Oleh: Kemala (Relawan Opini)
wacana-edukasi.com, OPINI– Membahas terkait perselingkuhan maka tidak terlepas dari bahasan hubungan antara suami-istri. Perselingkuhan menjadi tanda adanya kerenggangan dalam suatu hubungan pernikahan. Banyak hal yang bisa menjadi pemicu kondisi ini, misalnya saja adanya salah satu pihak memilih berkhianat, persoalan ekonomi, minimnya komunikasi, kebosanan, hubungan yang monoton hingga ketidakpuasan terhadap pasangan pun dijadikan alasan mengapa seseorang memilih berselingkuh.
Indonesia menjadi negara terbesar kedua setelah Thailand yang banyak terjadi perselingkuhan. Berdasarkan survei yang dilakukan melalui aplikasi just dating, terdapat lebih dari 40% pasangan mengaku pernah berselingkuh yang di dominasi oleh kaum wanita. Persepsi tentang selingkuh sendiri berbeda antara wanita dan pria, dimana menurut pihak wanita, lelaki dikatakan telah berselingkuh ketika melalukan hubungan komunikasi intens dengan lawan jenisnya. Sedangkan menurut pria, ketika pasangannya kedapatan jalan berdua dengan pria lain maka sudah dapat dikatakan selingkuh (tribunnews, 18/02/2023).
Beberapa faktor pemicu terjadinya perselingkuhan diantaranya, yaitu rasa ketidakpuasan dalam hubungan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan pasangan untuk mengabaikan kebutuhan emosional atau fisik mereka. Keinginan mencari sensasi berbeda dalam hubungan yang tidak didapatkan dari pasangannya. Masalah juga bisa datang dari diri sendiri yang tidak dapat mengendalikan keinginan seksual sehingga mencari peyaluran ditempat lain. Kurangnya komitmen individu atas suatu hubungan memungkinkan terjadinya suatu persekingkuhan. Merasa dapat dengan mudah mendapatkan pengganti jika memilih selesai dengan suatu hubungan (PikiranRakyatcom, 17/02/2023).
Menilik dari fakta yang ada tentang persepsi selingkuh dan faktor terjadinya, maka poin yang bisa ditarik sebagai pemicu utama adanya aktifitas perselingkuhan yaitu sistem pergaulan yang tidak terstruktur dengan baik hingga tidak tegasnya kontrol dalam penggunaan media komunikasi. Hidup dalam sistem sekuler, pemisahan agama dari kehidupan sehari-hari, berbangsa dan bernegara menjadikan hal ini lazim terjadi. Pergaulan antara pria dan wanita tanpa udzur syar’i adalah lumrah, tidak ada larangan atasnya. Penggunaan media komunikasi untuk sekedar bersenda gurau, bertukar pesan/telepon dengan lawan jenis tidak ada batasan, disesuaikan dengan keinginan individu. Sehingga tak khayal jika pintu perselingkuhan semakin terbuka dengan lebar.
Padahal lingkungan bermasyarakat yang kondusif, negara yang secara tak kasat mata turut andil dalam memberikan kenyamanan dan penjagaan dari sumber-sumber pemicu kerusakan rumah tangga sangat dibutuhkan kehadirannya. Suami-istri yang tidak memahami hakikat pernikahan, tidak berjalan berlandaskan agama akan mudah terombang-ambing ketika terjadi konflik di dalamnya. Faktor-faktor yang memicu prahara rumah tangga, seperti tidak terpenuhinya kebutuhan pribadi diantara suami-istri mendorong masing-masing pihak mencari keluar pemenuhan tersebut. Celakanya, kondisi pergaulan di masyarakat yang tidak tersistem dan tidak diatur oleh negara inilah menjadi puncak komedi terwujudkannya huru-hara perselingkuhan.
Individu berada dalam kondisi dimana mereka memegang teguh adanya Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga beranggapan bahwa dengan adanya jaminan HAM adalah bebas jika ingin mengekspresikan diri selama tidak mengusik orang lain dan tidak melanggar aturan negara, namun mirisnya malah memilih-milih aturan mutlak dari Pencipta dalam berperilaku dan berinteraksi. Apa yang cocok diambil, yang dirasa membebani dan menyusahkan ditinggal pergi seolah hatinya tidak terpanggil. Maka tidak heran ketika jalan selingkuh diambil sebagai solusi atas carut marutnya kondisi pernikahan yang tengah dijalani. Sekedar untuk pelarian sementara ataupun jatuh terjerambab jauh hingga menyebabkan renggangnya ikatan pernikahan dan berujung pada perceraian.
