Oleh: Widhy Lutfiah Marha (Pendidik Generasi)
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Baru-baru ini, pengelolaan urusan rakyat oleh negara semakin kacau. Salah satu contohnya adalah keputusan Kementerian Pendidikan Tinggi yang menghapus tunjangan kinerja dan profesi dosen ASN. Alasan yang diberikan pemerintah, yaitu perubahan nomenklatur kementerian dan ketiadaan anggaran, dianggap tidak masuk akal. Perubahan nomenklatur ini merujuk pada pemisahan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dari Kementerian Pendidikan Tinggi yang sebelumnya berada dalam satu naungan di bawah Presiden Joko Widodo. Akibat pemisahan ini, Kementerian Keuangan menolak pengajuan anggaran tunjangan kinerja dengan alasan defisit anggaran. (tempo.co, 09/01/2025)
Keputusan tersebut memicu aksi protes dari para dosen. Mereka menuntut pemerintah untuk memenuhi hak mereka, apalagi aturan pemberian tunjangan kinerja sebenarnya sudah ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, sejak tahun 2020. Namun, pemerintah justru menunggak pencairan tunjangan tersebut yang sudah dijanjikan sejak 2018. Bahkan, di awal pemerintahan Presiden Prabowo, Menteri Pendidikan Tinggi membuat aturan baru yang menjanjikan pencairan tunjangan berdasarkan jabatan mulai tahun 2025. Sayangnya, janji tersebut berubah menjadi angin lalu karena ternyata anggaran tidak tersedia. (kompas.com, 07/01/2025)
Pendidikan sebagai Komoditas: Dampak Buruk Kapitalisme
Para dosen juga menganggap alasan pemerintah tidak konsisten. Pasalnya, pegawai kementerian lain yang mengalami perubahan struktur tetap menerima tunjangan kinerja. Sebagai informasi, di era Presiden Prabowo, jumlah kementerian meningkat dari 34 menjadi 46. Namun, hak dosen justru diabaikan, meskipun mereka berperan penting dalam kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia. Ironisnya, dosen yang menjadi motor penggerak kampus kini diperlakukan tidak adil oleh pemerintah, sementara kontribusi mereka sangat signifikan dalam mencerdaskan anak bangsa.
Di tengah sistem kapitalisme yang semakin menekan, beban hidup semakin berat. Harga kebutuhan pokok melambung tinggi, layanan pendidikan dan kesehatan semakin mahal, serta pajak yang terus naik membuat kesejahteraan semakin sulit dicapai. Kebijakan yang tidak tepat ini tidak hanya menyulitkan dosen, tetapi juga mahasiswa. Mahasiswa kurang mampu kesulitan mendapatkan beasiswa karena syarat yang semakin ketat. Sebagai contoh, yang dilansir dari kompas.com, 10/01/2025, pada tahun 2025 pemerintah membatasi pendaftar Beasiswa KIP Kuliah hanya pada mahasiswa yang memenuhi tujuh kriteria tertentu. Padahal, di tahun-tahun sebelumnya, program ini lebih inklusif. Lebih parahnya, kuota penerima beasiswa KIP pada tahun 2023 turun drastis hampir 50%, meskipun banyak mahasiswa membutuhkan bantuan tersebut tetapi terhalang aturan yang semakin memberatkan.
Kesejahteraan dosen dan penghargaan yang seharusnya mereka terima sebagai pendidik generasi penerus bangsa tidak akan pernah terwujud dalam sistem kapitalisme. Sistem ekonomi kapitalis menempatkan kepentingan materi sebagai prioritas utama, sehingga pendidikan hanya dipandang sebagai komoditas komersial. Dengan konsep good governance yang diterapkan dalam pengelolaan pendidikan, negara justru melepaskan tanggung jawabnya sebagai pelayan rakyat, termasuk dalam menjamin pendidikan yang layak bagi setiap individu serta pemberian upah yang pantas bagi para pendidik seperti dosen.
Sistem Islam: Solusi untuk Pendidikan dan Kesejahteraan
Berbeda dengan sistem kapitalisme, pendidikan dalam sistem Islam sangat menjunjung tinggi nilai ilmu dan memuliakan para pendidik, termasuk dosen yang memiliki peran penting dalam mencetak calon pemimpin peradaban di masa depan. Dalam pandangan Islam, dosen bertugas membentuk kepribadian Islam pada generasi penerus. Negara dalam sistem Islam memegang amanah untuk menyediakan pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyatnya, karena pendidikan merupakan bagian dari kebutuhan mendasar manusia.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: “Imam (khalifah) adalah pemimpin dan pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari). Berdasarkan hadis ini, negara Islam akan memastikan pendidikan tidak menjadi objek komersial seperti yang terjadi dalam sistem kapitalisme. Sebaliknya, negara akan mendesain sistem pendidikan secara menyeluruh, didukung oleh kebijakan dan infrastruktur yang menunjang.
Negara Islam memiliki kewajiban untuk menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai, tenaga ahli di bidangnya, termasuk dosen di tingkat pendidikan tinggi, serta memberikan gaji yang layak. Kehidupan para pendidik dijamin melalui anggaran yang dialokasikan dari Baitul Maal sebagai bagian dari pembiayaan pendidikan. Pada masa kekhilafahan, gaji dosen dan pendidik diberikan dalam jumlah besar sebagai bentuk penghormatan atas tanggung jawab besar yang mereka emban.
Di masa keemasan Kekhalifahan Abbasiyah, profesi pengajar mendapat penghargaan yang begitu tinggi. Negara memberikan gaji fantastis kepada mereka, setara dengan penghasilan seorang muadzin, yakni 1000 Dinar per tahun. Jika dikonversi ke nilai rupiah saat ini, jumlah tersebut mencapai 5,9 miliar rupiah per tahun, atau sekitar 495,3 juta rupiah setiap bulan—angka yang sulit dipercaya, tapi nyata adanya.
Kesejahteraan luar biasa ini tercipta berkat sistem ekonomi Islam yang kokoh. Negara mampu membiayai pendidikan secara penuh, sehingga seluruh rakyat bisa menikmatinya secara gratis. Tidak hanya itu, negara juga menjamin kesejahteraan tenaga pengajar dengan memberikan gaji yang sangat besar, sebagai bentuk apresiasi terhadap peran penting mereka dalam mencerdaskan umat.
Pendapatan negara dari kepemilikan umum menjadi fondasi utama anggaran pendidikan. Di sisi lain, warga negara yang kaya berlomba-lomba memberikan wakaf untuk pendidikan, demi mengejar pahala jariyah yang tak terputus. Kombinasi ini menciptakan sebuah sistem pendidikan yang kuat, berkelanjutan, dan didukung oleh semangat kolektif umat Islam.
Dengan jaminan kesejahteraan yang memadai, para pengajar tidak perlu lagi pusing memikirkan kebutuhan hidup. Mereka dapat sepenuhnya fokus mengembangkan keilmuan, menciptakan inovasi, dan memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat tanpa perlu mencari pekerjaan tambahan.
Hasilnya, generasi penerus tidak akan terhalang untuk mendapatkan pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Negara Islam hadir sebagai pelayan rakyat, menyediakan pendidikan berkualitas yang dapat diakses oleh siapa saja, tanpa terkecuali.
Inilah bukti nyata bahwa hanya Islam yang mampu menciptakan sistem pendidikan yang benar-benar berpihak pada rakyat. Dengan pendidikan gratis, berkualitas, dan apresiasi besar terhadap tenaga pengajar, Islam membangun peradaban yang unggul dan maju.
Views: 4
Comment here