Bahasa dan SastraCerpen

Sihir Cinta Zulaikha 

blank
Bagikan di media sosialmu

By: Anita S.

“Perkenalkan nama saya Zulaikha. Saya biasa dipanggil Bu Zul. Saya lahir dan besar di kota bunga. Senang berada diantara bapak dan ibunya guru sekalian.”

Perkenalan singkatku dengan bapak dan ibu guru SMA “R” tempatku baruku ditugaskan berlangsung sederhana tetapi cukup hangat. Aku sengaja tak membuka kesempatan untuk terlalu banyak tanya jawab, kecuali perkara-perkara yang standar. Setelah berkenalan aku langsung menuju tempat duduk yang telah disediakan untukku.

Aku berusaha mematuhi apa yang disampaikan pamanku. Di kota ini sebagai wanita single alias belum menikah aku tidak boleh terlalu berlemah lembut aku juga tidak boleh terlalu arogan. Aku harus mengambil sikap biasa saja alias tengah-tengah atau moderat. Bagiku tak ada masalah selama tidak bertentangan dengan akidah Islam.

“Bu Zul, cepat ke kelas XI! Anak-anak sudah mulai gaduh.” Pak Sandi sebagai Waka kesiswaan mengingatkanku. Aku pun bergegas menuju ke kelas XIB. Sebelum melangkahkan kaki ke kelas tak lupa kuucapkan satu lafadz dzikir yang pernah diajarkan ustadzku untuk menundukkan hati manusia maupun binatang yang ada di muka bumi.

“Bismillahiladzi laa yadzurru ma’asmihi walaa fissama’i walaa file ardhi wahuwasami’ul alim,” ucapku pelan. Kulangkahkan kakiku ke dalam kelas. Saat aku memasukinya tiba-tiba kelas menjadi senyap. Anak-anak duduk rapi di bangkunya masing-masing. Entah karena doaku atau karena yang masuk adalah guru baru.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Aku mengucapkan salam dan memberikan seyum termanisku kepada mereka. Aku berpikir aku adalah guru baru, jangan sampai mereka melihatku dengan muka jutek karena tak ada senyuman atau wajah yang ramah dari mukaku.

“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” Mereka menjawab serentak.

Aku memperkenalkan diri kepada mereka sebagai guru Fisika. Pelajaran keren yang bisa membuat para siswa jaman sekarang mabuk darat, laut, dan udara. Selama mengajar pelajaran ini aku tak perlu jaim sebab watak asli pelajaran ini telah membuat anak-anak hormat dan menjaga jarak denganku. Tapi aku bukan tipikal bu guru yang jual mahal terhadap ilmu yang dimiliki. Aku sangat menyukai mendatangi mereka satu persatu lalu duduk di antara mereka dan mendiskusikan kesulitan-kesulitan mereka.

Dengan metode ini 60% siswaku bisa menguasai konsep dasar fisika. Aku pun tak perlu repot-repot ‘ngaji’ (ngarang biji = merkayasa nilai) saat penilaian akhir semester nanti.

“Kring….” Bel istirahat berbunyi. Anak-anak mengeluh karena jam studi telah berakhir. Momen yang langka bukan? Menjumpai anak-anak betah pada saat mata pelajaran memahami, menghapal, dan menghitung ini.

“OK anak-anak silahkan dirapikan buku dan alat tulisnya. Untuk hari ini ibu tidak memberi PR, kita lanjutkan saja pada pertemuan yang akan datang. Wassalamu’alaikum.” Aku melangkah keluar kelas. Udara di sekitar sekolah ini sangat segar. Ditambah lagi hari ertamaku masuk kelas tergolong sukses. Sukses menyihir mereka untuk tertarik belajar fisika.

“Bu Zul, apakah ibu nanti akan masuk ke kelas kami?” Seorang siswa menghentikan langkahku. Penampilannya sangat rapi. Ia nampak seperti seorang siswa berprestasi. Semoga aku tak salah mengira.

