Penulis: Kunthi Mandasari (Pegiat Literasi)
Wacana-edukasi.com, — Meski pandemi Corona belum sirna, upaya melanjutkan pembangunan tetap getol dilaksanakan. Sejumlah proyek infrastruktur justru terus dikebut. Alasannya, supaya bisa segera difungsikan untuk mempermudah pendistribusian barang. Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) memasang target untuk menyelesaikan tujuh kontrak konsesi ruas tol Sumatera pada tahun ini. Langkah itu dilakukan sebagai upaya pemerintah untuk mengejar target penyelesaian proyek tol Trans Sumatera pada akhir 2024 (tempo.co, 26/08/2020).
Oleh karena itu, perlu adanya dorongan untuk segera membebaskan lahan. Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Danang Parikesit berkata, “Yang akan kita dorong hingga tahun 2022 adalah penyelesaian pengadaan lahan. Karena kalau kita menginginkan selesai tuntas 2024 maksimal pengadaan lahan ini akan kita selesaikan di tahun 2022 sampai ke Lampung.” (cnbc, 25/08/2020). Bahkan Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) setidaknya akan membayarkan dana pengadaan lahan hingga Rp23,61 triliun pada tahun depan untuk proyek jalan tol dan bendungan (bisnis.com, 26/08/2020).
Padahal proyek infrastruktur termasuk dalam ekonomi makro yang memiliki durasi panjang. Menfokuskan penggarapan insfratruktur sama saja dengan menghentikan laju perputaran perekonomian. Terutama di masa wabah seperti ini. Sehingga justru menyumbang kontraksi ekonomi. Meskipun berbagai sarana penunjang transportasi tersedia, tetapi jika tidak diimbangi dengan daya beli akan percuma saja.
Efek pandemi Corona telah melumpuhkan perekonomian. Pemerintah berusaha menggenjot angka konsumsi untuk menekan krisis. Salah satunya mendorong masyarakat untuk lebih banyak membelanjakan uang. Lantas, bagaimana mungkin masyarakat bisa berbelanja, jika pendapatan saja banyak yang hilang akibat PHK massal. Pemberian bansos masih belum merata. Hal ini pun hanya solusi semu yang tidak bisa terus dilakukan.
Sektor ekonomi sekunder menjadi sektor yang paling merasakan dampak wabah. Mulai dari sektor manufaktur, pariwisata, transportasi, konstruksi, dan lainnya. Karena penerapan pembatasan wilayah di sejumlah negara yang menghentikan proses produksi dan membuat perusahaan gulung tikar. Dan sektor sekunder inilah menjadi penyumbang PHK massal. Oleh karenanya, sektor ini pula yang paling getol diselamatkan dan mendapatkan perhatian dari pemerintah. Sedangkan sektor primer yang senantiasa stabil dalam segala situasi justru telah lama diabaikan.
Indonesia memiliki julukan jamrud khatulistiwa. Bukan tanpa alasan ketika julukan tersebut disematkan. Indonesia memiliki lahan subur yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Sayangnya meski subur, banyak lahan yang akhirnya beralih fungsi karena gencarnya pembangunan. Konon katanya pembangunan menjadi tolak ukur kesuksesan sebuah negara. Benarkah demikian?
Padahal kebijakan pemerintah menjadi penentu pemulihan ekonomi. Salah strategi, perekonomian bisa amblas atau bahkan tergilas. Kebutuhan primer yang senantiasa stabil luput dari perhatian, seperti sektor pertanian. Alokasi subsidi pupuk tiap tahun justru kian merosot. Pada tahun 2018, pemerintah mengucurkan 9,5 juta ton. Sementara 2019 menjadi 8,8 juta ton dan 2020 hanya 7,9 juta ton (medcom.id, 26/08/2020).
Jumlah lahan yang bisa ditanami dari tahun ke tahun pun kian menyempit. Sejumlah lahan pertanian beralih fungsi menjadi deretan bangunan. Melansir data BPS 2019, melalui data yang diambil citra satelit melalui skema Kerangka Sampel Area (KSA), luas lahan baku sawah di Indonesia saat ini menjadi 7,4 juta hektare. Padahal luasan sebelumnya mengacu data BPS 2013 masih mencapai 7,75 juta hektare (suararakyat.co.id, 04/03/2020).
