Oleh: Novriyani, M.Pd. (Praktisi Pendidikan)
Wacana-edukasi.com— Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dibuat oleh DPR dan pemerintah selalu menuai kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Baru saja usai UU Ciptaker disahkan oleh DPR yang menuai banyak pro kontra.
Pihak yang kontra dengan RUU minol dikhawatirkan akan menimbulkan over kriminalisasi bagi masyarakat.
Dalam hal ini Sekjen MUI Anwar Abbas meminta pemerintah tidak tunduk terhadap keinginan pedagang. “Menurut saya, dalam membuat UU tentang miras ini, pemerintah jangan tunduk kepada keinginan pedagang dan jangan biarkan mereka mencari untung dengan merugikan dan merusak fisik serta jiwa dan agama orang lain yang mengonsumsinya seperti halnya juga dengan narkoba”. Ia mengimbau pemerintah dan anggota DPR mempertimbangkan kebijakan terbaik bagi rakyatnya dan menghindari konflik kepentingan. Anwar menilai minuman beralkohol berdampak buruk jika ditinjau dari segi kesehatan maupun agama (detiknews.com 13/11/2020).
Pendapat lain pun disampaikan oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Minuman Beralkohol Indonesia (APBMI), Stefanus, menyatakan khawatir jika RUU itu sampai lolos. “Kita nggak pengin disahkan. Kalau disahkan sama saja membunuh pariwisata Indonesia.” Minuman beralkohol adalah salah satu produk yang dikenakan cukai. Pada awal tahun ini, Kementerian Keuangan mengumumkan minuman beralkohol menyumbangkan sekitar Rp 7,3 triliun pada penerimaan cukai negara tahun 2019, jumlah yang oleh Stefanus disebut “besar bagi penerimaan negara.”
Sementara, tahun lalu, DKI Jakarta yang memiliki saham perusahaan produsen bir, PT Delta Djakarta, mendapatkan lebih dari Rp100 miliar dari deviden perusahaan itu. Stefanus berpendapat minuman beralkohol memang perlu diatur dan diawasi, misalnya mengenai usia orang yang diizinkan mengkonsumsi, tapi tidak dilarang (BBC.com 13/11/2020).
Jika diamati dari sisi ekonomi, minuman beralkohol adalah salah satu produk yang dikenakan bea cukai dalam jumlah besar kepada Indonesia. Bahkan disebutkan juga bahwa ibu kota Indonesia pun memiliki saham perusahan produsen bir yang mendapatkan keuntungan lebih dari deviden perusahan. Selain itu juga, dari pariwisata Indonesia yang kebanyakan orang-orang pendatang dari luar negeri yang lebih banyak mengkonsumsi minuman beralkohol. Hal tersebut menjadi aset negara untuk memperoleh keuntungan dari setiap produsen maupun distributor minuman beralkohol tersebut.
Dengan dalih untuk memperbaiki perekonomian Indonesia selama pandemi, pemerintah membuat kebijakan untuk tidak melarang minuman beralkohol hanya sekedar diatur dan diawasi saja. Padahal, sejatinya pemerintah hanya mementingkan keuntungan besar yang akan diperoleh dan lebih memihak kepada investor tanpa memikirkan dampak buruk yang akan terjadi pada rakyatnya.
Sebaliknya, jika dari sisi kesehatan, minuman beralkohol memberikan dampak negatif bagi tubuh seseorang. Seperti merusak hati dan ginjal, pankreas, saraf, kerusakan otak, infeksi paru-paru hingga kanker. Selain itu, mengancam kesehatan mental seperti depresi.
Miras tidak hanya merusak pribadi peminumnya, tetapi juga berpotensi menciptakan kerusakan pada orang lain. Mereka yang sudah tertutup akalnya oleh miras menjadi hilang kesadaran. Akibatnya, ia bisa bermusuhan dengan saudaranya, melakukan kekerasan, termasuk membunuh dan memperkosa.
Dalam sistem ekonomi kapitalis demi keuntungan para pengusaha halal dan haram tidak menjadi standar sebuah produk beredar. Penguasa dalam sistem demokerasi memberikan kebebasan kepada siapapun untuk berbuat. Maka, halal dan haram tidak menjadi standar kebolehan mengkonsumsi sesuatu sekalipun membahayakan jiwa rakyat.
Pengharaman khamr dan segala jenisnya adalah bagian dari kemulian syariah Islam yang memberikan perlindungan pada akal. Miniman beralkohol jelas menimbulkan kekacauan pada akal manusia.
Minuman beralkohol bahkan mendorong berbagai tindak kejahatan selain melalaikan manusia dari mengingat Allah SWT. Sudah saatnya kaum Muslim mengambil sikap tegas. Hanya menjadikan halal dan haram sebagai standar perbuatan dan penyusunan undang-undang. Itulah sikap sejati seorang Mukmin. Tidak mempertimbangkan untung-rugi materi. Juga bukan dengan menyerahkan pada suara rakyat atau para wakilnya untuk menentukan halal-haramnya minuman keras.
Sungguh ironi jika hukum Allah Swt. yang semestinya diterima dengan penuh keimanan justru ditimbang dengan hawa nafsu manusia. Mencari celah untuk membatalkannya. Diperhitungkan apakah akan merugikan mereka secara materi ataukah tidak. Mereka lupa bahwa Allah Swt. telah berjanji akan menolong hamba-Nya yang senantiasa taat berpegang pada hukum-hukum syariat.
Wallahua’lam bishshawab
Views: 2
Comment here