Opini

Seruan Benci Produk Luar Negeri, Efektifkah?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Rayani Umma Aqila

Imbauan cinta produk dalam negeri diserukan dan kali ini ada yang berbeda sebab, ditambah dengan seruan membenci produk luar negeri. Seruan ini datang dari Presiden Joko Widodo yang meminta Kementerian Perdagangan untuk serius membantu dalam pengembangan produk lokal. Sehingga, masyarakat menjadi konsumen loyal dari produk-produk Indonesia. Jika perlu kata Presiden Joko Widodo, gaungkan semboyan untuk benci produk luar negeri dan ajakan untuk cinta produk dari negeri sendiri, bukan hanya cinta tapi juga benci. Cinta barang produk kita, benci barang dari luar negeri,” ujar Presiden Joko Widodo dalam kegiatan Pembukaan Rapat Kerja Nasional Kementerian Perdagangan 2021 di Istana Negara. (Tempo.co 4 /3/ 2021).

Presiden Joko Widodo, juga mengatakan branding harus melekat kuat agar masyarakat Indonesia lebih mencintai lagi produk lokal negara sendiri dibanding produk dari luar negeri. “Karena penduduk kita lebih dari 270 juta jiwa. Ini seharusnya menjadi konsumen yang paling loyal untuk produk dari dalam negeri sendiri. 270 juta jiwa itu pasar yang sangat besar,” ujar Jokowi. Untuk itu, strategi yang tepat untuk mengembangkan pasar menjadi penting. Pusat perbelanjaan harus terus didorong untuk memberikan ruang bagi produk – produk lokal dalam negeri, khususnya UMKM. Seperti di mall, jangan sampai ruang depan diisi brand dari luar negeri. Mereka harus digeser ke tempat yang tidak strategis. Tempat strategis, lokasi yang baik berikan ruang terutama untuk brand lokal.

Seruan benci produk dari luar negeri nampaknya hanya retorika politik untuk memikat hati rakyat sebab dengan memberikan kesempatan bagi UMKN dalam negeri untuk diberi ruang di perbelanjaan lokasi – lokasi strategis untuk branding produk dalam negeri. Dengan tujuan agar produk dalam negeri lebih dicintai dibandingkan produk luar negeri dan strategi ini dipandang sebagai pengembangan pasar produk nasional, ini tentu saja disambut baik oleh masyarakat dari kalangan pengusaha UMKM. Namun, tantangan di era e-commerce atau perdagangan digital tak bisa dielakkan.

Faktanya, impor terus berlangsung dalam jumlah besar dan di sector vital strategis dan kekhawatiran bahwa negeri ini menjadi pasar produk melalui e-commerce pada akhirnya terjadi. Kini produk impor sudah meraksasa di market place. Data dari Bank Indonesia menyebutkan transaksi e-commerce pada tahun 2006 dan tahun 2020 mencapai Rp.255 trilyun bahkan mencapai Rp.337 triliun pada 2021. ( Bisnis.com 24/2/2021).
Pada faktanya produk impor dibanderol miring hingga lebih diminati konsumen. Pada tahun 2009 saja dari LIPI melakukan sebuah penelitian yang hasilnya menyebutkan produsen lokal terancam oleh serbuan produk impor melalui e-commerce di Indonesia. Dan dikuasai 90% oleh produk impor dan sejumlah market place yang beroperasi di Indonesia dan memiliki kerjasama dengan e-commerce global misalnya, Lazada kerjasama dengan TaoBao, Blanja dengan e-Bay, serta JD.id dengan Jingdong. Hal ini produsen di negeri asal mudah menjual langsung ke konsumen. Biaya ongkos kirim menjadi murah hingga gratis untuk barang kecil. Jika dibandingkan produk UMKM harga dan ongkos kirim mereka lebih kompetitif.

Mirisnya, ditengah serbuan produk impor, pengusaha dalam negeri seolah tanpa pelindung, pengusaha tunduk pada ASEAN – CHINA Free Trade Area, yang membebaskan pasar barang masuk ke Indonesia. Penguasa dalam negeri tak mampu mewujudkan iklim bisnis kondusif. Pengusaha lokal dipunguti pajak dan berbagai pungutan hingga harga produk tidak kompetitif, UMKM di lepas bersaing dengan korporasi besar dunia yang tak seimbang. Alhasil pendapatan dari e-commerce hanya dinikmati asing. Maka seruan untuk mencintai produk dalam negeri serta dorongan UMKM memanfaatkan perdagangan digital dalam memenuhi pasar nasional dan internasional tidak cukup untuk menyelamatkan pengusaha dalam negeri. Berbagai kesepakatan Bilateral, Regional dan Internasional tidak cukup menyelamatkan pengusaha dalam negeri. Inilah produk dari penerapan ekonomi kapitalisme yang melahirkan Liberalis perdagangan. Seruan benci untuk produk-produk luar negeri juga tidak diimbangi peta jalan yang sungguh – sungguh memandirikan kemampuan dalam negeri sendiri.

Berbeda ketika perdagangan diatur dalam Islam. Sistem Islam menjalankan perdagangan berdasarkan pelaku perdagangan atau pedagangnya. Abdurrahman Al Maliki dalam buku Politik Ekonomi Islam menjelaskan bahwa perdagangan adalah aktivitas jual-beli dan hukum-hukum yang terkait jual beli dan hukum-hukum tentang pemilikan harta bukan tentang harta. Status hukum komoditi (produk) tergantung pada pedagangnya apakah dia warga negara Daulah Islam (khilafah) ataukah darul kufur. Setiap orang yang memiliki kewarganegaraan Islam maka termasuk warga negara Khilafah meskipun tidak memeluk agama Islam.

Sedangkan setiap orang yang tidak dimiliki memiliki kewarganegaraan Islam adalah orang asing meski dia muslim atau non muslim, agar mendapat sebuah Ri’ayah atau pengurusan Khilafah maka seseorang harus menjadi warga negara Islam. Pedagang merupakan warga negara Islam boleh melakukan perdagangan luar negeri. Mereka harus terikat syariah Islam dalam berdagang misalnya tidak boleh melakukan penipuan, penimbunan menjual barang haram dan hal terlarang lainnya. Pedagang berkewarganegaraan Islam boleh melakukan perdagangan luar negeri atau expor impor tanpa perlu surat izin. Hanya saja jika ada komoditi yang jika diimpor atau diexpor akan berdampak negatif maka komoditi ini jelas dilarang. Sedangkan aktivitas expor impor secara umum boleh dilakukan. Apabila terdapat negara yang sedang berperang dengan Khilafah maka warga negara Islam tidak boleh melakukan kontak bisnis dengan mereka. Demikianlah

Bagaimana islam dan khilafah menjamin sehatnya persaingan usaha, memberi dukungan segala bentuk terhadap pengembangan produk dalam negeri, menolak tekanan global perdagangan bebas dan menetapkan regulasi impor agar tidak menjadi jalan menguasai muslim. Semua aturan terkait Perdagangan ini jika dipraktekkan dalam sistem Khilafah akan melindungi para pedagang dalam negeri Khilafah hingga mereka mudah melakukan bisnis dalam negeri baik expor atau impor sehingga memperoleh kemakmuran.

Wallahu A’lam Bisshowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 3

Comment here