Oleh : Khusnawaroh ( Pemerhati Masalah Umat)
wacana-edukasi.com, OPINI– Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Arsul Sani mengatakan, pihaknya menyetujui pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana.
“Jadi kalau ditanya posisi saya atau (mewakili) Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), maka kami setuju ada Undang-undang (UU) (Perampasan Aset Tindak Pidana) ini ke depannya,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Menurut Arsul, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana diperlukan agar proses-proses pengembalian kerugian negara bisa di maksimalisasi lebih baik dan lebih cepat.
Pasalnya, kata dia, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana tidak hanya terkait dengan tindak pidana korupsi (tipikor) saja, tetapi bisa juga dimanfaatkan untuk mengembalikan kerugian negara dalam tindak kriminal lainnya.
Tindak kriminal yang dimaksud, yaitu tindak pidana narkotika, pajak, kepabeanan dan cukai, lingkungan hidup, illegal logging, hingga terorisme (KOMPAS.com 1/4/2023 ).
Mengguritanya korupsi di negeri kita memang sangat memprihatinkan. Berbagai macam solusi untuk mengatasinya telah dilakukan, termasuk hingga tercetus RRU perampasan aset. Namun,.dari waktu ke waktu masih saja kasus korupsi merajalela. Sampai – sampai dikatakan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahmud MD.,.mengatakan ke mana pun mata tertuju ada korupsi. Ini berarti menunjukkan bahwa negeri kita memang sudah sangat darurat korupsi sehingga harus ada penanganan yang serius dan benar.
Menelaah dari wacana berita yang ada tentang RUU perampasan aset. Meskipun undang undang itu diberlakukan, kemungkinan besar masih ada saja celah untuk melakukan korupsi. Sebab, sudah begitu banyak solusi yang diberikan pun tak mampu untuk membendung aktivitas korupsi tersebut. Seyogianya masalah besar yang membelit adalah karena sistem yang dianut sekarang yakni sistem demokrasi kapitalis. Demokrasi kapitalis adalah sebuah sistem yang dibuat oleh manusia yang kita ketahui bersama bahwa, dalam sistem ini meletakkan kedaulatan dan kekuasaan ada ditangan rakyat, hak membuat hukum atau peraturan perundang-undangan ada ditangan manusia. Hukuman sanksi yang diberikan terkadang bisa dikompromikan dan tidak membuat jera para pelakunya.
Korupsi, suap menyuap pun tak lagi asing didengar. Walaupun hukuman penjara, denda telah diberlakukan, namun kejahatan ini masih terus berulang, seperti yang terjadi di Bandung – Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung menjatuhkan vonis empat tahun penjara dan denda Rp200 juta kepada mantan Wali Kota Cimahi , Ajay M Priyatna.
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Eman Sulaeman mengatakan, Ajay M Priyatna terbukti secara sah dan meyakinkan menyuap penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju.
(Bandung, SindoNews 10/4/2023). Bagaimana bisa percaya dengan sistem saat ini mampu untuk memberantas korupsi?
Disisi lain, kepemimpinan dalam sistem ini terjadi dan terbentuk dari suara terbanyak. Membutuhkan modal yang fantastis, suara rakyat dibeli sembari mengumbar janji yang tak pasti. Seperti halnya pedagang yang tak mau rugi, pengeluaran dana yang fantastik para pejabat tersebut harus kembali modal. Dengan menghalalkan segala macam cara, tak perduli halal haram salah satu jalan harus korupsi. Seperti yang biasa terdengar di telinga kita merekalah para tikus – tikus berdasi walaupun saat sekarang ini terjadi bukan hanya pada mereka yang berdasi, namun sudah merambah ke kalangan yang lain. Inilah imbas dari sistem Demokrasi kapitalis. Yang hanya akan menumbuh suburkan kasus korupsi.
Sistem ini tidak akan bisa mencetak pemimpin yang menjalankan tugasnya dengan amanah dan bertanggung jawab. Karena tak ada penekanan dari baik individu masyarakat dan negara. Untuk memberikan pemahaman sehingga memperkuat dan menjaga keimanan dan ketakwaan. Sebaliknya pada dasarnya mereka memperoleh jabatan dengan cara yang tidak baik pula. Yang ada, celah korupsi akan semakin terbuka lebar. Bukankah seharusnya para pejabat para penguasa yang harus memberikan contoh terbaik, bukan sebaliknya merekalah yang terdengar banyak melakukan korupsi besar besaran.
Kemudian tak kalah hebatnya dorongan naluri yang begitu kuat, dimana sistem demokrasi kapitalis mengajarkan pola hidup hedonis hidup yang serba mewah, materialistis. Ini pun dapat memicu terjadinya korupsi . Telah terbukti ketiadaan hukum atau syariat Islam untuk mengatur kehidupan manusia yang terjadi hanyalah menumpuknya masalah demi masalah yang merugikan umat. Sehingga tidak ada solusi yang terbaik kecuali hijrah, yakni dengan meninggalkan sistem yang rusak ini menuju kepada sistem yang dirahmati dan diberkahi oleh Allah SWT. yaitu sistem Islam dalam bingkai khilafah.
Islam memiliki aturan yang komplit untuk mengatasi segala permasalahan hidup mulai dari individu, keluarga, masyarakat sampai negara. Selama 1300 tahun lamanya kejayaan Islam menaungi sepertiga dunia. Terkait masalah korupsi Islam sangat tegas memberikan sanksi terhadap pelakunya. Tanpa adanya manipulasi kompromi atau suap menyuap dalam rangka untuk menghindar dari hukuman. Dalam sistem Khilafah, ada lembaga yang bertugas memeriksa dan mengawasi kekayaan para pejabat, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan.
Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al Amwal fi Daulah Khilafah menyebutkan, untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan. Hal itu pernah dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab ra. Beliau mengangkat Muhammad bin Maslamah sebagai pengawas keuangan. Tugasnya adalah mengawasi kekayaan para pejabat negara. pengontrolan dan pengawasan negara agar mereka tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri seperti halnya telah di contohkan oleh khalifah umar bin Khattab yang senantiasa mengaudit kekayaan pejabat jika terdapat peningkatan harta. khalifah Umar beberapa kali membuat kebijakan mencopot jabatan atau menyita harta bawahannya hanya karena hartanya bertambah. Apalagi, jika diketahui jika hartanya itu didapat bukan dari gaji yang diberikan oleh negara.
Kemudian sanksi hukum Islam pun diterapkan agar pelaku senantiasa jera dan berfikir dua kali untuk tidak melakukan perbuatannya kembali Sistem sanksi yang tegas ini memiliki dua fungsi, yaitu sebagai jawabir (penebus dosa) dan zawajir (pencegah dan berefek jera). Sebagai jawabir (penebus) dikarenakan uqubat dapat menebus sanksi akhirat. Sanksi akhirat bagi seorang muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan negara ketika di dunia. Sementara zawajir, yaitu mencegah manusia berbuat kejahatan.Tentu hal yang paling utama yang dilakukan negara adalah senantiasa menggemakan amal ma’ruf nahi munkar menyerukan da’wah agar terisi keimanan dan ketakwaan disetiap jiwa yang menerima kebenaran. sehingga tercipta rasa takut kepada Robbnya terjaga ketakwaan umat. Alhasil untuk memberantas korupsi sampai keakar akarnya bukan hanya merampas aset, tetapi terapkan Islam secara kaffah atau menyeluruh. Wallahu A’alam bissawab.
Views: 30
Comment here