Bahasa dan SastraCerpen

Sihir Cinta Zulaikha (Bagian 3)

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Anita Sutrisnawati, S.Pd

“Hos…Hos…Hos…” Napasku terengah-engah.

“Ada apa Bu?” Tanya Bu Siti kebingungan melihatku berlari-lari.

“Ada anak kesurupan Bu, saya takut,” jawabku. Kuambil cangkir teh yang ada di atas meja. Tanganku masih menggigil, hampir saja teh yang ada di cangkir tumpah.

“Ya Allah Bu, sampai sebegitunya.” Salah satu guru mengomentariku. Aku tak perduli, kupejamkan mataku dan kuambil napas dalam-dalam agar lebih tenang.

“Bu Zul, ini kejadian biasa di sekolah kita. Bu Zuh hadapi saja dengan tenang. Jangan panik! Mungkin kedepan Bu Zul akan sering menemukan anak-anak kesurupan.” Bu Minah menepuk bahuku kemudian memberiku nasehat itu.

Oh tidak, apa kabar jantungku jika aku sering menemukan kejadian ini? Bisa-bisa aku menjadi gila karena ketakutan. Mungkin lebih baik aku segera pulang dan menenangkan diri. Tapi tunggu dimana tasku?

Tasku masih ada di kelas. Apakah aku harus kembali? Tidak, aku takut jika Leni yang sedang kesurupan tiba-tiba menyerangku. Aku tak punya ilmu dan pengetahuan apapun tentang dunia ghaib kecuali apa yang kudapat di dalam Al-Qur’an yang pernah dijelaskan oleh ustadz Fakih.

“Bismillahirrahmanirrahim…” Kulantunkan ayat-ayat ruqyah untuk melindungi diriku dan menenangkan diriku. Ku baca berkali-kali Al-Fatihah, Al-ikhlas, Al-Falaq, An-Nas, dan ayat kursi sampai hatiku tenang.

Sepuluh menit kemudian, seorang siswa laki-laki membawakan tasku. Alhamdulillah, aku sangat berterimakasih kepadanya. Tetapi entah mengapa dadaku bergemuruh kembali saat ia mendekatiku. Apa karena si tampan ini telah menolongku? Atau karena ia adalah siswa yang telah dikalahkan oleh anak didikku, si Aldo? Sepertinya tak nyambung. Entahlah rasanya aneh saat ia mendekat.

“Terimakasih nak,” ucapku datar. Senyumnya kemudian mengembang. Masyaallah, kedua lesung pipit di pipinya yang terukir indah membuatnya nampak semakin manis. Rontok hati saya jendral.

“Sama-sama Bu. Lain kali hati-hati dan baca doa dulu sebelum masuk kelas!” Mataku terbelalak mendengar nasehatnya, aku ingat tadi belum sempat mengucap doa penakluk makhluk Allah sebelum masuk kelas. kacau sekali hari ini.

“Saya permisi Bu. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam,” ucapku. Aku masih terpaku melihat sosoknya yang semakin menjauh kemudian menghilang di balik tembok.

*

Setelah sholat Maghrib aku duduk di samping paman. Bibi Runi membuat kudapan di dapur.

Kusampaikan apa yang alami hari ini kepada paman. Mulai kejadian pagi hari, insiden sakit perut hingga anak-anak kesurupan.

Paman terdiam, ia memegangi jenggot tipisnya. Dahinya berkerut, seperti memikirkan sebuah persoalan serius.

“Zul, bisa kau cerita kejadian sebelumnya?”

Aku mencoba untuk menceritakan bagaimana tanggapan siswaku terhadap kedatanganku, bagaimana tanggapan guru-guru, caraku mengajar, tak lupa juga prestasi pertamaku menyulap anak-anak kelas buangan menjadi juara.

Mendengar penuturanku paman menganggukkan kepala. Agaknya ia bisa memahami titik terang beberapa persoalan aneh yang kuhadapi seharian ini.

“Zul, agaknya kamu terlalu baik, terlalu memikat, dan terlalu cepat populer. Sehingga banyak pihak yang mungkin terusik dengan kehadiranmu.”

Aku mendongak memandang paman, memasang muka dan kuping dengan benar. Takut salah dengar.

“Apa salah saya paman? Saya hanya ingin membantu anak-anak, membimbing mereka mengerti pelajaran. Memperbaiki kondisi mereka dalam berprestasi. Saya lillahi ta’ala paman.” Mulutku ‘nyerocos’ tak terkontrol membela diri. Pamanku hanya tersenyum.

“Kamu tak salah, cuma keadaan belum memihak padamu. Kamu sedang diuji untuk menunjukkan ketangguhanmu.”

