Oleh: Adila
wacana-edukasi.com, OPINI– Belum lama ini presiden baru mengunjungi beberapa SMK. Beliau pun membandingkan sarana prasarana yang ada di kabupaten dengan kota. Menurutnya ketimpangan atau gap yang ada masih sangat jauh dan menjadi tugas menteri pendidikan (detik.com, 25/11/2023).
Rupanya presiden hanya datang untuk memantau sekolah-sekolah yang siap mengirimkan alumninya ke dunia kerja. Tentu sekolah-sekolah seperti itu yang sudah memiliki sarana prasarana yang mendukung sekali jalannya pembelajaran sesuai kurikulum. Sedihnya dimana saja sekolah tersebut berada, bila bukan di dekat pusat kota yang cukup menyerap tenaga kerja. Beliau mengunjungi SMK di Metro Kota salah satunya.
Mengapa demikian? Selain dari tujuan berdirinya SMK memang untuk memudahkan pemuda setelah lulus bisa terjun langsung ke dunia kerja. Sebab sejalan dengan slogan presiden yang berbunyi “kerja, kerja, kerja”. Berarti segala pengaturan sistem hidup difokuskan demi mendukung tujuan negara kita yang ekonominya bersistem kapitalis. Termasuk terkait pendidikan pun harus diatur untuk memajukan perekonomian juga.
Lantas bagaimana dengan daerah-daerah di pelosok atau di tingkat kecamatan hingga daerah 3T? Padahal mereka pelajar yang berada di pelosok juga aset masa depan bangsa ini. Berhak dicerdaskan oleh bangsa ini yang juga sudah menjadi amanat kemerdekaan. Bila masih ada daerah yang tertinggal secara pendidikan dan intelektualitas pelajarnya, maka memang belum nampak serius negara memeratakan pembangunan di ranah pendidikan.
Tak Tepat Sasaran
Coba tengok lagi sekolah di daerah pinggiran kota hinga pedesaan bahkan daerah 3T. Kira-kira, sudahkah memenuhi kebutuhan dan hak tiap pelajar? Apakah kelayakan bangunan sekolah dan fasilitas yang lengkap hanya milik siswa perkotaan saja?
Kalau fasilitas menjadi kunci dari peningkatan skill dan kesiapan kerja, maka anak-anak desa jauh lebih berhak dan membutuhkannya. Mereka siswa pedesaan lahir dari orangtuanya yang cenderung berpenghasilan rendah dan kurang berpendidikan. Tapi semangat sekolah mereka tak kalah dengan siswa perkotaan. Bahkan terkadang bangunan sekolah mereka masih belum mampu menampung seluruh siswa.
Prosedur Bantuan yang Rumit
Sementara di perkotaan dana bantuan begitu cepat mengalir. Sekolah yang bangunan masih bagus pun justru dapat tender untuk renovasi. Alih-alih makin bagus, terkadang masalah lain timbul karena kualitas bangunan malah jadi kurang baik. Seperti bagian bangunan yang asalnya kayu jati diganti dengan yang kualitasnya dibawahnya.
Bantuan dana untuk pembangunan berupa uang pun terksesan rumit prosedur. Bahkan mulai pengajuan dari sekolah hingga cairnya uang. Semua itu dikarenakan kualitas sdm di instansi pemerintah hingga di pendidikan sering tak mampu dipercaya. Praktik kotor korup atau suap masih rawan mengelilingi. Wajar bila terhambat perkembangan dari banyak sekolah di pinggiran hingga area 3T.
Padahal pemerintah bisa memasukkan anggaran pembangunan seperti sistem BOP. Lalu mensyaratkan sekolah untuk segera menggunakan dananya dalam rentang waktu berapa lama sesuai tingkat pembangunan yang dibutuhkan. Bila sisa harus dihabiskan untuk melengkapi fasilitas pembelajaran. Audit secara langsung bisa dilakukan di akhir dan bila tak amanah tinggal dikenai sanksi.
Tak Cukup Sarana Prasarana
Sebenarnya PR dari tiap sekolah di negeri ini tak hanya sarana prasarananya saja. Apalah guna fasilitas mewah bila tak didukung dengan SDM guru serta karyawan sekolah yang mumpuni dan bertanggungjawab?
