Oleh: Siti Aisyah, S.pd. (Aktivis Literasi Papua dan anggota WCWH)
Wacana-edukasi.com — Di kutip dari laman Tempo. Co, 13/11/2020, fraksi Golkar dan fraksi PDI Perjuangan mengisyaratkan bakal menolak rancangan undang- undang atau RUU Minuman beralkohol. Ketua kelompok fraksi Golkar, Firman Soebagyo mengatakan RUU larangan minuman beralkohol ini telah di bahas sejak DPR periode 2014-2019. Namun, pembahasannya mentok lantaran perbedaan pendapat DPR dan pemerintah. Firman juga mengingatkan ada keragaman yang perlu di perhatikan. Dia mengatakan minuman betalkohol pun digunakan di daerah atau agama tertentu untuk kepentingan Ritual seperti Bali, Papua, Sumatra Utara, Nusa Tenggara Timur, hingga Sulawesi Utara.
Penolakkan ini juga
datang dari ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Gomar Gultom, angkat suara berkaitan dengan wacana pembahasan Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol) yang tengah di godok di DPR. Pendekatan undang-undang ini menurut Gultom sangat infantil alias segala sesuatu dilarang. Padahal kata dia, negara lain seperti Uni Emirat Arab mulai membebaskan minuman beralkohol untuk dikonsumsi dan beredar luas di masyarakat. Sebaliknya Indonesia malah melarang hal yang mulai dibebaskan oleh negara lain alias mundur beberapa langkah ke belakang (Cnnindonesia. com, 13/11/2020).
Di sisi lain, anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai salah satu pengusung RUU Larangan Minol, Illiza sa’addudin Djamal berpendapat aturan itu penting demi menjaga ketertiban,
“Minuman beralkohol bisa merusak kesehatan dan berakibat fatal terhadap hilangnya akal dan sebagainya. Dalam kondisi mabuk kan banyak kasus pemerkosaan dan kematian akibat kecelakaan lalu lintas dan kasus kasus lainnya yang berakibat fatal,” ujarnya
(www. bbc. com,13/11/2020).
Sistem Politik Demokrasi
Pro dan kontra RUU minuman beralkohol ini akibat dari sistem politik demokrasi yang negara kita terapkan saat ini.
Demikianlah jika ada keinginan untuk menerapkan aturan berdasarkan syariat islam, justru akan memunculkan kontroversi penolakan dari berbagai kalangan. Karena aturan main dalam sistem demokrasi tidak boleh membawa argumentasi dan simbol agama dalam mengatur pemerintahan dengan alasan menjaga keragaman dan kearifan lokal.
Inilah bukti bahwa partai politik Islam yang masuk ke dalam parlemen sangat mustahil dapat melahirkan aturan yang berlandaskan syariat Islam. Jika partai Islam berani menyampaiksn aspirasi yang berlandaskan syariat Islam melalui legislagi demokrasi, tentu akan dianggap menyalahi prinsip dasar demokrasi.
Sistem demokrasi sebagai sistem pengambilan kebijakan di negeri ini tak akan mampu membuat aturan yang tegas meski RUU Minol diberlakukan selama Minol sendiri masih bermanfaat dan dibutuhkan bagi masyarakat sekuler.
Apalagi cukai Minol yang dihasilkan sebesar Rp7,3 triliun per tahun 2019. Bahkan DKI Jakarta memiliki saham perusahaan produsen bir, PT Delta Djakarta, mendapatkan lebih dari Rp100 miliar dari dividen perusahaan tersebut (Bbc. com, 13/11/2020).
Kendatipun RUU Minol disahkan, tak akan mampu memberantas mafia Minol dengan sistem demokrasi. Aturan pelarangan Minol tak bisa berjalan secara parsial, butuh aturan yang sempurna.
Sejatinya sistem demokrasi telah berhasil mencetak masyarakat yang jauh dari agama, tak peduli halal dan haram. Maka dari itu, kita butuh upaya serius untuk untuk membina sekaligus menyadarkan umat Islam bahwa Minol itu haram dan umat Islam butuh sistem politik yang sempurna untuk merealisasikan aturan pelarangan minol. Sistem politik yang sempurna itu bukanlah sistem demokrasi.
Sistem Politik Islam
Jika dalam demokrasi, nilai manfaat Minol menjadi pertimbangan kebijakan aturan pelarangan Minol. Sementara Islam melarang Minol secara mutlak. Bukan karena alasan kesehatan, keamanan, ketertiban apalagi sekadar mengamankan pertumbuhan ekonomi.
Syariat Islam mengharamkan kharm atau Minol karena begitulah Allah dan Rasulullah melarannya. Rasulullah saw. bersabda
“Allah melaknat khamr, orang yang meminumnya, orang yang menuangkannya, penjualnya, pembelinya, orang yang memerasnya, orang yang mengantarnya, dan orang yang meminta diantarkan.” (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Madjah)
Sistem politik Islam menjadikan kedaulatan di tangan Allah Swt. Legislasi hukum syariat Islam mengharuskan UUD dan semua perundang-undangan harus terpancar dari akidah Islam. Adapun bagi nonmuslim, berlaku aturan mereka terkait makanan, minuman, dan pakaian sebatas yang diperbolehkan syariat.
Hakikatnya, pelaksanaan syariat Islam secara total memiliki tujuan luhur untuk menjaga masyarakat. Di antaranya menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga harta, dan menjaga keamanan. Oleh karena itu, hukum syara berfungsi untuk menjaga akidah dan memecahkan problematika kehidupan.
Sanksi Khamr menurut Syariah
Dalam Islam, pelanggaran atas hukum-hukum syara akan dijatuhi sanksi tegas oleh negara. Pelakunya termasuk kriminal dan harus di berikan sanksi sesuai ketentuan syariat.
Dari anas r.a menceritakan,
“Nabi Muhammad SAW pernah mencambuk peminum kharm dengan pelepah kurma dan terompah sebanyak 40 kali.”(H.R al-Bukhari, Muslim, at-Tarmidzi dan Abu Dawud)
Para sahabat nabi sekaligus sebagai khalifah pada masanya. Menerapkan sanksi kepada peminum kharm sebagaimana yang di lakukan Rasulullah Saw.
“Rasulullah pernah mencambuk peminum kharm 40 kali, Abu Bakar mencambuk 40 kali, Umar mencambuk 80 kali. Masing-masing adalah sunah. Ini adalah ysng lebih aku sukai.” (H.R Muslim)
Semua ini bisa terwujud apabila diterapkan oleh institusi negara yang berasaskan akidah Islam dan peraturan perundang-undangan dari ideologi Islam yang diterapkan oleh sistem pemerintahan Islam yaitu Khilafah Islamiyah.
Wallahua’lam bishshawab
Views: 0
Comment here