanan Publik*

Dalam sistem Islam, pelayanan publik bukan sekadar program sosial, melainkan kewajiban negara terhadap rakyat. Rasulullah ﷺ bersabda: “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. Bukhari, Muslim). Artinya, negara wajib memastikan kebutuhan dasar umat, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan, terpenuhi tanpa bergantung pada pajak atau utang ribawi.

Negara Islam mengalokasikan dana dari Baitulmal untuk layanan publik tanpa membebani rakyat dengan biaya yang mencekik. Rumah sakit dan sekolah dalam Daulah Islam dulu berdiri megah tanpa pungutan biaya, seperti Rumah Sakit an-Nuri di Damaskus atau Bayt al-Hikmah di Baghdad yang menjadi pusat keilmuan dunia. Infrastruktur dibangun untuk kemaslahatan, bukan untuk keuntungan segelintir pihak. Semua ini menunjukkan bagaimana Islam menjadikan kesejahteraan umat sebagai prioritas utama.

*Islam dan Pengelolaan Anggaran Negara*

Islam memandang penguasa sebagai raa’in, pemelihara urusan umat. Amanahnya bukan untuk menyenangkan segelintir orang, tapi untuk mengurus kepentingan rakyat secara keseluruhan. Prinsip kedaulatan dalam Islam terletak di tangan syariat, bukan di tangan oligarki atau kepentingan politik.

Islam memiliki sumber pendapatan yang luas dan beragam: zakat, kharaj, fai’, ghanimah, hingga pengelolaan sumber daya alam yang murni untuk rakyat. Tidak ada istilah defisit anggaran akibat utang ribawi atau pajak yang mencekik rakyat. Alokasi anggaran dalam Islam dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan perencanaan matang, karena jabatan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat.

*Penutup*

Efisiensi anggaran seharusnya ditujukan untuk kepentingan rakyat, bukan malah mempersempit ruang hidup mereka. Jika yang dipangkas adalah layanan publik, sementara anggaran untuk kepentingan korporasi dan oligarki tetap aman, maka ini bukan efisiensi, melainkan ketimpangan yang semakin nyata. Islam menawarkan solusi yang lebih adil dan berkelanjutan—sistem yang mengutamakan kesejahteraan rakyat tanpa terjebak pada utang dan kepentingan pihak tertentu.

Hanya dengan sistem Islam, kebijakan anggaran akan benar-benar berpihak pada umat. Maka, masihkah kita berharap pada sistem yang terus mengkhianati rakyat? Ataukah saatnya kita kembali pada aturan Ilahi yang menjamin kesejahteraan hakiki?

Tresna Mustikasari, S.Si

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 9

Comment here