Oleh: Ummu ‘Iffah
wacana-edukasi.com– Fatih galau. Akad nikah yang sedianya tanpa resepsi mewah, akhirnya ambyar. Pihak calon istri Fatih ingin resepsi dengan undangan lebih kurang 500 orang, sebagaimana pernikahan kakaknya terdahulu.
Lima ratus bukanlah jumlah yang sedikit dalam hitungan Fatih. Belum lagi mahar yang diminta keluarga calon istrinya, di luar ekspektasi.
“Jumlah sebanyak itu, apa tidak bisa ditawar lagi?” Ustaz Abdul bertanya hati-hati kepada istrinya dalam Bahasa Arab.
Calon istri Fatih yang berada di balik hijab terdiam. Ia menunggu Ustazah Endah menterjemahkannya ke Bahasa Indonesia.
Ustaz Abdul dan Ustazah Endah lulusan terbaik Kairo. Sebagai tenaga pengajar di sebuah Pondok Pesantren, mereka termasuk orang yang dituakan, meski umur mereka masih kepala tiga.
Keduanya didapuk sebagai ketua Majelis Keluarga Sakinah. Sudah puluhan orang yang mereka ta’arufkan dan akhirnya menikah.
“Ini sudah turun dari permintaan sebelumnya Ustaz.” Muslimah asal Palembang itu menjawab pelan.”
“Kalau Akhi tidak bersedia, tidak apa-apa, tidak usah memaksakan.”
Tiara tidak bisa menolak keinginan orang tuanya, meminta mahar yang tinggi, dan resepsi mewah. Keluarganya beralasan karena mereka merupakan keluarga terpandang di daerah mereka.
Tawar menawar soal mahar dan resepsi pun terjadi.
Tiara tahu bahwa tidak boleh memberatkan calon suami, tapi ia juga tidak kuasa menentang aturan dan kebiasaan daerahnya, khususnya keluarganya. Tiara sudah berusaha untuk bernegosiasi dengan keluarganya, jawabannya tetap sama.
“Bagaimana Akhi, apakah Antum menyanggupinya?” Suara Ustaz Abdul memecah keheningan ruangan Masjid Darus Sunah, tempat mereka berbincang.
Fatih bergeming, ia belum punya jawaban untuk pertanyaan Ustadz Abdul. Fatih perlu waktu untuk memikirkan dengan jernih, sebelum membuat keputusan.
Lanjut atau tidak, ini adalah keputusan besar untuk masa depannya. Banyak hal yang perlu ia pertimbangkan. Termasuk kedua orang tuanya.
**
Fatih bukanlah orang yang berada, pekerjaannya sebagai pegawai di instansi pemerintah tidak mungkin cukup untuk memenuhi seluruh permintaan keluarga Tiara. Ia harus memilih salah satu di antara keduanya. Pernikahan mewah, atau mahar yang wah.
Fatih tidak ingin demi mewujudkan keinginan calon istri, ia harus meminjam ke sana ke mari. Tidak ada cerita utang dalam hidup Fatih, apalagi untuk hal yang masih bisa dicarikan solusinya.
Menikah bukan untuk hari ini saja, masih banyak bujget lain yang perlu ia persiapkan setelah mereka sah. Semuanya sudah tergambar nyata. Lantas untuk apa harus mewah untuk waktu yang hanya sehari saja. Pikiran Fatih berkelana.
Fatih memang sudah waktunya menikah, usianya yang tak lagi muda, butuh pendamping hidup yang mengurusi keperluannya, dan membersamainya dalam dakwah, tapi ia juga tidak ingin salah mengambil keputusan.
Banyak yang menikah dengan mewah, namun rumah tangga mereka akhirnya kandas di tengah jalan. Karena tidak siap hidup apa adanya, dan saling menuntut kesempurnaan.
**
Fatih menuntun kuda besinya menuju parkiran Masjid Darus Sunah. Wajah teduh Ustaz Abdul menyambutnya sambil mengulurkan tangan dan memeluk Fatih.
Setelah berdiskusi dengan Ustaz Abdul beberapa waktu lalu, Fatih akan memberikan jawaban sekaligus keputusannya hari ini.
“Mohon maaf, sepertinya saya tidak bisa melanjutkan proses ini, saya tidak sanggup memenuhi permintaan Anti dan keluarga. Suara Fatih terdengar pelan namun pasti.
Ustaz Abdul dan istrinya sudah menebak keputusan Fatih. Dari awal permintaan keluarga Tiara terkesan berlebihan. Ustaz Abdul dan istrinya sudah mencoba menawar nilai yang diminta melalui Tiara, tapi usahanya sia-sia.
Fatih juga telah mencoba untuk menawar, tapi keluarga Tiara tetap kekeh dengan permintaannya, sedangkan Tiara tak bisa meyakinkan orang tuanya, bahwa sah lebih utama dari resepsi mewah. Menurut mereka jumlah yang ditawarkan ke Fatih hanya sedikit, dibandingkan kepada laki-laki lain.
“Mungkin belum jodoh.” Gumam Fatih.
**
“Mahar adalah kewajiban bagi laki-laki kepada perempuan yang akan menjadi calon istrinya. Namun tidak boleh membebankan calon suami, apalagi sampai berutang maka akan mengurangi keberkahan. Dalam HR Ahmad, Rasulullah bersabda, [Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya].”
“Jumlah mahar tidak ditentukan oleh syariat. Mahar yang mudah akan membuat pernikahan berkah. Berkah itu adalah bahagia dunia-akhirat baik kaya maupun miskin. Sebab tidak sedikit orang kaya tetapi rumah tangga tidak bahagia dan tidak berkah.”
“Dalam Islam ukuran perbuatan manusia adalah timbangan syariat, bukan berdasarkan tradisi ataupun yang lainnya.”
Suara Ustaz Abdul menggema di ruangan seminar Keluarga Sakinah. Seorang laki-laki berkaca mata yang berada di barisan depan tersenyum mendengar penjelasan Ustadz Abdul. Tiba-tiba ponselnya bordering. ia mengeluarkan dari kantong koko hitam yang ia kenakan, dan membaca pesan masuk.
[Selesai acara kita mampir ke rumah Ustazah Endah ya Mas]
Message sent
[InsyaAllah]
Message replied
**
“Jadi gimana Bu? Kalau permintaanya seperti itu saya tidak bisa menyanggupinya.” Laki-laki itu berkata hati-hati, khawatir perkataannya tidak berkenan.
“Terserah Tiara saja, Ibu ikut apa keputusan kalian.” Wanita paruh baya itu menjawab santai.
Setelah mendengar tausiyah online, orang tua Tiara melunak, tidak mempermasalahkan resepsi ataupun mahar untuk Tiara, yang penting sah.
[“Janganlah kalian meninggikan mahar wanita. Jika mahar termasuk kemuliaan di dunia atau ketakwaan di akhirat, tentulah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam paling pertama melaksanakannya.” (HR. At-Tirmidzi, shahih Ibni Majah)]
Views: 100
Comment here