wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Baru-baru ini Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) meluncurkan dan sekaligus menyerahkan secara simbolis sertifikat tanah elektronik di seluruh tanah air, Senin (04/12/2023). Acara penyerahan ini dipusatkan di istana Negara, Jakarta. Dalam sambutannya, presiden menegaskan bahwa sertifikat tanah elektronik penting dimiliki oleh masyarakat untuk mengurangi segala risiko kehilangan dan kerusakan, serta memudahkan dalam mengelola data. Presiden menegaskan bahwa pemerintah akan terus mendorong percepatan penyerahan sertifikat tanah kepada masyarakat di seluruh Indonesia. Dan pemerintahan menargetkan penyerahan sertifikat tanah pada tahun 2024 mencapai 120 juta sertifikat dari total 126 juta serifikat.
Sebelumnya, Menteri ATR/BPN, Hadi Tjahjanto, juga mengungkapkan keunggulan adanya sertifikat tanah elektronik, yaitu risiko sertifikat palsu dan duplikasi. Selain itu juga bisa melindungi sertifikat dari kejadian bencana alam, seperti banjir, gempa bumi dan lainnya. Upaya negara mengurangi konflik lahan di tengah masyarakat tampak tidak menyentuh akar masalah. Negara seolah tutup mata bahwa problem utama sengketa lahan adalah liberalisasi kepemilikan lahan. Liberalisasi kepemilikan lahan merupakan buah dari penerapan sistem kapitalisme. Inilah yang menjadikan lahan mudah dikuasai oleh para mafia tanah dan dikelola oleh korporasi. Adanya prosedur kepemilikan tanah melalui serifikat tanah tidak mengubah regulasi yang telah disahkan pemerintah tentang syarat pengelolaan tanah.
Sejak sahnya UU cipta kerja warga sangat mudah kehilangan hak kepemilikan lahannya.
Dalam pasal 103 ayat 2 disebutkan “untuk kepentingan umum dan/atau proyek strategis nasional, lahan budidaya pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan”. Lalu, konsep pertumbuhan ekonomi kapitalis yang memperhitungkan investasi, mendorong negara membuka keran investasi sebesar-besarnya bagi pemilik modal. Alhasil, semakin banyak lahan warga yang terancam tergusur.
Negara dalam sistem kapitalisme-demokrasi hanya bertindak sebagai regulator yang tunduk pada kepentingan oligarki. Sejatinya, penguasa yang sebenarnya di negeri ini adalah oligarki. Oleh karena itu, sistem pertanahan yang adil tidak akan pernah terwujud dalam sistem kapitalisme.
Berbeda dengan Islam. Syariat Islam melindungi harta masyarakat termasuk lahan. Islam mengatur skema pemilikan lahan dengan adil. Warga bisa memiliki lahan melalui pemberian hadiah atau hibah, warisan, atau dengan cara membeli. Khilafah juga lumrah membagikan lahan tanah secara cuma-cuma untuk rakyat.
Syariat Islam juga menetapkan warga bisa memiliki lahan dengan cara mengelola tanah mati, yakni, lahan yang tidak ada pemiliknya. Karena lahan yang tidak ada pemiliknya bisa dihidupkan oleh warga dengan cara ditanami atau didirikan bangunan atau sekadar dipagari, maka lahan itu menjadi miliknya.
Tetapi, syariat Islam juga mengingatkan kepada para pemilik lahan agar tidak menelantarkan lahannya. Penelantaran lahan selama tiga tahun akan menggugurkan status kepemilikan atas lahan tersebut. Lahan itu akan diambil oleh Negara dan diberikan kepada pihak yang sanggup mengelola lahan. Hukum Islam seperti ini akan memberikan keadilan bagi para pemilik lahan.
Miftahul Jannah
Aktivis Muslimah
Komunitas Kalam Santun
Views: 17
Comment here