Pernikahan dalam islam sejatinya ialah ibadah berkepanjangan bagi suami dan istri. Keduanya dituntut untuk menjadi satu tim yang siap bersinergi dalam membangun hubungan baru dengan label rumah tangga yang tujuan akhirnya adalah sakinah (ketentraman), mawaddah (rasa cinta menurut Ibnu Katsir) dan warahma (kasih sayang). Dari sana pula diharapkan akan lahir cikal bakal generasi cemerlang pengokoh bangsa, negara dn agama. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memberikan salah satu tanda kebesaranNya bagi mereka yang berpikir dengan menciptakan hambaNya berpasangan, agar ada kecenderungan, rasa tentram serta kasih dan sayang (QS. Ar-Rum 30:21).
Ikatan yang bukan hanya sekedar persetujuan diatas kertas, di depan penghulu dan orang tua. Melainkan ikatan sakral dihadapan ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala. Pernikahan sebagai perjanjian angung (mitsaqan ghalidza) bukanlah perkara main-main (An-Nisa’ 4:21). Setelah akad fasih terucap, maka serta merta pikulan tanggungjawab baru berada pundak suami-istri. Hubungan yang di dalamnya ada dua individu yang diselaraskan isi kepalanya, disinkronkan visi dan misi nya menjadi satu tujuan, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
Islam mengatur peran suami-istri. Bukan sebagai penguasa dan bawahan, hubungan antara suami dan istri adalah hubungan kerjasama yang membutuhkan profesionalisme dalam pelaksanaannya. Masing-masing pihak sudah semestinya memahami tugas dan kewajiban yang secara otomatis diembankan kepadanya ketika secara sah tapakannya memasuki gerbang pernikahan. Suami diembankan padanya qawwamah (kepemimpinan), sebagai pemimpin (An-Nisa’ 4:34), yang memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan istri, sedangkan istri memiliki hak & kewajiban yang seimbang (Al-Baqarah 2:228), sebagai ummun wa rabbatul baiti (ibu dan pengurus rumah tangga).
Pentingnya mempunyai bekal ilmu dunia pun agama dalam menjalaninya, agar peran yang diambil dapat direalisasikan sebagaimana aturan agama. Sehingga ketika percikan api pertikaian mulai muncul, maka pelariannya bukan lagi keluar, melainkan mencari solusi sebagaimana yang telah islam ajarkan. Karena dalam perjalanannya tidak selalu mulus, tidak melulu soal kesenangan semata.
Ketika suami-istri telah memahami dan bertindak sebagaimana perannya, di dukung dengan lingkungan yang menerapkan sistem islam, maka akan menutup otomatis jalan-jalan perselingkuhan. Adapun jika masih ditemukan kasus perselingkuhan hingg berujung zina, maka islam telah menetapkan hukum uqubat (hukum pidana, sanksi, dan pelanggaran) sebagai wujud pencegah (mencegah perbuatan kriminal) dan sebagai penebus (menebus dosa seorang muslim dari azab Allah pada hari kiamat). Pelaksanaannya tiada lain agar memberikan efek jera kepada para pelaku. Hukum uqubat dijatuhkan kepada pelaku tindakan kriminal, yaitu perbuatan tercela, pelanggaran dalam aturan syari’at yang mana akan mendapatkan balasan di dunia maupun akhirat. Namun, hukum uqubat ini hanya dapat terlaksana apabila suatu negara menerapkan sistem Islam.
Demikianlah pentingnya Islam dijadikan sebagai poros segala aspek kehidupan termasuk pernikahan. Ketika seseorang berbuat dan berperilaku berlandaskan islam, maka ia sadar apapun yang ia kerjakan senantiasa dalam pengawasanNya, bahwa selalu ada konsekuensi yang harus dihadapi dan akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah SWT.
Wallahu’alam.
Views: 98
Comment here