Oleh : Umul Istiqomah
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Terombang-ambing di lautan, tanpa tahu arah tujuan, bahkan gelar ‘manusia perahu’ disematkan, pada mereka pengungsi Rohingya yang terlupakan. Kalau boleh memilih, mungkin tak ada yang ingin lahir dari rahim seorang ibu beretnis Rohingya, karena terlahir sebagai Rohingya dengan kondisinya sebagai etnis Muslim minoritas, yang selalu tertindas di tanah kelahirannya, hingga tertolak di negara yang menjadi tujuan mencari suaka, tentunya adalah kondisi yang tidak menjadi harapan bagi manusia mana pun. Namun, tak ada pilihan lain bagi mereka, meski harus mengemis mencari tempat aman untuk dapat terus bertahan hidup. Seperti yang diberitakan, pada Kamis 07/11/2024, penolakan kembali terjadi pada 152 warga Rohingya yang dibawa dengan lima truk dari Aceh Selatan ke Banda Aceh. Para pengungsi ini tidak di bolehkan turun dari truk selama 6 jam lantaran belum mendapatkan izin dari pemerintah setempat untuk diturunkan (BANDA ACEH, KOMPAS.com, 07/11/2024).
Sebelumnya para pengungsi Rohingya ini terombang-ambing selama sepekan di lautan Aceh Selatan sampai akhirnya dievakuasi ke daratan. Muhammad Jabal (Panglima Laot Aceh Selatan) mengatakan, para pengungsi akan dievakuasi di tempat penampungan sementara tepatnya di Terminal Bus Tipe C Labuhan Haji sampai tanggal 1 November 2024. Para pengungsi ini, memasuki perairan Aceh Selatan pada Jumat (18/10/2024) dan diketahui keberadaannya oleh nelayan setempat setelah ditemukan mayat perempuan di sekitar Pelabuhan Labuhan Haji pada Kamis (17/10/2024). Meski awalnya tidak diizinkan mendarat, namun kebutuhan logistik seperti makanan tetap disalurkan kepada para pengungsi yang berada di atas kapal (KOMPAS.com, 24/10/2024).
Etnis Minoritas yang Tertindas
Rohingya merupakan suatu kelompok etnis Muslim, yang hidup di negara bagian Myanmar yaitu Rakhine selama berabad-abad lamanya. Dikarenakan mayoritas penduduk Myanmar memeluk agama Budha, maka Rohingya yang beragama Islam menjadi minoritas disana meski jumlahnya mencapai satu juta jiwa pada awal 2017. Hal itu pula yang membuat pemerintah Myanmar menyangkal kewarganegaraan Rohingya dan mengecualikan mereka dari sensus tahun 2014. Mirisnya lagi, pemerintah Myanmar menganggap bahwa Rohingya adalah imigran ilegal dari Bangladesh.
Pada tahun 2016-2017 terjadi genosida pada Muslim Rohingya, banyak negara yang menganggap bahwa peristiwa genosida ini sebagai pembersihan etnis, karena para militer Myanmar melakukannya dengan cara sadis dan sistematis yang menyebabkan lebih dari satu juta orang Rohingya mengungsi ke negara lain dan yang paling banyak yakni ke Bangladesh. Hal ini mengakibatkan terciptanya kamp pengungsian terbesar di dunia. Dan hingga saat ini, kondisi Muslim Rohingya hidup terlunta-lunta, mereka belum mendapatkan solusi dari peristiwa yang menimpa, tidak diakui di tanah kelahirannya juga tertolak di negeri yang mereka kira bisa memberikan perlindungan tapi nyatanya tidak.
Rohingya Adalah Tentang Kemanusiaan
Banyaknya penolakan dari negara-negara lain yang menjadi tujuan suaka bagi masyarakat Rohingya, dipicu oleh berbagai alasan. Di antaranya yang pertama, karena dengan datangnya pengungsi akan menambah beban anggaran negara, padahal PBB memiliki badan tersendiri di setiap negara yakni UNHCR yang bertugas untuk mengurusi para pengungsi di seluruh dunia, di mana badan ini akan menanggung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan para pengungsi. Sehingga bukan anggaran negara yang dijadikan sumber dana untuk membiayai para pengungsi. Alasan kedua, negara tersebut tidak berkewajiban untuk menampung pengungsi, karena tidak ikut meratifikasi konvensi pengungsi 1951, padahal meskipun tidak menandatangani konvensi tersebut, kewajiban untuk saling tolong-menolong tetaplah ada, karena ini soal kemanusiaan. Ketiga, adanya persepsi negatif dari masyarakat setempat tentang para pengungsi Rohingya yang dinilai arogan dan sulit diatur. Hal ini bisa jadi karena kebanyakan dari pengungsi Rohingya tidak bisa berbicara dengan bahasa lain selain bahasa Rohingya sehingga sering menimbulkan miskomunikasi. Alasan keempat, karena negara yang menjadi tujuan suaka tidak memiliki tempat untuk menampung, seperti negara Singapura misalnya, mereka mengklaim memiliki negara yang tidak terlalu luas sehingga tidak bisa menerima pengungsi dari negara mana pun.
