Bahasa dan SastraCerpen

Serpihan Cinta yang Terpenjara

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Iffah Azizah

Wacana-edukasi.com — Di pojok masjid Ash-Sholihin yang berdiri megah di tengah padat aktivitas penduduk kota Abepura, sekelompok muslimah sedang fokus mendengar tausiah dari ustazah. Lantunan ayat suci Al-Qur’an beberapa anak yang sedang belajar mengaji dari lantai dua terdengar sayup-sayup di telinga. Sesekali mendengar ustaz mengoreksi bacaan. Rutinitas di sore yang indah, membuat Masjid Ash-Sholihin menjadi lebih hidup dan menentramkan.
Setiap Sabtu sore sudah menjadi aktivitas kajian rutin yang dilakukan Azizah, Iffah, Unni, dan Ima bersama Ustazah Mul.

“Dek Azizah, selesai ngaji jangan pulang dulu, ya?” ucap Ustazah Mul membuyarkan lamunan Azizah yang masih terbayang-bayang materi tentang keluarga.

“I … iya Ustazah, ada apa, ya?” tanya Azizah dengan wajah penuh kecemasan. Khawatir kalau ada yang salah dari dirinya.

“Hmm, ayo Azizah kamu ngapain aja? Pasti ada yang nggak beres ini!” Iffah mulai ngledekin Azizah. Sebenarnya Iffah juga penasaran, mengapa Azizah disuruh tinggal sejenak.

“Nanti, ya, kita tutup dulu majelis kita dengan bersama-sama membaca istighfar, hamdalah, dan doa penutup majelis,” jawab Ustazah Mul menepis rasa penasaran Azizah. Kemudian bersama-sama membaca doa sebagai tanda berakhirnya kajian mingguan ini. Setelah berpamitan dengan Ustazah, Unni dan Mia meninggalkan ketiganya. Tersisa Ustazah Mul, Iffah, dan Azizah.

“Loh, Iffah nggak pulang bareng yang lain?” tanya Ustazah Mul mengagetkan Iffah yang masih duduk di samping Azizah.

Sebenarnya Ustazah Mul tahu kalau dua sejoli ini tak pernah bisa dipisahkan. Di satu sisi, Ustazah Mul tidak enak jika harus menyuruh Iffah pulang.

“Nggak ustazah, biasa jalan bareng Azizah,” jawab Iffah sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

“Afwan, ya, bukan bermaksud apa-apa, hanya saja saya ada sedikit keperluan dengan Azizah, Dek Iffah bisa menunggu di luar sebentar saja?” Ustazah Mul berusaha berbicara dengan nada sehalus mungkin agar Iffah tidak tersinggung.

“Emang Iffah nggak boleh tahu, ya, ustazah?” suara Azizah menyela. “Dia kan sahabat saya Ustazah, tidak mengapa jika dia tahu.” Azizah berusaha meyakinkan Ustazahnya.

“Afwan, saya tidak bermaksud memisahkan kalian berdua, kali ini saya ada keperluan hanya dengan Dek Azizah.” Ustazah Mul menerangkan. “Baiklah Ustazah,” ucap Iffah, lalu meninggalkan mereka berdua.
Tinggallah Azizah dan Ustadzah Mul. Azizah masih duduk terpaku sambil meremas remas tangannya. Sesekali membuang pandangnya ke luar pelantaran masjid.
“Dek Azizah sehat? Sudah mau lulus, ya, kuliahnya?” tanya Ustazah memecah suasana. “Iya, ustazah. Sedang menyusun skripsi,” jawab Azizah pelan.

“Begini Dek Azizah, mba lihat sifat keibuan sudah nampak di diri anti. Mbak menilai sudah saatnya anti memikirkan dan mempersiapkan diri untuk berumah tangga.” Ucapan Ustazah Mul sontak membuat kaget Azizah.

“Sebenarnya Mbak hanya menyampaikan amanah dari seseorang yang ingin mengenal adek lebih dekat,” ucap ustazah Mul sembari mengeluarkan amplop putih dari dalam tas coklatnya.

Azizah yang masih bengong, kaget mendengar apa yang baru di sampaikan oleh Ustazah Mul, belum bisa berkata apa-apa.

“Maksudnya gimana, ya?” tanya Azizah memperjelas apa yang baru saja di dengarnya. “Maksudnya, ada ikhwan yang ngajak taaruf dengan anti,” jelas Ustazah.

“Afwan, saya belum kepikiran sama sekali ke arah sana. Sebab saya masih mau fokus untuk menyelesaikan kuliah saya,” jawab Azizah yang belum sama sekali punya keinginan untuk segera menikah.

