Wacana-edukasi.com — Desa Wadas di Kecamatan Bener, Purworejo Jawa Tengah belum lama ini, viral karena ‘digeruduk’ aparat TNI dan Polri terkait rencana penambangan batu andesit untuk proyek Bendungan Bener. Namun, rencana tersebut ditolak warga sehingga menimbulkan kericuhan. Sebab, penambangan ini dinilai akan merusak lingkungan desa tersebut (Sindonews.com 11/02/2022).
Gemah ripah loh jinawi merupakan semboyan yang kerap kita dengar. Semboyan yang menggambarkan betapa suburnya bentang alam Nusantara. Konon katanya, tongkat kayu dan batu pun jadi tanaman. Rupanya, Wadas menjadi salah satu buktinya. Desa ini diberkahi unsur hara yang sangat melimpah. Juga terdapat 27 sumber mata air di sana. Dengan tanah yang subur, hampir seluruh masyarakatnya berprofesi sebagai petani yang banyak bergantung pada kelestarian alam. Sehingga, tak heran jika masyarakat menyebut Desa Wadas dengan sebutan Tanah Surga di Bumi.
Namun sayang, potensi luar biasa bumi surga tersebut terancam hilang ditelan mega proyek ambisius yang menghabiskan biaya 2,06 triliun rupiah. Proyek bendungan yang digadang-gadang akan menjadi konstruksi bendungan tertinggi di Indonesia dan ke-2 di Asia Tenggara. Tak tanggung-tanggung mega proyek ini membutuhkan lahan seluas 145 hektar. Mirisnya, menurut SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 509/41/2018, Wadas lah yang ideal untuk dijadikan “tumbal”.
Padahal, jika merujuk pada Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo, No. 27/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Desa Wadas sudah ditetapkan menjadi kawasan perkebunan. Bukan kawasan pertambangan. Meskipun, mendapat penolakan dari masyarakat sejak 2016-2017. Namun, kenyataannya Amdal pembangunan Bendungan Bener yang juga mencakup galian di Wadas, tetap lolos kurasi pada Maret 2018.
Menurut data Organisasi nirlaba Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), sekitar 44 persen daratan Indonesia telah diberikan untuk 8.588 izin usaha tambang. Angka itu seluas 93,36 juta ha, atau sekitar empat kali lipat luas Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Di samping itu, selama tahun 2020 lalu, JATAM mencatat terjadi 45 konflik pertambangan yang mengakibatkan 69 orang dikriminalisasi dan lebih dari 700.000 hektar lahan rusak. Sungguh mengerikan bukan?
Seyogianya, penguasa berkaca dari data temuan JATAM tersebut sebelum melanjutkan pembangunan Bendungan Bener. Sebab, ada nasib ratusan warga dan lingkungan yang akan terancam jika batu andesit di Desa Wadas tetap dieksekusi. Suara penolakan warga Desa Wadas merupakan suatu hal yang wajar terjadi dalam mempertahankan hajat hidup mereka dari ancaman. Sejatinya, mereka bukan menentang proyek pemerintah. Mereka hanya berupaya sekeras mungkin melindungi tanah kelahiran mereka dari eksploitasi melalui penambangan andesit.
Sudah saatnya, pemerintah mendengarkan suara hati rakyat. Warga tak butuh materi dari ganti untung. Melainkan, hanya menginginkan hak hidup dan mata pencaharian yang tak terampas korporasi. Indonesia memiliki wilayah yang luas. Tentu masih banyak batuan andesit di tempat lain. Pemilihan wilayah tak produktif dan tak berpenghuni bisa menjadi opsi terbaik untuk menekan potensi konflik serta dampak ekologi.
Bukankah Islam mengajarkan, jika merupakan tambang yang strategis negara yang harus mengelolanya. Terlebih jika tambang ini memang sangat dibutuhkan negara untuk proyek strategis, maka negara akan mengelola dengan sebaik-baiknya sehingga tidak akan merusak lingkungan, juga tidak akan memaksakan kehendak kepada rakyat, apalagi mengancam atau merampasnya dari yang berhak. Ini karena Allah telah melarangnya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW., “Barang siapa mengambil sejengkal tanah bumi yang bukan haknya, niscaya ditenggelamkan ia pada hari kiamat sampai ke dalam tujuh lapis bumi.” (HR Bukhari).
Wallahua’lam bisshowwab.
Teti Ummu Alif — Kendari Sulawesi Tenggara
Views: 3
Comment here