Opini

RUU KUHP Maritel Rape, Diskreditkan Hukum Islam

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Widhy Lutfiah Marha (Pendidik Generasi)

Pada hakikatnya dari nilai-nilai ideologi mereka menempatkan perempuan sebatas komoditas, sebagai objek pelampiasan hawa nafsu. Kemudian, cara pandang ini dibawa bersama melihat fakta yang sama di negeri muslim kemudian disimpulkan secara gegabah bahwa itu adalah praktek dari agama Islam.

Wacana-edukasi.com Masyarakat kini kembali diresahkan dengan delik krusial yaitu tentang revisi Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP) yang di dalamnya ada pasal tentang maritel rape atau perkosaan dalam rumah tangga.

Masuknya isu ini dalam RUU tersebut karena adanya fakta yang dilaporkan sebanyak 192 kasus di tahun 2019, 100 kasus di tahun 2020, dan kasus ini dianggap merugikan perempuan. Di sisi lain menurut mereka yang mengusulkan adanya pidana terkait maritel rape di masyarakat Indonesia belum dikenal adanya perkosaan dalam rumah tangga. Padahal, hal ini sebuah kejahatan dan karena tidak ada hukumannya, maka menguap begitu saja di dalam rumah.

Oleh karena itu, diperlukan adanya undang-undang sebagai jaminan perlindungan terhadap perempuan dengan adanya definisi pidana maritel rape dan ketentuan hukumnya.

Nah, meski kita tidak sepakat adanya kejahatan tersebut atau yang mereka pahami sebagai kekerasan hubungan suami istri dengan pemaksaan atau bahkan dengan intimidasi secara fisik, tetapi kita perlu mewaspadai adanya statement dan pemikiran khusus dari gencarnya opini para feminis. Mereka senantiasa menuduh seolah terjadinya kasus ini sebagai praktik dari agama Islam.

Menurut mereka perkosaan dalam perkawinan ini muncul karena adanya relasi suami istri yang timpang. Semisal dengan hubungan seks itu adalah kewajiban istri atau hak suami saja, bukan kewajiban sekaligus hak keduanya.

Akibatnya suami dianggap boleh memaksa untuk mendapatkan haknya dan sebaliknya istri dilarang menolak bahkan ketika sakit sekalipun. Anggapan mereka tentang ketimpangan relasi ini terkait dengan konsep ketaatan mutlak berdasarkan surat An-Nisa’ ayat 34 tentang kepemimpinan suami:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (TQS. An-Nisa’: 34)

Begitupun dengan riwayat hadis tentang seorang perempuan yang menolak hubungan suami, istri akan dilaknat malaikat sampai subuh hari.

Menurut mereka dalam fikih perkawinan itu dianggap sebagai akad untuk memiliki atau akad yang membolehkan untuk menikmati hubungan yaitu dengan istrinya. Sehingga suami sebagai pemilik berhak berhubungan seksual sesuai dengan kehendaknya. Jadi, ketika istri menolak itu termasuk menghalangi atas apa yang dibolehkan oleh agama.

Dari sini perlu dikritisi, karena para aktivis feminis ini ketika membaca ayat atau hadis itu mereka sedang menggunakan sudut pandang orang lain. Menurut pemahaman feminis semua ini terjadi, karena adanya relasi kuasa atau ketimpangan relasi, kemudian mereka mendasarkan pada pemikiran yang dangkal ke pragmatis. Mereka hanya melihat fakta tetapi tidak melihat keseluruhan masalah. Karena, pola pikir mereka pragmatis, maka yang dijadikan dalil adalah fakta.

Semisal kejadian seorang perempuan di Indiana Amerika yang dipaksa melayani dengan kekerasan, sehingga terjadi kerusakan pada organ reproduksinya, fisiknya dan lain-lain. Termasuk fakta perempuan yang ada di Bali yang terjadi di tahun 2015 dipaksa berhubungan dengan suaminya padahal dia dalam kondisi sakit hingga akhirnya ia meninggal.

Fakta-fakta yang mereka ajukan di atas itu hanya sebatas adanya maritel rape. Tanpa melihat konteknya, jika itu terjadi di Amerika, yang tentu saja tidak berdasarkan pada standar yang benar pasti akan disikapi dengan analisa adanya ketimpangan gender.

