Oleh : Fitri Ummu Fakhri
Wacana-edukasi.com — Saat wabah covid-19 yang tak kunjung reda, hingga himpitan ekonomi kian terasa, kabar menyakitkan kembali menyapa. Ya, RUU Omnibus Law yang selama ini menuai penolakan, kini telah resmi disahkan.
Dilansir dari Tribunnews com (6/10/2020), DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja menjadi undang-undang dalam sidang paripurna yang berlangsung pada Senin (5/10/2020).
Padahal Undang-Undang ini sebelumnya telah di tolak oleh para buruh dari berbagai elemen. Sebab banyak kandungannya yang membuat rakyat kian melarat. Bagaimana tidak demikian, ada banyak pasal-pasal kontroversi yang dimuat. Sayang, mereka yang katanya dewan perwakilan rakyat itu malah menggolkannya menjadi Undang-Undang di tengah malam.
Nasib Buruh Kian Payah, Korporasi Kian Jaya
Jika ditanya, siapa yang paling merasakan dampak diterapkannya UU Cipta Kerja? Maka tentu jawabannya adalah para buruh. Sebab banyak klausul yang secara nyata merugikan mereka, seperti pesangon tanpa kepastian, perluasan status kontrak dan outsourcing, semakin mudahnya menyerahkan pengurusan hajat publik termasuk buruh kepada swasta. Kemudian memindahkan beban jaminan sejahtera buruh kepada pengusaha, sehingga bukan menjadi tanggung jawab negara. Artinya, pengusahalah yang akan menjadi penentu, buruh bisa sejahtera atau tidak. Sementara kita ketahui bersama bahwa watak para kapital adalah memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya, dan kerugian sekecil-kecilnya. Sebab fitrahnya sistem kapitalisme memang demikian.
Mengabaikan aspek keadilan pada pekerja demi memberikan keuntungan terbesar bagi para kapitalis. Maka buruh pun kian jauh dari kata sejahtera. Mereka akan semakin sulit memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini juga menimpa rakyat pada umumnya. Apalagi di tengah wabah corona yang belum usai.
Islam Membawa Kesejahteraan
Islam adalah agama kamil dan mutakammil. Mengatur seluruh aspek kehidupan manusia tanpa terkecuali, termasuk juga mengatur bagaimana agar rakyat bisa tenteram dan sejahtera. Berbeda halnya dengan sistem sekuler yang secara fitrahnya bekerja bukan untuk rakyat. Sebab, hakikatnya mereka tak peduli dengan pribumi dan lebih mementingkan para kompeni. Bahkan UU Cipta Kerja hanya salah satu dari UU yang dibuat untuk memuluskan para korporasi menguasai negeri.
Dalam pandangan Islam, negara adalah khodim al-ummah. Yakni pelayannya umat, mengurusi kepentingan dan kemaslahatan umat. Negara bertugas memberi jaminan dan pelayanan. Menjamin penghidupan, kesejahteraan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat.
Adapun regulasi dan Undang-undang yang dibuat tidak akan menyalahi syariat. Sebab, semua berdasarkan ketentuan Islam. Begitu juga sistem ekonomi dalam Islam menerapkan seperangkat aturan yang berkeadilan. Dari aturan kepemilikan harta hingga distribusi harta kepada rakyat. Itulah mengapa, Islam tidak mengenal kebebasan kepemilikan apalagi untuk asing dan aseng.
Dalam menentukan standar gaji buruh, maka Islam menetapkannya berdasarkan manfaat tenaga yang diberikan pekerja, bukan living cost terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Buruh dan pegawai negeri sama, karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat. Jika terjadi sengketa antara pekerja dan majikan terkait upah, maka pakar (khubara’)lah yang menentukan upah sepadan. Pakar ini dipilih kedua belah pihak. Jika masih bersengketa, negaralah yang memilih pakar tersebut dan memaksa kedua belah pihak untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.
Pemerintahan dalam Islam juga bisa berdiri sendiri tanpa bantuan asing aseng. Sebab, sumber daya alam dikelola dengan baik sesuai aturan Ilahi. Maka dari sini, kita bisa simpulkan bahwasanya kesejahteraan hanya bisa terwujud manakala kebutuhan dasar rakyat terpenuhi. Buruh sejahtera hanya jika Islam diterapkan secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan.
Waallahu a’lam bisshowab.
Views: 1
Comment here