“Diterima dulu amplopnya, dibaca baik–baik biodatanya dan dia meminta data lengkap anti juga. Jangan terlalu cepat mengambil keputusan.” Ustazah Mul berusaha meyakinkan Azizah.

Saat dilirik amplop putih yang sedang dibukanya. Tiba-tiba jantung Azizah berdetak kencang tak beraturan. Napasnya tertahan sesaat. Rona mukanya berubah memerah bah kepiting panas.

“ Ustazah, ini Hermawan? Ustaz yang mengajar ngaji itu? Atau guru MI?” tanya Azizah penasaran.

“Sepertinya iya, udah kenal, ya? Pernah ketemu?” tanya Ustazah Mul penasaran.

Sambil tesenyum tipis Azizah menjawab, “Iya, pernah ketemu. Tapi yang mana ini?” tanyanya semakin penasaran.

‘Kedua-duanya adalah laki-laki yang saleh, dambaan banyak muslimah, pengen dekat denganku. Wuih, serasa melayang saja. Tapi yang mana?’ Dalam hatinya mulai berbunga-bunga sembari senyum-senyum. Sebenarnya Azizah juga menaruh hati pada kedua ikhwan tersebut. Sebab, semua kreteria suami idaman ada pada secarik kertas itu.
Perlahan Azizah membuka foto yang membersamai surat dalam amplop putih itu.

Jantung seolah berhenti sesaat, wajahnya pucat pasi, bibirnya bergetar dan buyar semua angannya. Saat melihat wajah ikhwan yang terselip antara kertas itu, Azizah baru menyadari jika ikhwan yang ingin dekat dengannya itu adalah ikhwan dambaan hati sahabatnya. Ditambah lagi, Iffah sempat menceritakan tersebab hijrahnya bukan lain karna sesosok Hermawan yang memberi syarat agar ngaji terlebih dahulu. Azizah tak bisa membayangkan bagaimana jika Iffah mengetahui hal ini. Terus hijrahnya selama ini bagaimana? Pertanyaan-pertanyaan itu terus terngiang dibenaknya.

“Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah.” Azizah beristigfar.

“Ustazah, gimana ini?” Sambari menggenggam tangan Ustazah dan wajah dipenuhi rasa kekhawatiran.

“Loh, ada apa? Bukannya tadi anti senyum-senyum. Sekarang, kok, terlihat gelisah sekali. Ada yang salah?” tanya Ustazah Mul kaget.
Azizah menceritakan semuanya kepada ustazah Mul, berharap ada solusi yang didapatkannya.

“Tenang dulu dek, jangan ceritakan ke Iffah dulu, ya, persoalan ini. Ini juga baru awal perkenalan, masih banyak proses selanjutnya. Perbanyak ibadah nafilah, jangan lupa salat malam. Mintalah petunjuk kepada yang kuasa. Jika berjodoh pasti tak kan lari” Nasehat ustazah Mul kepada Azizah.

“Sebenarnya Mbak juga sudah tahu hal itu Dek,” lanjut Ustazah Mul semakin membuat Azizah tercengang.

“Iya dek, Mbak tahu juga dari Hermawan, Hermawan berusaha menghindari Iffah. Dan justru menaruh hati dengan adek.” Imbuh Ustzah Mul membuat Azizah semakin terpaku. Tak tahu apa yang hendak dikatakan. Bagai petir menyambar. Apa yang dia lakukan. Kenapa jadinya seperti ini. Azizah menutup kudua mata dengan tangannya. Sembari menarik nafas panjang.

“Hhhuuuuffff. Ya, sudahlah, nanti saya pikirkan dulu ya ustazah.” Dengan tubuh lunglai, Azizah memohon diri pada Ustazah untuk kembali ke rumahnya.

Sesampai di rumah kost, tanpa sepatah kata pun Azizah langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu dari dalam. Iffah yang sedang berdiri persis di depan pintu kamar Azizah merasa keheranan. Ada apa dengan sahabatnya. Setelah pertemuannya dengan Ustazad Mul, sikapnya berubah. Biasa mereka selalu salat bersama dan makan bersama. Hari itu Iffah sallat Maghrib dan Isya sendiri.

*

Tiga pekan sudah semenjak pertemuan itu. Azizah berusaha menjalani hidupnya seperti biasa. Walau terasa luar biasa. Ia berusaha semampu mungkin untuk tidak menceritakan hal tersebut kepada Iffah.
Kajian setiap pekannya berlangsung seperti biasa, tak ada yang berbeda sikap ustazah Mul. Begitu pun sebaliknya. Namun, masih menimbulkan tanda tanya besar diri Iffah yang sama sekali tidak mendapat informasi. Hanya saja Iffah pun tak berani bertanya kepada Ustazah. Walau sudah beberapa kali mencoba bertanya kepada Azizah, tak juga membuahkan hasil.
Selepas salat Maghrib berjamaah dengan Iffah, Azizah bergegas menuju kamarnya mengambil hp yang dari tadi berdering. Saat dibuka, lima panggullan tak terjawab dari Ustazah Mul. ‘Napa lagi, ya?’ batin Azizah. Tak perlu waktu lama, Azizah pun balik menghubungi ustazah Mul.

