Opini

Saatnya Islam Mengambil Peran

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Yanti Wulansari

Wacana-edukasi.com, OPINI-– Apa kabar dunia pendidikan kita hari ini? Di balik gemerlap harapan akan generasi cerdas dan generasi emas 2045, ada realitas pahit yang dihadapi oleh mereka yang menjadi pilar utama pendidikan: para guru. Mungkin kita sering mendengar ungkapan, “Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.” Namun, apa artinya menjadi pahlawan jika perjuangan mereka sering kali diliputi kesulitan hidup?

Faktanya, gaji guru honorer di Indonesia jauh dari kata layak. Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyebutkan bahwa rata-rata gaji guru honorer di Indonesia hanya sekitar Rp300.000 hingga Rp1.000.000 per bulan. Bandingkan ini dengan upah minimum regional (UMR) yang jauh lebih tinggi. Ada berita memilukan tentang seorang guru honorer di Bogor yang tetap mengajar dengan penuh dedikasi meski hanya digaji Rp300.000 per bulan, kualitas siswa yang dihasilkan pun sering menjadi sorotan. Hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018 menunjukkan bahwa kemampuan membaca, matematika, dan sains siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata internasional . Apakah ini masalah utamanya? Atau ada hal yang lebih mendasar yang perlu dibenahi?

Persoalan ini tak hanya tentang materi, tetapi juga penghargaan moral terhadap profesi guru. Banyak dari mereka yang akhirnya memilih pekerjaan lain untuk mencukupi kebutuhan hidup. Lalu, bagaimana mungkin seorang guru yang hidupnya sendiri terhimpit bisa memberikan pengajaran optimal kepada murid-muridnya?

Dalam pandangan Islam, profesi guru memiliki kedudukan yang sangat mulia. Rasulullah ﷺ bersabda:

*_”Sesungguhnya Allah dan para malaikatnya, penghuni langit dan bumi, hingga semut di dalam lubangnya dan ikan-ikan di lautan, mendoakan orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.”_*

Namun, mengapa dalam sistem saat ini, profesi mulia ini justru sering kali terpinggirkan? Jawabannya adalah karena pendidikan kita, termasuk penghargaan terhadap guru, masih dikelola dalam kerangka sistem sekuler yang menomorduakan nilai-nilai Islam.

Dalam Islam, pendidikan bukan sekadar alat mencetak pekerja, melainkan sarana utama pembentukan manusia bertakwa. Sistem sekuler memandang pendidikan sebagai komoditas ekonomi yang diukur dari untung-rugi material. Hal ini berbeda dengan Islam yang menjadikan pendidikan sebagai amal jariyah dan tanggung jawab negara.

Kesejahteraan guru seharusnya menjadi prioritas negara. Namun dalam sistem kapitalisme, alokasi anggaran pendidikan sering kali terbatas dan tidak merata. Akibatnya, tidak hanya kualitas hidup guru yang tertekan, tetapi juga kualitas pendidikan siswa.

Lalu, bagaimana Islam menawarkan solusi atas permasalahan ini? Jawabannya terletak pada penerapan syariah Islam secara kaffah di bawah naungan Khilafah Islamiyah.

Mari kita menengok bagaimana pendidikan di masa kekhilafahan dulu. Salah satu contoh yang luar biasa adalah pada masa Kekhalifahan Abbasiyah. Guru-guru yang mengajar di madrasah atau institusi pendidikan negara tidak hanya mendapatkan gaji yang sangat layak, tetapi juga diperlakukan dengan penuh penghormatan. Sejarah mencatat bahwa pada masa itu, seorang guru bisa mendapatkan tunjangan yang mencakup kebutuhan hidup sehari-hari, tempat tinggal, bahkan fasilitas untuk memperdalam ilmu.

Selain itu, pendidikan bersifat gratis dan terbuka untuk semua. Negara bertanggung jawab penuh dalam mendanai pendidikan, termasuk menyediakan sumber daya terbaik untuk mendukung proses belajar mengajar. Dengan demikian, tidak ada kesenjangan sosial antara siswa kaya dan miskin.

Contoh lainnya adalah Baitul Hikmah di Baghdad, sebuah pusat pembelajaran di masa Abbasiyah yang terkenal di seluruh dunia. Di sana, para ilmuwan dan guru tidak hanya dihormati, tetapi juga diberi kebebasan untuk terus menggali ilmu dan mengajar. Kualitas murid yang dihasilkan pun luar biasa, seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, dan Al-Farabi, yang karyanya masih menjadi rujukan hingga saat ini.

Hal seperti ini bisa terjadi karena Khilafah memandang pendidikan sebagai ibadah, bukan bisnis. Dalam Islam, kesejahteraan guru dan kualitas siswa adalah bagian dari tanggung jawab negara untuk melahirkan generasi yang mampu menjadi khalifah di muka bumi. Sistem ini tidak membiarkan pendidikan dikomersialisasi atau diprivatisasi seperti dalam sistem kapitalisme.

Untuk mewujudkan hal ini di era modern, langkah pertama adalah mengembalikan penerapan syariah Islam secara kaffah dalam kehidupan. Dengan begitu, kebijakan pendidikan akan diarahkan pada pembangunan manusia yang bertakwa dan berkualitas, bukan hanya manusia yang siap bekerja.

Pendidikan adalah kunci kebangkitan sebuah bangsa, dan guru adalah penggeraknya. Dalam sistem yang ada saat ini, guru masih jauh dari penghormatan yang layak, dan kualitas siswa pun menjadi korban. Namun, Islam memberikan solusi menyeluruh melalui penerapan syariah Islam dan Khilafah.

Kini, pilihan ada di tangan kita. Apakah kita akan terus berharap pada sistem sekuler yang telah terbukti gagal, ataukah kita mulai memperjuangkan penerapan syariah secara kaffah? Pendidikan kita, guru kita, dan masa depan anak-anak kita bergantung pada keputusan itu.

Mari bersama memperjuangkan perubahan untuk menciptakan pendidikan berkualitas yang tidak hanya mencetak generasi cerdas, tetapi juga generasi bertakwa. Inilah saatnya umat Islam bangkit, mengambil pelajaran dari sejarah, dan mewujudkan sistem pendidikan yang mulia di bawah naungan Islam.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 0

Comment here