Peralihan lahan pertanian yang menjadi bangunan tak lepas dari ketidakberpihakan kebijakan. Selama ini biaya produksi pertanian selalu tinggi. Mulai dari pupuk hingga benih. Namun di sisi lain harga jual senantiasa murah akibat derasnya keran impor. Alhasil banyak petani yang senantiasa jatuh merugi. Menjual lahan menjadi salah alternatif para petani.
Padahal sektor pangan merupakan salah satu indikasi ketahanan negara. Maka sudah seharusnya mendapatkan perhatian yang ekstra. Jika sektor ini dikelola dengan sungguh-sungguh bisa menghasilkan komoditas pangan hingga surplus. Begitupula sektor primer lainnya. Seperti perikanan, peternakan serta sektor ekonomi mikro.
Ekonomi Islam adalah perekonomian yang berbasis sektor riil (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 275). Tidak ada dikotomi sektor riil dengan sektor moneter. Sebab, sektor moneter dalam Islam bukan seperti sektor moneter kapitalis yang isinya sektor maya. Islam memandang kegiatan ekonomi hanya terdapat dalam sektor riil seperti pertanian, industri, perdagangan, dan jasa. Dari sektor inilah kegiatan ekonomi didorong untuk berkembang maju.
Salah prioritas dalam menangani krisis ini tak lepas dari ideologi yang diterapkan. Sistem ekonomi kapitalis berorientasi pada materi. Kebebasan dalam kepemilikan menjadi salah satu asasnya. Maka tak heran jika muncul adanya pasar bebas, pasar modal, investasi, riba dll. Padahal sektor ekonomi non riil inilah penyumbang ketidakstabilan ekonomi. Ditambah lagi penggunaan mata uang kertas yang nilainya senantiasa fluktuatif. Pengalaman moneter dunia menunjukkan mata uang kertas (fiat money) bersifat labil dan selalu kehilangan nilai akibat inflasi. Padahal jika menggunakan uang dengan berbasis emas dan perak akan lebih senantiasa stabil.
Sistem ekonomi Islam juga dibangun di atas pondasi akidah Islam. Akidah Islam merupakan akidah yang memuaskan akal, menenteramkan jiwa, dan sesuai dengan fitrah manusia. Karenanya, peraturan yang terpancar dari akidah Islam, seperti sistem ekonomi Islam, memiliki karakter yang khas dan manusiawi. Dalam konteks individu, kegiatan ekonomi dilandasi oleh nilai-nilai ibadah. Bukan materi yang menjadi orientasi (profit oriented), tetapi keridhaan Allah. Oleh karenanya, dalam pelaksanaannya senantiasa terikat dengan hukum syariat. Halal dan haram menjadi standar.
Dalam konteks negara, kegiatan ekonomi merupakan salah satu wujud pengaturan dan pelayanan urusan rakyat. Inilah tugas umum negara, mengantarkan rakyat pada kesejahteraan. Untuk merealisasikannya, negara menerapkan syariah Islam baik dalam urusan ekonomi di dalam negeri maupun di luar negeri. Memastikan setiap individu tercukupi sandang, pangan, dan papan. Serta tercukupi hak dasarnya sebagai warga, seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan.
Negara menerapkan hukum-hukum Allah sebagai koridor kegiatan ekonomi dan bisnis untuk mencegah aktivitas ekonomi yang zalim, eksploitatif, tidak transparan, dan menyengsarakan umat manusia. Negara menerapkan politik ekonomi agar warga dapat hidup secara layak sebagai manusia menurut standar Islam. Negara juga menjalin hubungan secara global dan memberikan pertolongan agar umat manusia di seluruh dunia melihat dan merasakan keadilan sistem Islam. Islam memiliki metode untuk membalikkan posisi krisis seperti yang dialami dunia saat ini menjadi sejahtera. Metode tersebut tentu dengan penerapan sistem ekonomi Islam dalam pola hubungan ekonomi global melalui Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam bishshawab.
Views: 0
Comment here