Apalagi yang dimaksud paman ini? Aku tak memahaminya. Kalimat pertama sudah sulit kutelan, ini datang lagi kalimat yang serupa.

“Betul kamu tak salah. Cuma Allah ingin mengujimu dengan segala kelebihan yang kamu miliki. Paham?” Paman melihatku dengan tatapan teduhnya.

“Kamu punya pegangan apa nduk?”

“Ha, pegangan? Apalagi yang paman maksud?” Aku tak mengerti apa yang dimaksud pegangan. Bukannya pegangan seorang muslim adalah Al-Qur’an dan As-sunah? Apa yang dimaksud paman seperti keris, akik, atau pusaka lainnya?

“Pegangan amalan dzikir nduk untuk melindungi diri,” ucap paman.

Aku memandang lama dengan seribu pertanyaan. Aku tak mengerti amalan atau dzikir tertentu untuk melindungi diri kecual Al-fatihah, Triqul (Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas), dan ayat kursi.

“Begini nduk, hamba Allah ini banyak jumlahnya. Muslim atau muslimah itu sendiri jumlahnya juga banyak. Nah, kalau kita ingin cepat dilihat oleh Allah harusnya ada sesuatu yang menonjol ‘yang unik dan istimewa’ dari diri kita. Seperti Bilal yang selalu menjaga wudlu dan sholat sunnah sesudah wudlu, Abdurrahman bin Auf yang sangat dermawan, atau Siti Khadijah yang mengorbankan semua harta dan dirinya di jalan Allah.”

“O… Maaf paman, saya tadi sempat su’udzon. Saya kita pegangan seperti keris, akik, atau benda pusaka lain.”

“Astaghfirullah,” ucap paman. Kulihat paman menepuk dahinya.

Aku terdiam, kemudian bernapas dalam-dalam. Selama ini tak pernah terpikirkan olehku untuk menjadikan diriku menarik dihadapan Allah dengan menjalankan salah satu amalan tambahan atau Nafilah disamping amalan-amalan wajib biasanya. Agar Allah segera melihatku dan menolongku dalam situasi apapun.

“Zul, kamu harus punya amalan atau dzikir yang menjadikanmu istimewa dihadapan Allah, agar pertolongan Allah dekat denganmu. Termasuk saat dalam hal-hal yang ghaib seperti yang sudah kamu alami hari ini. Ingat Zul, Allah itu juga ada di dimensi ghaib. Dialah penguasa alam ghaib. Tak akan ada sesuatu yang menimpamu kalau Allah gak ridha.” Aku menganggukkan kepala. Betapa diri ini sangat lemah dan naif.

“Zul!”

“Ya paman.”

“Jangan lupa nyari jodoh, biar gak dikejar-kejar orang saja.” Aku menelan ludah mendengar kalimat terakhir yang diucapkan paman.

“Kaya artis saja paman,” jawabku asal.

“Hmmm, kayaknya ada yang suka kamu juga Zul di sekolah.” Jantungku hampir keluar mendengar suara paman. Pernyataan yang paling tak kusukai adalah cepat cari jodoh, cepat kawin, atau kok gak nikah-nikah.

“Dari mana paman tahu?”

“Ya dari ceritamu Zul.”

“Memang paman punya ilmu menerawang hati manusia?” Kataku asal saja.

“Pengalaman Zul.”

Aku membuka mulutku hingga berbentuk huruf O. Kukira paman punya ilmu laduni atau ilmu membaca hati dan pikiran orang, ternyata dari pengalaman.

Malam ini sebelum tidur aku kembali mengingat apa-apa yang disampaikan oleh kakak ibuku. Beliau selalu bijak, tenang, dan ‘dalam’ ketika menganalisis sebuah masalah dan memberikan solusinya. Beruntung sekali yang menjadi istri dan anak-anaknya.

Amalan apa yang kira-kira disukai Allah? Aku tak tahu, kucoba untuk membaca kisah para sahabat Rasulullah. Benar, mereka masing-masing punya amalan tambahan yang menjadikan mereka istimewa. Seperti istimewanya Umar bin Khattab yang begitu hati-hati dalam melaksanakan perintah Allah, sampai-sampai setan saja lari terbirit-birit melihat Umar.

Kuambil air wudlu kemudian shalat taubat dan shalat hajat dua rakaat. Kubenamkan diri dalam sujud memohon ampun, kebaikan, pertolongan, dan perlindungan Allah atas diriku dalam menghadapi kenyataan hidup yang kadang tak pernah datar. Setelah itu aku tidur.