Masalah pemerataan dan kualitas SDM guru serta jaminan kesejahteraaannya masih jadi polemik. Kemudian kualitas output pendidikan dari siswa-siswa makin rendah. Dibuktikan dari kasus kenakalan remaja yang semakin mengerikan seperti bullying dan menjamurnya bunuh diri.
Apalagi ada survey yang menyebutkan bahwa pemahaman agama generasi Z makin rendah. Padahal sekolah berbasis agama tak berkurang jumlahnya. Menjadi PR bagi sekolah-sekolah bernuansa agamis di berbagai jenjang agar mampu mencetak output didik berkarakter mulia. Bisa jadi hal ini juga yang mendasari munculnya kasus bullying hingga bunuh diri.
Kurikulum yang kerap berganti sementara belum dirasakan efek baiknya menjadikan guru makin tak fokus. Para guru lebih tersibukkan oleh urusan administratif yang jadi syarat peningkatan kinerja mereka. Sementara kecerdasan, profesionalitas dan kekreatifan guru dalam mengajari siswa rawan kurang terasah dan dipraktekkan.
Sekarang ini tak cukup bila hanya mengandalkan skill dan teori keilmuan belaka. Penting mereka dibentuk menjadi pribadi yang mampu bertanggungjawab dan problem solver. Terbukti dengan angka pengangguran lulusan diploma dan universitas makin meningkat
Bila tak kuat agamanya rawan sekali terjangkit penyakit mental hingga depresi. Sebab sulit dapat pekerjaan yang sesuai dengan penghasilan yang diharapkan, berujung menganggur. Akhirnya jalan pintas pun ditempuh yang biasanya para ortu bela-belain demi tak malu melihat anak pengangguran. Praktek KKN dan suap rawan terjadi. Akan jadi apa anak cucu dan negeri kita nanti?
Padahal sebelum masuk ke dunia kerja pendidikan agama dan moral haruslah mendarah daging. Sebab bekal menyelesaikan permasalahan hidup kelak saat dewasa ada dalam pendidikan agama yang tertanam sejak dini. Bila ditimpa masalah pun tetap kuat mental hadapi ujian hidup dan mampu berpikir solutif dan sesuai agama.
Perbaikan Sistem Solusinya
Kalo kita menengok sejarah pendidikan terbaik yang pernah ada di dunia. Maka sistem pendidikan yang layak adalah di jaman ke khilafahan. Sejak dini anak-anak digembleng ilmu agama dari aqidah hingga syariat. Sehingga di saat baligh atau remaja mereka sudah cukup sekali bekal agama.
Selanjutnya mereka siap belajar ilmu pengetahuan berupa sains dan umum ataupun yang mengasah life skill. Wajar bila di masa tersebut peradaban Islam gemilang dan memimpin dunia. Islam mampu melahirkan para ilmuwan peletak dasar-dasar ilmu sains yang sangat berkontribusi pada negara dan umat. Bahkan manfaatnya dirasakan seluruh dunia hingga kini.
Mereka tak hanya ahli dalam satu bidang keilmuwan tapi juga ahli dalam ilmu agama seperti ilmu bahasa arab, hadits, dll. Itulah wujud praktek ilmu agama yang termutajasad dalam diri individu yang benar. Mampu maksimal dan menyeimbangkan diri pada kehidupan. Duniawi didapat, tapi akhirat juga dikejar.
Sungguh melihat permasalahan hidup hari ini yang makin miris membuat kita jadi bercermin. Apalagi bila dikatakan Al Qur’an kita adalah umat terbaik. Sudahkah kondisi tiap harinya makin kesana?
Justru dengan terus berada pada sistem kapitalisme dan neoliberalisme malah makin mencekik kita dan umat. Hidup makin sulit dan ujian makin pelik. Bahkan tak henti memunculkan masalah baru. Sudah waktunya kita menyadarkan umat akan solusi dari segala masalah yang melanda. Mari kita istiqomah menyadarkan umat demi kembalinya peradaban Islam yang layak memimpin umat Islam.
Views: 19
Comment here