Wacana-edukasi.com — Kembali mencuat pembahasan soal Rancangan Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang menuai pro dan kontra. Sampai-sampai pengesahannya tertunda, yang seharusnya berlangsung pada akhir masa kerja DPR 2014-2019.
Sudah beberapa rezim mencoba menyusun KUHP versi Indonesia, namun terus menerus gagal. Dan akhirnya menggunakan KUHP peninggalan penjajah Belanda. Yang sebenarnya banyak hal yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia, karena standarnya adalah masyarakat Eropa.
Di dalam draf RUU KUHP Bab II Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden, menghidupkan kembali pasal yang telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 dan No. 6/PUU-V/2007, MK mencabut Pasal 134, 136 bis, 137 dan Pasal 154-155 KUHP tentang penghinaan presiden dan pemerintah (republika.co.id).
Berbagai penolakan terus bermunculan sampai dengan sekarang dan belum ada kesepakatan bulat akan masalah ini.
Semua tetap keukeuh pada pendapatnya masing-masing, baik yang pro maupun yang kontra. Lantas sampai kapan ada kesepakatan? Bukankah pemikiran manusia berbeda-beda?
Memang benar adanya, jika suatu hal dimintai pendapat pada individu menghasilkan jawaban yang beragam. Karena memang tiap individu berbeda latar belakang, watak, kepentingan, dan sebagainya. Dia akan bersuara sesuai dengan kondisinya. Maka bisa kita bayangkan bagaimana jika suatu persoalan atau aturan yang hendak diterapkan harus meminta persetujuan per individu. Tentu akan gagal karena akan ada pihak yang menolak. Disebabkan beda kepentingan, posisi diuntungkan tidaknya, dan sebagainya.
Terbukti sudah bahwa manusia memang lemah. Membuat aturan untuk dirinya dan sesama manusia saja tak bisa. Selalu ketidak adilan yang timbul karena berbeda kepentingan tadi. Lantas hukum manakah yang paling layak manusia terapkan?
Prinsip dasar yang membedakan sistem demokrasi dan Islam adalah pada kedaulatan rakyat. Dalam demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat. Artinya rakyatlah yang berhak membuat hukum. Sementara Tuhan tak diberi ruang sedikit pun untuk mengaturnya karena berasas pada sekularisme. Sedangkan Islam, kedaulatan ditangan syara’. Artinya, segala sesuatunya keluar daripada aturan Allah yaitu bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Manusia hanya menjalankannya saja serta tunduk akan hukum-hukum tersebut. Dan kholifah yang memutuskan suatu perkara.
Bukankah itu otoritarianisme? Inilah yang sering dikampanyekan para pembenci sistem pemerintahan Islam. Nyatanya, khalifah dibaiat oleh rakyat untuk benar-benar menjalankan seluruh syariat Islam. Adapun jika hukum yang di ambil bertentangan dengan Islam, maka rakyat berhak mencopotnya. Kholifah hanya menjalankan perannya sebagai periayah bahwa syariat Islam telah diterapkan secara keseluruhan.
Yang timbul adalah perdebatan antar manusia, dikarenakan ada pihak yang terdzolimi karena bersebrangan kepentingan dengan yang membuat undang-undang tersebut. Sangat berbeda dengan Islam yang hukum diserahkan pada yang menciptakan manusia. Yang paling tau detail soal manusia, maka hukumnya pun akan cocok bagi manusia. Baik muslim maupun nonmuslim.
Di dalam Islam pun, suara rakyat didengar dan tidak dibungkam. Karena rakyat mempunyai kewajiban untuk mengingatkan (muhasabah lil hukam) ketika kholifah mulai menyimpang daripada syariat Islam.
Maka masalah perundang-undangan ini sejatinya akan selesai ketika kita kembali menerapkan hukum Islam.
Leni Setiani (Aktivis Muslimah Karawang)
Views: 4
Comment here