*

Seorang wanita tua berambut hitam, mukanya keriput pucat, dan berbaju serba putih menghampiriku. Aku tak tahu siapa dia. Dia seperti hendak menyerangku. Tetapi belum sempat ia menyentuhku seorang lelaki berlesung pipit dan berkumis tipis menarik tanganku dan mengajakku berlari hingga tak terkejar oleh wanita tua tadi.

Setelah ada di suatu tempat yang gelap seperti di sebuah hutan di kaki gunung kami berhenti. Aku menatapnya, aku seperti mengenalinya. Namun, sebelum aku sempat berterimakasih ia sudah menghilang.

Napasku tersengal-sengal. Rasanya berlari dengannya tadi sangat cepat dan jauh. Kakiku terasa pegal dan tenggorokanku terasa haus. Aku berusaha meraih botol yang berisi air disebelahku, akan tetapi tak berhasil hingga kulihat cahaya putih terang dipelupuk mataku.

“Alhamdulillah hanya mimpi,” ucapku pelan. Tapi entahlah aku menjadi haus betulan. Kuambil botol air minum di mejaku. Setelah berdoa meluncurlah butiran H2O ke dalam tekak kemudian membasahinya dan menghilangkan dahaga.

*

“Bismillahilladzi laa yadhurru ma’asmihi syai-un fil ardhi wa laa fis samaa’ wa huwas samii’ul ‘aliim.” Sebelum masuk kelas kubaca terlebih dahulu doa ini, aku tak mau terjadi lagi fenomena kesurupan seperti di kelas XI kemarin.

Kulangkahkan kakiku hati-hati masuk ke kelas XII IPA-1Kelas ini sebenarnya bukan kelasku, tetapi karena Bu Emma sedang diutus untuk mengikuti MGMP di kabupaten, tentu akulah penggantinya.

Suasana kelas ini sangat berbeda dengan suana kelas yang lain. Jika aku masuk ke kelas XII IPA-3 atau XII IPA-4, yang akan ku jumpai pertama kali adalah riuh ramai celoteh anak-anak. Akan tetapi di kelas ini sangat berbeda. Kelas ini sangat tenang, setenang perpustakaan kota. Mereka sibuk membaca buku atau mengerjakan tugas. Ah, memang beda kelas unggulan dengan kelas buangan.

“Assalamualaikum,” sapaku menghidupkan suasana. Anak-anak terbengong dengan kehadiranku. Entah apa yang merasuki pikiran mereka, mereka hanya tertegun melihat penampilanku dengan khimar menjuntai panjang. Tidak ada tawa ceria, tidak ada pandangan bahagia, dan tidak ada pujian kekaguman seperti di kelasku biasanya. Apakah aku yang terlalu narsis sodara?

“Waalaikumsalam,” siswa lelaki yang bernama Ridho terlihat cukup terkejut saat aku duduk di depannya. Jujur aku sendiri juga terkejut, bagaimana aku bisa konsentrasi jika dia ada didepanku. Rasanya jantungku sudah mulai berdegup kencang. Aneh, ada sedikit rasa bahagia melihatnya.

Untuk menghindari salting di depannya, aku melangkah ke tengah. Ku buka kelas dengan menjelaskan kepada anak-anak bahwa guru Fisika mereka sedang berhalangan hadir, dan dua jam perlajaran ke depan mereka akan belajar bersamaku.

Mengajar kelas ini sangat berbeda dengan kelas lainnya. Kujelaskan sedikit saja tentang hukum kekekalan energi dan beberapa rumus lengkap dengan cara menurunkannya mereka sudah mengangguk paham. Satu jam selanjutnya tinggal tanya jawab dan mengerjakan soal latihan. Benar-benar damai mengajar di kelas unggulan.

Ketenangan anak-anak dalam mengerjakan soal latihan tiba-tiba terganggu dengan suara riuh ramai siswa yang ada di luar kelas. Mereka terlihat berhamburan menuju kelas X.

“Ada apa lagi,” tanyaku dalam hati. Aku pun ikut berjalan ke pintu untuk mengintip.

“Bu, jangan keluar nanti ibu takut!” ucap Ridho. Kalimatnya sontak membuat seisi kelas mengarahkan pandangannya kepadaku.

“Memangnya kenapa?” protesku.

“Paling juga ada yang kesurupan,” ujarnya santai.

“Ya Rabb, ini sekolahan atau padepokan? Mengapa setiap hari ada saja yang kesurupan?” Kataku pelan.

“Biasa saja Bu, kalau pikiran sedang kosong bawaannya begitu.” Salah seorang siswa berkata tenang. Mereka terlihat sangat terbiasa dengan kejadian seperti ini.

Meskipun sebenarnya aku sangat takut dengan kejadian seperti ini, rasa penasaranku tinggi juga. Kucoba melihat apa yang terjadi dari depan kelas.