Umat Islam Satu Tubuh
Dari sekian banyak alasan penolakan tadi, yang paling miris adalah ketika sebuah negara yang menjadi tujuan suaka menganggap bahwa tidak memiliki kewajiban untuk menerima pengungsi. Padahal, negara yang dipilih orang-orang Rohingya untuk mengungsi adalah negara yang memiliki penduduk mayoritas Muslim, dengan harapan negara tersebut akan menerima mereka dengan terbuka karena satu alasan yakni solidaritas sesama Muslim. Namun nyatanya, saat ini persatuan umat Muslim di seluruh dunia semakin terkikis, karena adanya sekat nasionalisme, yakni paham yang berakar dari sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan) sehingga perasaan, pemikiran, dan peraturan yang dipakai oleh umat Muslim kini tidaklah sama. Padahal, hubungan umat Muslim satu dengan yang lainnya itu layaknya satu tubuh, sebagaimana sabda Rasulullah saw :
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya)” (H.R. Muslim)
Hadist ini mengajarkan umat Muslim untuk saling tolong-menolong, saling menghargai, tidak membeda-bedakan antara Muslim satu dengan yang lainnya, serta menjaga ukhuwah (persaudaraan) sesama muslim. Dengan kata lain, persoalan Rohingya adalah persoalan umat Muslim. Maka, ketika sebuah negara menolak untuk menolong Muslim Rohingya, apalagi mayoritas penduduknya adalah Muslim, artinya sudah terkikis pula ajaran Islam yang seharusnya mereka pakai untuk persoalan Rohingya ini. Karena berarti, bukan lagi landasan akidah Islam yang mereka pakai untuk berpikir dan bersikap, namun hawa nafsu dan juga paham sekularisme yang semakin mendarah daging.
Solusi Nyata untuk Rohingya
Masyarakat dunia khususnya kaum Muslim harus fokus pada akar persoalan dari kasus Muslim Rohingya, bukan fokus pada persoalan-persoalan turunannya. Maka dari itu, ada dua hal penting yang menjadi solusi untuk menyelesaikan persoalan Rohingya ini, pertama yakni menghapus sekat-sekat nasionalisme yang membelenggu kaum Muslim untuk memberikan pertolongan kepada sesama Muslim lainnya. Karena paham nasionalisme juga menjadi pemicu munculnya xenofobia atau kebencian terhadap orang asing/bangsa lain. Yang mengakibatkan, banyaknya provokasi untuk mengusir kedatangan para pengungsi dari negara lain. Entah mengapa saat ini paham nasionalisme menjadi kebanggaan bagi sebuah bangsa, padahal nasionalisme adalah salah satu jenis ‘ashabiyah (fanatisme kelompok) yang telah diharamkan oleh Nabi saw. Solusi kedua, menciptakan pelindung sejati bagi umat secara internasional yakni Khilafah Islamiyah. Karena sudah terbukti PBB dan berbagai badan yang ada di dalamnya gagal mencegah perang dan genosida serta menjamin rasa aman bagi kaum Muslim. Bahkan ASEAN yang didirikan di Asia Tenggara pun telah gagal dalam menghentikan aksi genosida yang dilakukan militer Myanmar dan kelompok ekstremis Budha.
Beginilah nasib umat Muslim, mereka bak anak ayam kehilangan induknya. Tak tahu harus berlindung kepada siapa, karena induk yang bisa melindungi dan menjaga umat Muslim hanyalah Khilafah. Keberadaan Khilafah laksana perisai yang melindungi umat. Sebagai negara superpower yang memiliki kekuatan dan pengaruh politiknya, Khilafah akan memberikan sanksi tegas kepada rezim Myanmar yang sudah menganiaya kaum Muslim Rohingya. Khilafah juga yang akan menyatukan kaum Muslim seluruh dunia, serta menjaga kehormatan, harta dan darah mereka. Bahkan Khilafah juga akan melindungi umat beragama lain. Dengan begitu, persoalan penindasan atau genosida terhadap kaum minoritas khususnya kaum Muslim seharusnya tidak mungkin terjadi lagi dengan tegaknya aturan Islam di bawah naungan Khilafah Islamiyah.
Views: 5
Comment here