Opini

RUU TPKS, Solusi atau Masalah untuk Mencegah Kekerasan Seksual?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Siti Rima Sarinah (Studi Lingkar Perempuan dan Peradaban)

wacana-edukasi.com– Sejak munculnya kasus pemerkosaan yang dilakukan seorang guru di salah satu pesantren di Bandung ramai diberitakan oleh media, sontak menuai berbagai macam reaksi. Wakil Ketua Komisi 111 DPR RI Ahmad Sahroni mengaku geram dengan pemerkosaan yang dilakukan oleh Henry Wirawan yang berstatus sebagai guru. Pemerkosaan terhadap belasan orang santrinya telah berlangsung sejak 2016 an telah melahirkan 9 orang anak dan dua santri lainnya tengah mengandung (Sindonews.com, 10/12/2021)

Munculnya kasus pemerkosaan ini, menjadi dalih untuk segera mensahkan draft RUU Pencegahan Kekerasan Seksual (RUU-TPKS) untuk menjadi undamg-undang. Pada awalnya draft RUU-TPKS ini menuai pro dan kontro dari berbagai kalangan. Pasalnya, masih banyak hal yang mengandung kontroversial dan tercium aroma liberalisasi. Aroma liberalisasi ini tentu akan membahayakan Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama muslim.

Banyak organisasi muslim yang meminta DPR agar tidak terburu-buru mensahkan RUU tersebut. Salah satunya Majelis Ormas Islam (MOI) yang secara resmi mendatangi DPR dan menyampaikan aspirasi tentang Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Yang menggunakan paradigma sexual consert dan relasi gender tidak dipersoalkan jika dilakukan atas dasar suka sama suka (Hidayatullah.com,10/12/2021)

Begitu gencar upaya yang dilakukan agar RUU-TPKS disahkan, karena menganggap bahwa permasalahan kekerasan seksual yang terjadi di negeri ini dapat dituntaskan dengan adanya RUU tersebut, benarkah demikian? Jika kita melihat dengan seksama, maraknya kasus kekerasan seksual yang bukan hanya terjadi di negeri ini, bahkan ini juga menjadi permasalahan besar yang dihadapi negara-negara di dunia ini.

RUU-TPKS hanyalah salah satu upaya dari para aktifis feminis yang sangat getol memperjuangkan hal ini. Masih banyak lagi UU yang mereka perjuangkan demi untuk menyelamatkan perempuan dari berbagai bentuk diskriminasi. Dan perempuan selalu menjadi korban, yang menurut mereka harus dilindungi dengan adanya undang-undang.

Namun, solusi yang ditawarkan untuk menyelamatkan perempuan merujuk pada paradigma liberal yang jelas-jelas terbukti gagal menuntaskan masalah kekerasan seksual. Paradigma liberal telah memberikan kebebasan tanpa batas kepada manusia untuk berbuat sesukanya. Karena paradigma liberal berasal dari sistem yang mendewakan aturan manusia dan meminggirkan peran agama dan kehidupan (sekularisme). Walhasil, bukannya menuntaskan masalah kekerasan malah melahirkan banyak permasalahan baru.

Ini diakibatnya jika manusia memilih untuk membuat aturan sendiri. Padahal adalah makhluk yang memiliki keterbatasan dan kekurangan pada dirinya. Bagaimana mungkin manusia bisa mengatur sesama manusia padahal dia juga lemah? Untuk menyelesaikan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, harus mengambil aturan dari yang menciptakan manusia, yaitu aturan Allah swt. Allah swt menciptakan manusia lengkap dengan seperangkat aturan kehidupan, yang paling mengetahui apa yang terbaik untuk semua ciptaanNya.

Allah swt menurunkan Islam bukan hanya sekedar agama yang mengatur hubungan hamba dengan penciptanya, melainkan juga mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia serta mengatur pula hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Jika aturan ini diaplikasikan dalam kehidupan maka ketenangan dan ketentraman hidup akan mudah diraih oleh seluruh umat manusia
Namun, akan terjadi sebaliknya jika aturan Allah dicampakkan dan diganti dengan aturan buatan manusia. Yang akan terjadi seperti saat ini, perilaku manusia bebas tanpa aturan dan menuai kerusakan dan malapetaka dimana-mana. Tidak tampak manusia sebagai makhluk yang mulia karena Allah swt telah membekalinya dengan akal. Justru yang nampak perilaku manusia lebih rendah dari hewan.

