Opini

Setengah Juta Lebih Mahasiswa Putus Kuliah, Tanggung Jawab Siapa?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Hanik Imro’ah

wacana-edukasi.com — Kejarlah cita-citamu setinggi langit. Begitulah pepatah mengatakan. Sebagai generasi penerus bangsa, kalimat pepatah tersebut semestinya menjadi motivasi untuk memiliki cita-cita yang tinggi dan berusaha meraihnya. Biasanya, kebanyakan orang mengukur cita-cita berawal dari jenjang tingkat pendidikan yang diraih seseorang.

Namun, nampaknya untuk mewujudkan cita-cita yang tinggi saat ini terasa susah. Merebaknya pandemi tidak dipungkiri telah berdampak pada sektor pendidikan. Tidak hanya merubah cara belajar yakni dengan menerapkan sistem E-learning from home atau kebijakan pembelajaran dari rumah. Akan tetapi telah membawa dampak banyak generasi yang putus kuliah.

Melansir dari JawaPos.com (16/8/2021), memberikan informasi bahwa jumlah mahasiswa yang putus kuliah di masa pandemi covid-19 lebih dari setengah juta mahasiswa. Lebih akuratnya data, Kepala Lembaga Beasiswa Baznas Sri Nurhidayah dalam peluncuran Zakat untuk Pendidikan di Jakarta secara virtual Senin (16/8). Mengutip data dari Kemendikbudristek, beliau mengatakan sepanjang tahun lalu angka putus kuliah di Indonesia mencapai 602.208 orang.

Sungguh miris! Padahal pendidikan merupakan aspek penting dalam pembangunan suatu bangsa. Bisa dibayangkan bagaimana negeri ini kedepannya jika generasi bangsa tidak mengenyam pendidikan. Lantas, kenapa hal ini terjadi? Bukankah pandemi sudah hampir dua tahun, belum cukupkah waktu bagi negara untuk menyikapi kondisi?

Penyebab Putus Kuliah

Konstitusi telah mengamanatkan bahwasanya pendidikan adalah hak bagi setiap warga negara. Pemerintah pun telah menempatkan pendidikan sebagai salah satu prioritas utama dalam program pembangunan nasional. Bahkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah wajib memenuhi hak warga negara untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

Menyikapi kondisi pandemi, sebetulnya pemerintah telah berupaya melakukan antisipasi. Ya, antisipasi supaya tidak terjadi putus kuliah. Melalui Permendikbud Nomor 25 tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diaturlah mekanisme penyesuaian UKT.

Adapun rinciannya meliputi UKT dapat disesuaikan untuk mahasiswa yang keluarganya mengalami kendala finansial akibat pandemi Covid-19, mahasiswa tak wajib membayar UKT jika sedang cuti kuliah atau tidak mengambil satuan kredit semester (SKS) sama sekali seperti menunggu kelulusan, pemimpin perguruan tinggi dapat memberikan keringanan UKT dan/atau memberlakuan UKT baru terhadap mahasiswa, mahasiswa di masa akhir kuliah membayar UTK paling tinggi sebesar 50 persen UKT jika mengambil kurang dari 6 SKS dan mengenai aturan paling tinggi 50 persen yakni berlaku untuk mahasiswa semester 9 bagi mahasiswa program sarjana dan sarjana terapan (S1, D4) dan semester 7 bagi mahasiswa program diploma tiga (D3). (kompas.com, 27/8/2021)

Selain adanya regulasi yang berubah, bantuan dana untuk UKT pun diberikan. Kemendikbudristek telah menganggarkan dana sebesar Rp745 miliar. Pada bulan September 2021 dana yang diberikan senilai Rp2,4 juta untuk setiap penerima. Adapun bagi penerima bantuan dengan UKT lebih besar dari Rp2,4 juta, maka selisihnya akan menjadi kebijakan perguruan tinggi sesuai dengan kondisi mahasiswa. Sayangnya, semua langkah yang dilakukan pemerintah belum menuai hasil. Angka putus kuliah semakin bertambah.

Sebelumnya, mahasiswa telah menyampaikan aspirasi kepada pemerintah untuk menggratiskan biaya UKT selama pandemi. Tuntutan mahasiswa tersebut tentu ada alasannya. Jika melihat data, hampir 50% mahasiswa yang putus kuliah kebanyakan dari PTS. Wajar saja angka putus kuliah semakin meroket, sudah jamak diketahui publik biaya UKT di swasta lebih mahal daripada negeri.