Memang pada hakikatnya dari nilai-nilai ideologi mereka menempatkan perempuan sebatas komoditas, sebagai objek pelampiasan hawa nafsu. Kemudian, cara pandang ini dibawa bersama melihat fakta yang sama di negeri muslim kemudian disimpulkan secara gegabah bahwa itu adalah praktek dari agama Islam.

Jadi, mereka menilai kepemimpian laki-laki terhadap perempuan itu sebagai kemungkinan yang mutlak yaitu mutlak hanya pada seorang suami. Dan juga pada hadits tentang laknat kepada seorang perempuan itu seolah-olah ada relasi kuasa. Padahal, seharusnya tidak seperti itu, karena sejatinya suami yang bertindak kasar terhadap istrinya itu disebabkan ia tidak memahami agama dengan benar, bukan sedang menjalankan praktek dalam agama. Tetapi, justru dia sedang memuaskan hawa nafsunya karena kebodohannya.

Jika dia paham Islam, tentu tidak akan bertindak seperti itu, dia akan tahu larangan menyetubuhi istri saad haid, dia sangat tahu bahwa tidak boleh menyakiti fisik pasangannya, tidak boleh memaksa untuk bergaul dengan istri yang sedang sakit atau kelelahan dan lain-lain.

Lantas mengapa fakta yang salah tersebut dituding sebagai akibat praktek hukum Islam jika tidak sentimen terhadap ajaran Islam?

Sebenarnya banyak sekali problem yang dialami para muslimah yang harus diurus ketimbang mengurusi maritel rape dengan sudut pandang yang salah. Nah dari ini kita menakar statement ini dengan syariat Islam yaitu bagaimana pola relasi laki-laki dan perempuan baik dalam kehidupan privat atau keluarga dan dalam kehidupan publik.

Dalam kehidupan privat Islam telah menggambarkan bahwa hubungan suami istri itu sebagai musahabah (sahabat) bukan kemitraan, seperti firman Allah Swt:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (TQS. Ar-Rum:21)

Jadi, ketentuan dasar sebuah pernikahan adalah kedamaian. Suami istri itu merasa kedamaian. Satu sama lain merasa tentram, agar persahabatan itu terasa damai dan tentram sesuai dengan apa yang menjadi hak masing-masing.

Seperti bahwa istri-istri itu memiliki hak yang sama pada kalian (para suami) ketika syariah memerintahkan istri untuk taat kepada suaminya. Begitupun Allah Swt memerintahkan:

Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (TQS. Al-Baqarah:223)

Bahkan Rasulullah saw menyatakan: “Bahwa laki-laki terbaik itu adalah yang paling baik pada keluarganya, kemudian Rasulullah melanjutkan saya adalah yang terbaik untuk keluargaku. ”

Nah semua dalil dan petunjuk itu dalam masyarakat muslim pasti akan dijalankan dengan kesadaran dan ketakwaan. Oleh karena itu, jika kita membaca teks-teks tadi dengan kacamata ideologi sekuler, dengan pemikiran feminis bahwa adanya pola relasi, tentu tidak akan pernah berbaik sangka dengan hukum-hukum Islam.

Maka kita sebagai muslim harus hati-hati dengan pola pikir yang seperti itu, karena akan menggerus keberpihakkan kita terhadap syariah. Seolah-olah masalah itu dapat terselesaikan dengan undang-undang buatan manusia selesai. Yaitu dengan rencana kitab hukum pidana berikut dengan sanksinya.

Seraya mendiskreditkan syariah Islam, justru fakta buruk yang menimpa keluarga muslim saat ini akibat dari tidak diterapkannya syariah Islam.

Maka dari itu, di sinilah pentingnya keberadaan negara dalam menanamkan Islam kaffah kepada masyarakat melalui pendidikan yang memiliki kurikulum yang berbasis Islam. Namun, pelaksanaan pendidikan itu harus didukung dengan terwujudnya sistem pemerintahan Islam, yakni khilafah Islamiyah.

Wallahu a’lam bishshawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 8

Comment here