Oleh: Armelia, S.Psi, MHM.
Wacana-edukasi.com — Korupsi seolah-olah tidak pernah absen dalam menghiasi perjalanan politik para petinggi ataupun pejabat di negeri ini. Dua berita korupsi teranyar yang menyemarakkan jelang akhir tahun 2020 adalah penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait izin ekspor benih lobster dan juga Menteri Sosial, Juliari Batubara sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi bantuan sosial covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020.
Edhy terjaring operasi tangkap tangan di Bandara Soekarno Hatta, Rabu (25/11/2020) dini hari sepulangnya dari perjalanan dinas di Honolulu, Hawaii. Dalam kasus ini, selain Edhy diduga menerima uang senilai Rp3,4 miliar rupiah dan 100.000 dollar AS dari pihak PT Aero Citra Kargo, KPK juga menetapkan enam orang tersangka lainnya (nasional.kompas.com, 26/11/2020).
Kasus suap Edhy, bukan dilakukan dalam skema biasa. Rencana korupsi ini tampaknya sudah dipersiapkan sejak Edhy membuka izin ekspor benih lobster pada 14 Mei 2020 silam yang sebelumnya dilarang pada masa Menteri Susi Pudjiastuti melalui Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster (tirto.id, 26/11/2020).
Adapun Juliari Batubara, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait bantuan sosial (Bansos) covid-19 untuk wilayah Jabodetabek 2020 pada jam 01.15 WIB, Minggu (6/12/2020). Dari hasil tangkap tangan ini ditemukan uang dengan pecahan mata uang rupiah dan mata uang asing. Masing-masing sejumlah sekitar Rp11, 9 miliar, sekitar 171,085 dollar AS (setara Rp2,420 miliar) dan sekitar 23.000 dollar Singapura (setara Rp243 juta) (ekonomi.bisnis.com, 6/12/2020).
Dalam kasus Juliari, KPK menduga dugaan tindak pidana korupsi ini dimulai dari pengadaan bansos untuk penanganan covid-19. Kementerian Sosial menyalurkan bansos berupa paket sembako senilai Rp5,9 triliun, dan Juliari beserta 4 tersangka lainnya mengambil fee sebesar Rp10.000,00 per paketnya. Pada pendistribusian bantuan sosial tahap pertama diduga diterima fee Rp12 miliar dan pada tahap kedua sekitar Rp8,8 miliar.
Terkait dua kasus korupsi tersebut, Jokowi mengatakan “Saya sudah ingatkan sejak awal kepada para menteri Kabinet Indonesia Maju, jangan korupsi,” PDIP juga mengatakan bahwa kader sudah dingatkan untuk jangan korupsi (kontan.co.id, 6/12/2020).
Namun kenyataannya, itu hanyalah sekadar imbauan dan korupsi tetap berjalan. Karena sistem kapitalis yang digunakan saat ini, menyuburkan perilaku menghalalkan segala cara untuk mencapai hal yang diinginkan. Belum lagi, hukuman yang diberikan kepada para koruptor juga dianggap terlalu ringan dan tidak mampu menimbulkan efek jera.
Uang tanda terima kasih, fee ataupun biaya-biaya lainnya yang marak pada sistem saat ini yang biasanya diberikan ketika suatu proyek/tender/pekerjaan berhasil didapatkan, tidak pernah dikenal di dalam Islam sebagaimana yang tersirat dari hadis Rasulullah saw. berikut ini.
“Nabi pernah mempekerjakan Ibn Atabiyyah, sebagai pengumpul zakat. Setelah selesai melaksanakan tugasnya Ibn Atabiyyah datang kepada Rasulullah seraya berkata: “Ini kuserahkan kepadamu, sedangkan harta ini adalah yang diberikan orang kepadaku … lalu Rasulullah bersabda: Seorang pegawai yang kami pekerjakan, kemudian dia datang dan berkata: “Ini kuserahkan kepadamu, sedangkan harta ini adalah yang diberikan orang kepadaku. Apakah tidak lebih baik dia duduk (saja) di rumah bapak/ibunya, kemudian dapat mengetahui apakah dia diberi hadiah atau tidak. Demi Dzat yang nyawaku ada di tangan-Nya, salah seorang dari kalian tidak akan mendapatkan sedikitpun dari hadiah itu, kecuali pada hari kiamat dia akan datang dengan membawa unta di lehernya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Oleh karena itu, korupsi hanya dapat dihentikan ataupun dicegah jika Islam diterapkan di dalam kehidupan secara menyeluruh. Dengan mengembalikan seluruh definisi dan aturan hanya kepada Islam saja. Dalam Islam, cara untuk mencegah korupsi disasar dari dua sisi, yaitu individu dan negara.
Secara individu, masyarakat dibangun akidahnya. Dengan akidah yang kuat, maka setiap orang akan meyakini bahwa setiap pilihan dan perbuatannya, akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Dengan keyakinan yang seperti ini, maka setiap individu akan berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan dan menjauhi hal-hal yang diharamkan, termasuk korupsi.
Sedangkan dari sisi negara, sistem pemerintahan Islam akan menerapkan sistem politik, sistem ekonomi dan sistem sanksi sesuai dengan hukum Allah Swt.
Dalam Negara Islam, tidak akan ada politik yang berbiaya tinggi yang mendorong terjadinya korupsi agar bisa balik modal. Seluruh rakyat juga dijamin oleh negara dalam pemenuhan kebutuhan mendasarnya sehinggakeinginan untuk memiliki harta lebih dengan segala cara sebagai jaminan hidup masa depan akan bisa dihindari.
Selain itu, Negara juga akan menerapkan sanksi yang membuat jera para pelaku korupsi seperti memecat dari jabatan, hukuman penjara, mengambil kembali semua harta yang merupakan hasil korupsi, mengumumkan kejahatannya ke seluruh masyarakat, menjatuhkan sanksi hadd, atau bahkan hukuman mati.
Dengan demikian, marilah kita kembali kepada hukum Islam dengansebuah kesadaran yang penuh. Kesadaran bahwa kehidupan di dunia adalah sementara dan tempat kembali sebenarnya adalah akhirat. Kesadaran bahwa apa yang kita lakukan hari ini akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah Swt. sebagaimana firmannya dalam surat q Alhasyr ayat 18:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Wallahu’alam bishshawab
Views: 5
Comment here