Oleh : Siti Komariah (Aktivis Muslimah Konsel)
wacana-edukasi.com– Konstalasi kehidupan masyarakat Papua saat ini masih berada dalam suasana yang tidak kondusif. Ketimpangan, kesenjangan, dan ketidakadilan masih terus menjadi pemicu gejolak tuntutan pemisahan Papua dari Indonesia. Kelompok-kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) terus mengenjarkan serangan yang menimbulkan banyak korban berjatuhan.
Namun disaat gejolak Papua masih belum meredam. Pemerintah melalui Komisi II DPR justru menargetkan tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua bisa disetujui pengesahannya dalam beberapa bulan mendatang. Hal ini disampaikan Anggota Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda.
Menurut penjelasan Rifqi, pembentukan provinsi baru akan berdampak pada penambahan daerah pemilihan (dapil), sekaligus penambahan jumlah kursi anggota DPR RI yang akan dipilih dalam Pemilu 2024.
Tiga RUU tersebut adalah RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan Tengah (katadata.co.id, 17/4/2022).
Pemerintah berdalih jika Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua agar bisa mempercepat pemerataan pembangunan di Papua dan untuk melayani masyarakat Papua lebih baik lagi dengan berbagai pembangunan insfratruktur. Namun, benarkah demikian?
Aktivis pembela Hak Asasi Manusia (HAM) Papua, Theo Hesegem, menilai pemekaran provinsi Papua sangat berpotensi menambah daftar panjang kasus pelanggaran HAM di Bumi Cendrawasih. Sejumlah pelanggaran HAM di Papua sebelumnya pun belum diusut tuntas.
Menurut dia, pemerintah pusat berkewajiban menjaga situasi di Papua aman dan kondusif. Sementara, kata dia, Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) masih bergerak aktif (republika.co id, 13/4/2022).
Penolakan juga datang dari Koalisi Kemanusiaan untuk Papua. Mereka mengatakan keputusan sepihak pemerintah pusat perihal pemekaran tiga provinsi baru di Papua seperti mengulang model tata kelola kekuasaan Belanda era kolonial. Senada dengan itu, peneliti utama dari BRIN Cahyo Pamungkas juga menyebut pemekaran ini justru mendorong ketidakpercayaan masyarakat Papua kepada pemerintah meluas. Menurutnya, dengan mengulang tata kelola kekuasaan era kolonial berpotensi terjadinya eksploitasi sumber daya alam dan penguasaan tanah Papua oleh segelintir orang.
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyatakan pemekaran provinsi baru harus melibatkan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan representasi kultural Orang Asli Papua (OAP). Direktur Eksekutif Public Virtue, Miya Irawati menyebut pemerintah seharusnya membatalkan atau menunda rencana pemekaran Papua sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal gugatan revisi UU Otsus Papua yang dilayangkan oleh MRP. (Cnnindonesia, 8/4/2022)
Sungguh miris disaat rakyat Papua membutuhkan keamanan dan kesejahteraan, disaat itu pula penguasa seakan tak peka terhadap penderitaan rakyat Papua. Mereka lebih memilih untuk melakukan penambahan daerah pemilihan (dapil) daripada memikirkan akar masalah dari kasus OPM yang tidak berkesudahan hingga menimbulkan banyak nyawa melayang.
Padahal, rakyat Papua membutuhkan sebuah keadilan dan kesejahteraan bagi diri mereka. Jika ditelisik pemekaran daerah baru tersebut nyatanya nanti tidak akan memihak pada kesejahteraan rakyat Papua seperti sebagaimana yang diungkapkan oleh para penguasa saat ini. Sebab, kekuasaan Asing masih tetap mencengkram bumi Cendrawasih tersebut dengan terus mengeruk SDAnya atas nama investasi.
Miris, hal ini semakin menegaskan paradoks pemerintahan sistem kapitalis demokrasi yang lebih mementingkan perolehan kursi dan kekuasaan dari pada mencari solusi tuntas terhadap masalah di Papua tersebut. Padahal, seyogianya pemerintah lebih fokus melakukan pembangunan dan pemerataan berbasis rakyat, yakni pembangunan yang memprioritaskan kebutuhan serta kepentingan rakyat. Bukan pembangunan berbasis korporasi. Pemerintah harus mengambil alih seluruh pengelolaan SDA yang ada di Papua ataupun seluruh negeri ini dari Asing untuk dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat.
Namun, semua tersebut mustahil jika negeri ini masih mengemban sistem kapitalis demokrasi, sistem yang berbasis materi tersebut telah menjauhkan peran negara dalam meriayah rakyatnya. Bahkan, rakyat harus berupaya menghidupi dan mengurus urusan mereka sendiri.
Sehingga untuk mengatasi masalah Papua dan masalah lain yang membelit negeri ini butuh sebuah sistem yang paripurna nan sempurna. Sistem tersebut hanya ada pada Islam yang terbukti selama berabad-abad silam mampu menyelesaikan berbagai problem umat manusia dan memberikan kesejahteraan.
Dalam masalah pemekaran wilayah sebenarnya tidak menjadi masalah jika visi negara berasas Islam. Dalam Islam, riayah suunil umat adalah prioritas utama khalifah sebagai pemegang otoritas negara Islam. Jika suatu wilayah memiliki SDA berlimpah, maka itu adalah harta milik umum yang wajib dijaga dan dikelola negara untuk memenuhi kebutuhah pokok rakyat.
Negara hanya berhak mengelolanya dan hasilnya dapat dikembalikan ke masyarakat. Hasil pengelolaan SDA tersebut juga dapat digunakan untuk membangun fasilitas umum yang masyarakat butuhkan, semisal sekolah, rumah sakit, jalan umum, penerangan jalan, taman, jembatan, dan lain sebagainya.
Pada sistem Islam, tidak ada dikotomi fasilitas dan layanan publik baik di pedesaan atau perkotaan, di wilayah pusat atau daerah. Semua diberlakukan sama. Negara juga tidak akan membiarkan asing menguasai segala SDA yang menjadi hajat publik, sebab Islam mengharamkan penguasaan tanah dan kekayaan alam oleh individu, swasta, atau asing. Negara juga akan menumpas dan memberantas segala bentuk kriminalitas dan hal-hal dapat mengancam kedaulatan negara seperti disintegrasi dan separatisme. Negara senantiasa menjaga keamanan dan kenyamanan rakyatnya, baik muslim maupun non muslim yang tunduk pada negara Islam.
Kemudian, para pemimpin dalam Islam pun senantiasa didorong untuk mengurusi urusan rakyat. Mereka menjadikan rakyat sebagai prioritas utama, bahkan mereka rela menderita bersama dengan rakyatnya. Sebagaimana digambarkan pada masa-masa kekhalifahan terdahulu.
Oleh karena itu, jika Islam dijadikan sebagai pedoman dan aturan hidup, maka jelaslah negeri ini akan mampu menjadi negeri yang berdaulat dan mampu mensejahterakan rakyatnya dengan berbagai kekayaan alam yang melimpah. Wallahu A’alam Bisshawab
Views: 1
Comment here