“Innalillahi,” aku sangat terkejut dengan empat anak yang ada di depan kelas X. Masih-masing dari mereka berpose seperti patung, dewa-dewi yang biasa kita lihat di candi.

Satu orang berpose seperti Dewi Sri, yang lain seperti mirip ratu Kendedes. Sedang dua siswa yang lain aku tak tahu posenya mirip siapa aku tak hapal. Yang jelas ia duduk bersila dengan dua tangan disatukan di depan iku hati.

“Mengapa tak ada yang menolong mereka?” Kulihat dari jauh tak ada satupun guru yang mendekat pada kerumunan mereka. Apa kejadian ini terlalu biasa sehingga guru-guru tersebut malas? Atau, tak ada guru yang mampu mengatasinya.

Jiwa penyayangku memberontak melihat mereka mematung, tanpa ada satu orang pun yang menolong. Aku bergegas mendekati mereka.

Aneh, beberapa langkah lagi aku sampai kepada mereka mulai terasa hawa yang sangat panas. Sepertinya hawa panas itu berusaha masuk ke dalam tubuhku.

“Bu Zul Jangan mendekat!” Suara Ridho terdengar jelas dari belakang.

“Ya Allah.” Aku melihat seperti kabut hitam mendekatiku. Tubuhku terpental ke belakang. Ridho yang ada di belakangku segera menarik tubuhku, seketika bayangan hitam tadi menghilang. Napasku menderu tak menentu.

“Bu Zul, saya tadi sudah bilang ibu jangan keluar kelas!” Aku meliriknya.

“Kurang adab dirimu!” Dengan ketus kuucapkan kalimat itu.

“Bu Zulaikha belum begitu mengerti tentang magic dan dunia jin. Saya khawatir ibu menjadi korban.”

Apa yang dia bicarakan? Mengapa dia bisa berkesimpulan seperti itu.

“Ibu, dunia jin meskipun tak kasat mata ini benar-benar ada. Ibu bisa melihat sendiri bagaimana pengaruh mereka saat menguasai manusia.” Ridho mengarahkan telunjuknya kepada mereka berempat.Ridho benar, mereka berempat terlihat seperti patung kaku dan mampu tak bergerak sama sekali dalam waktu yang cukup lama.

“La hawla wa laa quwwata Illa billah.” Aku menggelengkan kepalanya menyadari keberadaan yang disampaikan Ridho. Dunia jin memang ada meski tak bisa tertangkap oleh mata.

“Siapa yang akan menolong mereka?” tanyaku padanya.

“Biasanya satpam akan memanggil pawang atau orang pintar, nanti dialah yang akan menyelesaikannya.”

“What?” Mataku membulat. Menyerahkan masalah ini pada mereka bukannya sebuah aktivitas syirik?

Dua orang lelaki berbaju hitam-hitam datang bersama satpam sekolah. Ia duduk diantara keempat siswa yang sedang kesurupan. Kedatangan dua orang lelaki tersebut membuat salah satu siswi mengeluarkan suara seperti ‘mak lampir’ yang sedang tertawa.

Salah satu diantara dua lelaki tersebut mengeluarkan sebuah keris kecil kemudian mencelupkannya ke empat gelas bergantian. Saat ia mulai membaca mantra-mantra kuputuskan untuk kembali ke kelas. Ini aktivitas yang tidak boleh kusaksikan dengan sengaja. Ilmuku tentang dunia ghaib tak banyak, aku khawatir jatuh kepada kesyirikan.

Netraku menerawang jauh, kuputar ulang segala kejadian aneh yang kualami sejak beberapa hari yang lalu. “Ya Allah, hamba beriman pada-Mu dan kepada yang ghaib.

“Bu Zul, jangan begong nanti kesurupan.” Ridho mengingatkanku dengan berbisik.

Aku melihat kepadanya kemudian tersenyum. Kukatakan kepadanya, “Dunia ghaib benar-benar ada, meskipun mata tak bisa melihat, telinga tak bisa mendengar, hidung tak bisa mencium baunya, dan kulit tak bisa meraba keberadaannya.” Ridho hanya tersenyum mendengar kalimatku.

Setelah seluruh siswa mengumpulkan tugas mereka aku kembali ke ruang guru. Setumpuk buku tugas juga kubawa serta.

“Bu Zul, boleh saya bantu.” Ridho menunjuk tangannya pada tumpukan buku yang ku bawa.

“Cie-cie…” Suara beberapa anak terdengar heboh saat aku memberikan tumpukan buku itu kepada Ridho. Aku tak ambil pusing bagiku biasa saja.

(Bersambung)

*

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 27

Comment here