Setidaknya ada dua faktor yang menjadi penyebab banyaknya mahasiswa putus kuliah.
Pertama, faktor ekonomi. Sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini semakin terpuruk dengan adanya pandemi. PHK dan kesulitan mencari lapangan pekerjaan mengakibatkan deretan panjang problem keluarga. Jangankan untuk biaya bayar kekurangan UKT (jika dapat UKT), untuk makan saja kesulitan. Belum lagi kurangnya fasilitas untuk daring, semakin menambah biaya. Sedangkan negara juga dalam kondisi kesulitan ekonomi. Negara telah terjebak pada jurang yang dalam atas nama investasi. Utang semakin meroket dengan bunga yang tinggi. Padahal jika SDA dikelola dengan tepat, pendidikan mampu digratiskan.
Kedua, faktor sosial. Realitas pandemi yang menimpa masyarakat tentu berpengaruh secara psikologis. Antara pilihan untuk kuliah dengan menyelamatkan nyawa, tentu lebih memilih urusan nyawa. Tidak dapat dipungkiri, mahasiswa yang kuliah saat berada di rumah secara langsung mengetahui apa yang sesungguhnya dialami oleh keluarga dan tetangga sekitarnya. Apalagi adanya syarat dan ketentuan untuk penerima UKT menambah pula kebuntuan pikiran mereka. Walhasil, mahasiswa yang dihadapkan pada realitas kesulitan akan memilih untuk berhenti kuliah.

Oleh karenanya akar persoalan tersebut harus dihilangkan. Umat butuh sistem alternatif sebagai pengganti sistem kapitalisme. Bila tidak, ancaman kehilangan potensi intelektual generasi tentu terbentang luas di depan mata.

Jaminan Pendidikan dalam Sistem Islam

Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur bahwa pendidikan, keamanan dan kesehatan merupakan kebutuhan pokok masyarakat. Wajib bagi negara untuk memberikan jaminan. Dalam hal ini, pendidikan menjadi hak bagi setiap warga negara Islam. Bahkan negara wajib mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan. Bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi sekolah/PT, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya, tetapi negara juga memberikan pelayanan yang optimal dan gratis.

Dengan begitu, tujuan pendidikan dalam Islam seperti terbentuknya kepribadian Islam, penguasaan tsaqofah Islam, penguasaan ilmu terapan seperti sains dan teknologi dan keterampilan yang tepat guna dan berdaya guna akan terwujud.

Pelayanan optimal diberikan oleh negara dengan cara melengkapi sarana-sarana fisik yang mendorong terlaksananya program dan kegiatan tersebut sesuai dengan kreativitas, daya cipta, dan kebutuhan.

Sarana itu dapat berupa buku-buku pelajaran, sekolah/kampus, asrama siswa, perpustakaan, laboratorium, toko-toko buku, ruang seminar-audiotorium tempat dilakukan aktivitas diskusi, majalah, surat kabar, radio, televisi, kaset, komputer, internet, dan lain sebagainya.

Begitu pula jika dalam kondisi extra ordinary, seperti terjadinya wabah Corona saat ini. Negara akan cepat memetakan masalah, tidak menunggu hitungan data namun melihat hitungan per kepala. Daerah yang terkena wabah segera di-lockdown, pendidikan dilakukan dengan daring. Sedang di daerah yang tidak menjadi episentrum wabah dengan testing yang akurat diperbolehkan mengadakan pembelajaran tatap muka.

Secara teknis, negara akan memberikan jaminan langsung seperti sarana untuk daring, sarana prasarana untuk terlaksananya 3T dan 5M dan jaminan kebutuhan pokok untuk makan sehari-hari. Semua langkah tersebut sebagai jaminan pemberian hak publik dalam bidang pendidikan. Hal ini dilakukan karena negara Islam (baca: khilafah) memfungsikan pemimpin sebagai pelayan umat. Sebagimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Bukhari-Muslim:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.”

Demikianlah jaminan pendidikan yang diberikan dalam sistem Islam. Secara empiris, sistem Islam sudah diterapkan selama 13 abad lamanya. Sejarah pun mencatat, puncak kegemilangan peradaban berada di tangan Islam. Banyak ilmuwan muslim seperti Al Jabbar dan Ibnu Sina yang telah meninggalkan jejak hingga masih digunakan saat ini. Kini, tinggal menunggu umat Islam mau atau tidak diatur dengan sistem Islam.
Wallahu A’lam Bi showab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 24

Comment here