Penulis: Azizah, S.Pd.I (Aktivis Dakwah Banyuwangi)
Wacana-edukasi.com — Seorang ulama besar, Imam Al Ghazali pernah mengatakan, “Ketentraman dunia dan keamanan jiwa dan harta tidak tercapai kecuali dengan adanya pimpinan yang ditaati, oleh karenanya orang mengatakan, “Agama dan pimpinan adalah dua saudara kembar”. Dan karenanya pula orang mengatakan, “Agama adalah sendi dan pemimpin adalah pengawal”. Sesuatu yang tidak ada sendinya akan hancur, dan sesuatu yang tidak ada pengawal akan tersia-sia”.
Ungkapan ini berkesesuaian dengan pernyataan Ibnu Khaldun bahwa, “mengangkat Imam adalah wajib. Telah diketahui wajibnya pada syara’ dan ijma’ shahabat dan tabi’in, mengingat bahwa para sahabat segera membaiat Abu Bakar setelah Rasulullah saw”.
Allamah Ibnu Hajar Al Haitamy Asy Syafi’i di dalam kitab Ash shawaa’iqul Muhriqah menyatakan :
“Ketahuilah juga; sesungguhnya para sahabat ra seluruhnya telah bersepakat bahwa mengangkat seorang Imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib; bahkan mereka menjadikan kewajiban tersebut (mengangkat seorang imam/khalifah) sebagai kewajiban yang paling penting. Sebab, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut daripada kewajiban menyelenggarakan jenazah Rasulullah saw. Perbedaan pendapat diantara mereka mengenai ta’yiin (siapa yang paling layak menjabat khalifah) tidak merusak ijma’ yang telah disebut…” (Allamah Ibnu Hajar Al Haitamy Asy Syafi’iy Ash shawaa’qul Muhriqah, Juz I/25).
Benar, mengangkat seorang pemimpin adalah fardhu atas kaum muslimin. Peristiwa Tsaqifah Bani Sa’idah telah menjadi saksi, ketika para sahabat melakukan pertemuan untuk prosesi pengangkatan khalifah (pengganti) Rasulullah sejak datang kabar tentang wafatnya beliau. Bahkan mereka tidak langsung mengubur jenazah Rasul dalam rentang waktu dua malam tiga hari. Hal ini menunjukkan urgensi adanya pemimpin dan bahwa umat tidak boleh vakum dari kepemimpinan, melebihi waktu dua malam tiga hari.
Adapun kepemimpinan umum untuk seluruh kaum muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah islamiyyah ke seluruh penjuru alam disebut dengan khilafah.
Al khilafah substansinya sama dengan Al Imamah. Imamah dan Khilafah memiliki makna yang sama. Tersebut di dalam hadits-hadits shahih dua kata ini dengan makna yang sama. Tidak ada satu pun nash syariat yang menyebutkan kata ini dengan makna saling bertentangan satu dengan lainnya, yakni baik di Al quran maupun di dalam sunnah. Sebab nash-nash syariat itu hanyalah keduanya (Al quran dan Sunnah). Tidak ada keharusan untuk terikat salah satu lafadz tersebut, apakah harus Imamah atau Khilafah, yang wajib adalah terikat dengan maknanya” (Imam Taqiyudin AnNabhaniy, Al Khilafah, hal 1).
Imam Al Haramain berkata :
“Imamah itu adalah kepemimpinan yang bersifat utuh, dan kepemimpinan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat umum dan khusus dalam urusan-urusan agama maupun dunia”, (Al Imam Al haramain, Abu Al Ma’ali Al juwaini, Ghiyats Al Umam fil Tiyatsi Al Dzulam, hal 15)
Masih dengan defenisi senada, Shahibu Ma’tsiril Inafah fi Ma’alimil Khilafah menyatakan :
‘Khilafah adalah kepemimpinan umum untuk umat secara keseluruhan”. (Imam Al Qalqasyandiy, Ma’aatsir al Inafah fi Ma’aalim Al Khilafah, juz I/9; lihat juga Asy Syeikh Musthafa Shabari. Mauqif al- ‘Aql wa al-‘Ilmi wa al- “alam, juz 4/262)
Maka saat khilafah kini menjadi momok dan dianggap asing, padahal ia adalah perkara penting. Sudah semestinya seorang muslim angkat bicara. Sekuat tenaga berupaya untuk membumikan makna khilafah agar memenuhi ruang berfikir umat manusia di.dunia.