Islam menciptakan manusia dengan dua jenis kelamin yang berbeda dengan tujuan bekerjasama (ta’awun) dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar. Islam pun menetapkan aturan yang membolehkan interaksi kedua lawan jenis yang sesuai syariat Allah yaitu, jual beli, pendidikan, kesehatan dan pinangan (khitbah). Dibolehkan interaksi ini, tetap harus dijalankan dengan mengikuti seperangkat aturat syariat yang lainnya. Selain itu, ada tiga pilar penting yang harus ditegakkan dalam masyarakan sebagai upaya preventif dan kuratif dalam mengatasi berbagai macam pelanggaran termasuk kekerasan seksual.

Pilar pertama, ketakwaan individu. Setiap individu masyarakat memahami bahwa tujuan ia diciptakan di dunia adalah untuk beribadah dan senantiasa menaati perintah dan menjauhi perkara yang dilarang oleh Allah swt. Pilar kedua, kontrol masyarakat. Masyarakat yang peka tersuasana dengan aktifitas amar ma’ruf nahi mungkar. Aktifitas ini menjadikan masyarakat senantiasa peduli dengan apa yang terjadi disekelilingnya.
Pilar ketiga, peran negara. Pilar ini sangatlah penting, karena negara sebagai institusi yang memiliki kewenangan penuh untuk mengeluarkan kebijakan untuk melindungi dan menjaga rakyatnya dari berbagai hal yang dapat merusak aqidah dan moral rakyatnya. Negara akan memberikan sanksi kepada siapapun yang melanggar aturan Allah tanpa pandang bulu. Orang yang memperkosa akan rajam atau dilempari batu hingga mati, jika ia sudah menikah. Dan apabila pelaku belum menikah akan dicambuk 100 kali dan diasing selama 1 tahun. Sanksi ini dipertontonkan di depan khalayak ramai, agar masyarakat lainnya yang melihat kosekuensi yang akan didapatkan jika melakukan hal yang serupa.

Tidak cukup dengan memberikan sanksi, negara juga akan melakukan pengontrolan dan memberi sanksi tegas terhadap media, baik media massa dan elektronik yang dengan sengaja menyebarkan tontonan, film dan lain sebagainya yang berpotensi merusak moral masyarakat. Karena media merupakan salah satu sarana tersebarnya konten-konten negatif yang menjadi pemicu terjadinya kekerasan seksual.

Dan terakhir negara akan memfasilitasi pemuda pemudi yang sudah siap untuk menikah dengan memberikan edukasi sebagai bekal menjalani rumah tangga. Negara juga akan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya untuk laki-laki agar bisa bekerja dan mampu menafkahi keluarganya dengan layak dan ma’ruf.

Mekanisme diatas dilakukan oleh negara agar pemenuhan naluri melestarikan keturunan bisa terpenuhi sesuai yang ditetapkan oleh Allah swt. Sehingga manusia melaksanakan tugas penciptaannya di dunia adalah beribadah kepada RabbNya, dengan senantiasa terikat dengan seluruh aturan dan menjauhi laranganNya.

Penjagaan kelestarian jenis manusia ini hanya bisa dilakukan oleh negara yang menerapkan aturan Islam dalam seluruh lini kehidupan (khilafah), dan hanya khilafah yang dapat mewujudkan penjagaan tersebut. Dan satu-satunya solusi satu-satunya yang dapat mengatasi berbagai bentuk pelanggaran dan penyimpangan hukum Allah termasuk di dalamnya kekerasan seksual.

Selama hukum Allah dalam naungan khilafah belum ditegakkan di muka bumi ini, maka kerusakan demi kerusakan akan terus terjadi. Allah berfirman,”apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al Maidah : 50). Wallahu a’lam

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 18

Comment here