“Assalamu’alaikum, gimana ustazah?” Azizah memulai pembicaraan.

“Wa’alikumsalam. Afwan Dek, Mbak ganggu waktunya sebentar,” jawab Ustazah Mul.

“Pagi mba hubungi Adek, tapi mungkin lagi sibuk, ya? Mbak Cuma mau nanyain gimana kelanjutannya? Ini sudah masuk pekan ketiga, ya. Kalau mau dilanjutin, Mbak boleh minta data diri Adek juga, ya, sekalian ditulis apa yang disuka dan tidak suka dan apa visi misi dalam berumah tangga,” sambung Ustazah, membuat Azizah terdiam. ‘Aduh, gimana, nih? Persahabatan atau cinta? Batinnya berkecamuk. “Afwan Ustazah, bisa beri saya waktu satu pekan lagi. InsyaAllah saya akan jawab.” Jawab Azizah mantap dan mengakhiri pembicaraan di telepon seluler miliknya.

Sejak saat itu, Azizah benar-benar memikirkan hal tersebut. Ia rajin bangun di sepertiga malam untuk meminta petunjuk agar tidak salah dalam melangkah.

*

Hari yang dijanjikan telah tiba, Azizah sudah mantap dengan keputusan yang ia ambil. Sebelum Azizah bertemu dengan Ustazah Mul, Azizah menemui Iffah yang telah lama dibuat penasaran. Azizah mengumpulkan semua keberanian yang dimiliki. Mengingat Azizah adalah sosok sahabat yang telah lama ia kenal sejak bangku SMA dahulu. Dan Iffahlah yang menjadi sebab hijrahnya Azizah hingga seperti saat ini.

“Iffah, ada sesuatu yang saya ingin sampaikan ke anti,” ucap Azizah pelan sambil menggenggam kedua tangan Iffah.

“Ada apa Izzah, ngomong aja, biasa sajalah, kita kan sudah lama berteman, tidak ada yang aku tutupi darimu,” jawab Iffah meyakinkan.

Akhirnya Azizah menceritakan semuanya kepada Iffah. Namun, tak sampai pada Hermawan yang menghindari Iffah. Iffah hanya bisa menangis sejadi-jadinya. Mengapa seperti ini. Azizah kembali menenangkan sahabatnya tersebut.

“Tenang Iffah, saya sudah memutuskan untuk menolaknya. Jadi anti masih punya harapan,” ujar Azizah bijak.

“Hanya saja, kita perlu untuk bermuhasabah bersama, sebenarnya niat hijrah kita apa? Jangan sampai hanya karna makhluk. Jangan sampai, apa yang kita kerjakan akan menjadi debu yang tiada nilainya. Kita sama-sama perbaiki niat kita, ya. Kita luruskan karna hanya mengharap rida Allah semata. Kita sama-sama tahu Fah, jodoh itu rahasia Allah. Kita menyukai sesuatu dan menganggap itu baik buat kita, tapi belum tentu baik menurut Allah,” sambung Azizah sembari memeluk sahabatnya.

“Bener Zah, saya selama ini sudah keliru. Hijrah hanya karna dia. Belum tentu dia melirik saya. Buktinya dia lebih memilih anti.” Suara pelan Iffah terdengar samar-samar sembari sesunggukan.

“Ett tapi, kenapa kamu menolak? Apa tersebab saya Zah? Kalau itu hanya karna saya, jangan Zah. Kalau anti punya rasa juga kenapa anti nggak lanjutin saja? Aku nggak papa, kok, Zah. Syukron sudah menarikku dari lubang yang amat dalam,” ucap Iffah mulai merelakan dambaan hatinya.

“Nggak, kok, Fah, saya punya alasan tersendiri yang nggak perlu diungkapkan,” jawab Azizah tenang.

Akhirnya Azizah bertemu dengan Ustazah Mul dan menyampaikan apa yang menjadi keputusannya. Meski harus mengubur benih cinta yang tumbuh. Namun, Azizah merasa senang, persahabatan yang lama terbina semakin kokoh. Terpenting baginya, Iffah sudah menyadari kesalahannya selama ini dan bersama-sama mencari keridaan Allah.

Selesai

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 16

Comment here