Oleh: Endang Seruni (Muslimah Peduli Generasi)
wacana-edukasi.com, OPINI– Berbicara masalah sampah, sepertiga makanan yang diproduksi untuk dikonsumsi manusia dibuang sebagai sampah. Jika dihitung jumlah 1,3 miliar ton setiap tahunnya. Di sisi lain ada 795 juta manusia di dunia menderita kelaparan.
Menurut data dari World Resource Institute (WRI) emisi gas rumah kaca dari sampah makanan menyumbang 8% dari emisi global. Pada tahun 2020 Indonesia sudah memasuki sinyal darurat sampah makanan. Pada tahun 2019 Indonesia merupakan penghasil sampah makanan terbesar nomor 2 di dunia setelah Arab Saudi. Sistem informasi pengelolaan sampah nasional mencatat sampah sisa makanan di Indonesia mencapai 46,35 juta ton skala nasional pada tahun 2019. Sampah tidak hanya menjadi isu lingkungan tetapi juga menjadi isu ekonomi dan sosial (Unnes.ac.id).
Badan perencanaan pembangunan nasional mencatat potensi kerugian negara akibat sisa makanan mencapai Rp 213 triliun- Rp 551 triliun per tahun, setara dengan 4,5% produk domestik bruto Indonesia.
Jika sisa pangan yang layak konsumsi dapat dimanfaatkan, maka Indonesia dapat memenuhi kebutuhan energi dan menurunkan emisi gas rumah kaca serta menyelamatkan potensi ekonomi yang hilang. Pengendalian susut dan sisa pangan atau food loss and waste, menjadi salah satu intervensi priority yang dapat menekan jumlah timbulnya sampah hingga mencegah risiko kehilangan ekonomi (tirto.id,3/7/2024).
Upaya mengatasi sampah makanan tidak cukup penyelesaiannya dengan memanfaatkan sisa makanan yang masih layak konsumsi. Kita harus memperhatikan penyebab banyaknya sampah makanan jika penyebabnya tidak dihentikan. Maka sampah juga akan terus menggunung.
Banyaknya sampah makanan tidak lepas dari sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Sistem ini membuat banyak perusahaan produsen pangan melakukan produksi besar-besaran demi target untuk memperoleh keuntungan yang melimpah. Sementara tidak semua produk yang diproduksi mampu diserap pasar. Sehingga produk yang tidak laku terjual akan kadaluarsa dan ditarik dari peredaran. Kemudian dibuang menjadi sampah. Tidak hanya itu makan sisa yang masih layak makan juga dibuang karena tidak laku selama proses penjualan.
Di sisi lain pemerintah sering melakukan impor pangan seperti beras. Dengan dalih untuk stok tangan dan menstabilkan harga. Tetapi pada saat yang bersamaan dengan panen raya sehingga stok beras melimpah, berkutu dan mengalami susut. Di negeri ini banyak penduduk miskin yang tidak bisa makan nasi karena tidak mampu membeli beras. Sementara beras dibuang sia-sia karena sudah tidak layak untuk dikonsumsi. Inilah potret distribusi pangan dalam penerapan sistem kapitalisme yang menjadi sebab banyaknya sampah makanan.
Distribusi yang tidak merata menjadikan masalah kemiskinan selalu menghantui dari waktu ke waktu. Begitupun juga dengan gaya hidup turut menjadi penyumbang penyebab sampah makanan. Gaya hidup dalam sistem kapitalisme sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Menjadikan masyarakat bebas berperilaku seperti membuang makanan seolah-olah perbuatan yang sudah biasa.
Pemerintah hamba dalam mengedukasi rakyat agar tidak menyia-nyiakan makanan. Sebab sistem kapitalisme menerapkan sistem pendidikan yang melahirkan output yang bersifat akademis bukan manusia yang berkepribadian Islam. Pemerintah juga abai dalam mengawasi industri pangan agar tidak boros sumber daya. Penguasa hari ini hanya fokus pada upaya perolehan pajak yang besar dari industri. Juga mengenjot produksi demi tingginya produk domestik bruto.
Persoalan sampah tidak semata-mata tentang daur ulang akan tetapi terkait gaya hidup, persepsi terhadap makanan, sistem ekonomi dan peran penguasa. Untuk menyelesaikan persoalan ini membutuhkan solusi dengan perubahan yang sistematis.
Islam hadir tidak hanya sebagai agama ritual semata. Namun Islam mempunyai aturan yang sempurna dan Paripurna untuk mengatur kehidupan termasuk urusan makanan. Islam memandang bahwa makanan adalah rezeki dari Allah subhanahu wa ta’ala. Makanan berfungsi untuk tumbuh kembang manusia. Islam mengajarkan agar tidak berlebih-lebihan di dalam hal makanan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,”Wahai anak cucu Adam, okelah pakaianmu yang bagus pada setiap memasuki masjid, makan dan minumlah tetapi jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (TQS. Al A’raf:31)
Bagi setiap muslim sudah seharusnya memahami bahwa makanan yang ia miliki akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Untuk itu ia tidak akan menyia-nyiakan makanan dan membuangnya dengan percuma. Penguasa di dalam Islam akan mengedukasi masyarakat agar perilakunya sesuai dengan syariat. Penguasa dalam Islam juga melakukan pengawasan pada industri makanan sehingga tidak ada praktek buang-buang makanan. Makanan diproduksi secukupnya sesuai dengan kebutuhan pasar. Jika para pelaku usaha atau industri melakukan pelanggaran maka akan dikenakan sanksi oleh negara.
Dalam hal pendistribusian makanan, merata pada seluruh warga yang membutuhkan sehingga tidak ada rakyat miskin yang kelaparan. Dalam jamuan kenegaraan, Islam juga memberikan teladan kepada rakyat agar tidak berlebih-lebihan dalam makanan. Hal ini membuktikan bahwa Islam mampu mensejahterakan rakyatnya dan mampu menyelesaikan persoalan kehidupan hingga akarnya. Untuk itu sudah saatnya kita ganti sistem kembali kepada sistem Islam yang sempurna dan paripurna.
Wallahualam bishowab.
Views: 4
Comment here