Surat Pembaca

Seleksi PPPK Guru Honorer : Solusi Minim Nurani

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Indah Indriani

wacana-edukasi.com– Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Partai Demokrat Irwan Fecho mengkritik pengangkatan guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang harus melalui seleksi.

Dia berpandangan proses pengangkatan guru honorer menjadi PPPK seharusnya dilakukan berdasarkan masa pengabdian seseorang sebagai guru. Guru yang telah cukup masa mengabdinya seharusnya tidak mengikuti proses seleksi lagi karena akan mengalami kesulitan bersaing dengan guru yang masih muda masa pengabdiannya.

“Seharusnya dilakukan pengangkatan secara langsung, bukan melalui proses seleksi tapi di lihat pada masa pengabdian nya para guru itu” ujar Irwan kepada wartawan (merdeka.com, 19/9/2021).

Sutardi (58), guru honorer di wilayah terpencil di Kampung Legok Ngenang, Desa Ciroyom, Kecamatan Bojonggambir, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, 18 tahun mengajar di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Timuhegar. Upah yang ia terima Rp. 150.000 hingga Rp. 300.000 per bulan dari uang Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang disisihkan.

Upahnya selama ini tak mencukupi, hingga ia pun bekerja sampingan sebagai kuli cangkul sawah, tukang jahit dan tukang cukur. Demi secercah harapan kesejahteraan Sutardi rela mengikuti tes PPPK bersaing dengan 3.614 guru lainnya se-Kabupaten Tasikmalaya, yang hanya 984 orang kuota tersedia. Belum lagi bersaing dengan guru honorer muda yang daya pikir dan tenaga berbeda (regional.kompas.com, 22/9/21).

Sungguh miris kehidupan guru di era saat ini, semestinya sebagai ujung tombak pendidikan, mereka mendapat kesejahteraan. Sehingga mereka akan fokus peningkatan kualitas pendidikan yang akan menentukan nasib peradaban.

Jikalau kesejahteraan tak kunjung mereka dapatkan. Ditengah amanah sebagai guru yang tak mudah. Maka, bisa dipastikan kualitas pendidikan semakin rendah. Sebab mereka tersibukkan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan.

Jika kualitas pendidikan rendah, apa yang bisa negara harapkan dari masa depan generasi? Akan seperti apa arah pembangunan negeri? sungguh ironi.

Negara yang semestinya memastikan proses pendidikan berjalan optimal. Termasuk memastikan komponen pendidikan (dalam hal ini guru) dapat menjalankan perannya dengan optimal.

Artinya, negara tidak berhitung keuntungan. kesejahteraan bagi guru bukan beban bagi negara, namun konsekuensi untuk pendidikan kualitas tinggi. Tentu saja hal ini akan mampu dicapai negara jika kekayaan alam negeri dikelola sendiri, bukan diserahkan pada korporat dengan dalih investasi.

Berbeda dengan Islam, beranjak dari paradigma pendidikan, yakni menciptakan peradaban mulia, mencetak generasi yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, maka Islam sangat memuliakan guru-guru.

Karena dari merekalah mengalir ilmu, hikmah, bimbingan, pemahaman, cara pandang, juga pemikiran yang menjadi bekal mengarungi kehidupan dunia hingga akhirat.

Pada masa kekhilafan Umar bin Khatthab. Guru diberikan gaji masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas).

Jika dikalkulasikan, itu artinya gaji guru sekitar Rp 30.000.000. Tentunya ini tidak memandang status guru tersebut PNS atau pun honorer. Apalagi bersertifikasi atau tidak, yang pasti profesinya guru.

Sebuah hadis meriwayatkan, “Sesungguhnya Allah, para malaikat dan semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, sampai semut yang ada di liangnya dan juga ikan besar semuanya bershalawat kepada mualim (orang yang berilmu dan mengajarkannya) yang mengajarkan kebaikan pada manusia,” (HR. Tirmizi)

Sungguh mulia posisi sebagai seorang guru, sudah seharusnya diberi penghargaan tinggi, tapi tanpa harus mengikuti seleksi. PPPK hanyalah solusi setengah hati yang minim nurani. Memang hanya sistem Islam, yang tuntas menyolusi.

Wallahu a’lam bisshowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 7

Comment here