Bahwa khilafah itu bukan berasal dari pemikiran seseorang, tapi berasal dari wahyu Allah swt. Khilafah juga bukan hasil eksperimen sosial yang bersifat trial and error, tapi sebuah kewajiban syariat yang bersifat tetap. Wajibnya khilafah tertera jelas di dalam Al quran dan As Sunnah.
Sebagaimana firmanNya dalam Al quran :
“Ingatlah ketika TuhanMu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata, “mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”. Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (TQS Al Baqarah 30)
Berdasarkan tafsir ayat ini, Imam Al Qurthubi menjelaskan bahwa konotasi kata khalifah tidak hanya khalifatullah fil ardh (wakil Allah di muka bumi), tetapi juga khalifah dengan konotasi As Sultan Al A’dham. Al Qurthubi menegaskan, “tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) tersebut di kalangan umat dan para Imam madzhab kecuali pendapat yang diriwayatkan dari Al-A’sham (yang tuli terhadap syariah), dan siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan madzhabnya”. (Al Qurthubi, Al Jami li Ahkam Al Qur’an juz I/264 ; Ibn Mandzur, Lisan Al Arab Juz IX/85).
Imam Umar bin Ali bin Adil Al Hanbali, seorang ulama madzhab Hanbaliy menyatakan :
“Berkata (Ibnu Al Khatiib) : Al khalifah adalah kata benda (isim) yang layak digunakan untuk tunggal maupun jamak, sebagaimana ia juga layak untuk laki-laki dan perempuan… lalu ia berkata, “Ayat ini (Al Baqarah 30) adalah dalil yang menunjukkan kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang wajib didengar dan ditaati, yang dengannya disatukan kalimat (persatuan umat) dan dilaksanakan hukum-hukum khilafah. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban itu antara para ulama kecuali yang diriwayatkan dari al –Asham dan pengikutnya…” (Imam Umar bin Ali bin Adil Al Hanbaliy Tafsirul Lubab fii Ulumil Kitab, juz I/204)
Sedangkan dalam hadits shahih disampaikan :
“Dahulu Bani Israil senantiasa dipimpin oleh para Nabi, setiap mati seorang Nabi diganti Nabi lainnya dan sesudahku ini tidak ada lagi seorang nabi dan akan terangkat beberapa khalifah bahkan akan bertambah banyak. Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang engkau perintahkan pada kami?. Beliau bersabda : “tepatilah baiatmu pada yang pertama, maka untuk yang pertama, dan berilah kepada mereka haknya, maka sesungguhnya Allah akan menanyakan apa yang digembalakannya.” (HR Al Bukhari dari Abu Hurairah).
Berkaitan dengan hadits tersebut, Ibnu Hajar Al Atsqalani berkata bahwa di dalamnya mengandung petunjuk tentang keharusan adanya pemimpin bagi masyarakat (Islam) yang akan mengatur urusan mereka dan membawanya ke jalan yang baik serta melindungi orang-orang teraniaya” (Ibnu Hajar Al Atsqalani, Fath Al –Bari).
Dengan demikian Khilafah akan tetap menjadi sebuah kebutuhan, dan topik pembahasan yang dirindukan oleh kaum muslim sejak keruntuhan Khilafah Turki Utsmani hingga masa kini. Setidaknya hall ini berdasarkan pada dua alasan. Pertama, keberadaan khilafah akan menjadi jawaban atas kehancuran sistem kapitalis sekuler yang menjadi penyebab pokok malaise (malapetaka) bagi masyarakat muslim dan dunia. Kedua, secara objektif dan empiris dunia tengah membutuhkan sistem yang mampu mengsubordinasi seluruh bangsa untuk hidup bersama-sama, saling mendukung, saling berbagi satu dengan yang lain, serta saling membantu sebagai anak manusia yang hidup di dunia, tanpa ada lagi arogansi bangsa maupun teritorial, dan hanya khilafah sebagai sistem kehidupan yang mampu melakukannya, bukan yang lain. Wallahu a’lam
Referensi :
Panduan Lurus Memahami Khilafah Islamiyah Menurut Kitab Kuning, Fathiy Syamsuddin Ramadhan an Nawiy
Views: 7
Comment here