“Hmm, kamu kelas berapa?” Harap maklum jika guru baru belum tahu satu-persatu siswanya.

“Saya kelas XII IPA-1,” Ucap siswa tersebut. Aku mencoba mengingat-ingat jadwal yang diberikan pak Rio Waka Kurikulum. Sayang sekali, selain pada pelajaran Fisika ingatanku sangat buruk. Guru juga manusia dan tetap saja sumbernya salah dan lupa.

“Maaf, Bu Zul belum menghafal jadwal pelajaran. Kulihat dulu ya di kantor.” Entah mendapatkan info dari mana, siswa tadi menginginkanku masuk kelasnya. Jangan-jangan dia mengintipku saat mengajar tadi, sehingga dia suka dengan gaya mengajarku. Hiya, sepertinya aku terlampau percaya diri. Aku harus melihat fakta dengan jelas baru menyimpulkannya.

“Bu Zul ada jam di kelas kami setelah istirahat.” Setelah mengingatkanku siswa tersebut membalikkan badan dan menuju ke kelasnya. Ia nampak sangat riang.

“Bu Zul, apakah Bu Zul mengajar kelas XII? ” Seorang siswa menghentikan langkahku lagi. Posturnya tinggi besar. Rambutnya hitam bergelombang, matanya coklat muda, kulitnya kuning Langsat, dan hidungnya tajam. Siapapun yang memandangnya pasti akan jatuh cintrong.

“Iya nak, tetapi Bu Zul hanya kebagian dua kelas kelas XII IPA-3 dan XII IPA-4,” ucapku kepadanya.

“Yah, bu Zul tidak mengajar di kelas kami. Bu Zul justru mengajar kelas buangan.” Ia nampak kecewa dengan jawabanku. Ada apa sebenarnya dengan guru fisika sebelumnya? Mengapa mereka begitu bahagia menyambutku?

Aku mengerutkan alisku dan menggelengkan kepala. Tak banyak yang kutetahui tentang sekolah ini dan orang-orang yang ada di dalamnya.

Mengingat istilah kelas buangan. Saraf otakku mulai bekerja cepat, mencari tahu mengapa disebut demikian. Kupikir oang pertama yang bisa kumintai informasi adalah pak Rio. Ia pasti tahu seluk beluk nak-kanak children di sini. Kutemukan pak Rio sedang mengobrol dengan beberapa orang di teras. Setelah mengucapkan salam aku bertanya kepadanya. “Pak Rio, memang ada kelas buangan di sekolah ini?”

Pak Rio mengangkat alisnya. Ia membalikkan tubuhnya membelakangi teman-teman guru yang sedang berbincang-bincang sambil ngopi.

“Kelas buangan? Mungkin kelas XII IPA 3 dan XII IPA, Bu?” Jawaban pak Rio tepat seperti yang kupikirkan.

“Mengapa disebut kelas buangan pak?” Aku semakin penasaran dengan istilah ini.

“Bu, setiap semester sekolah ini dibuat peringkat paralel mulai untuk seluruh kelas. Untuk rangking 1-30 ditempatkan di kelas A. Peringkat 31-60 ditempatkan di kelas B sisanya di kelas C dan D.” Mataku terbelalak mendengar penjelasan pak Rio.

“Untuk apa pak dijadikan seperti ini? Apakah tidak menimbulkan kesenjangan sosial dengan anak-anak?” Pak Rio tersenyum.

“Kata bapak kepala sekolah ini untuk mencari bibit-bibit unggul yang akan diikutsertakan dalam olimpiade atau lomba.” Aku mengangguk, inilah alasan mengapa mereka menyebut kelas XII C dan XII D adalah kelas buangan. Tetapi, apapun yang terjadi mereka juga berhak mendapatkan pembelajaran yang baik dari kami para guru.

Setelah puas dengan penjelasan pak Rio, aku masuk ke kantor. Sebuah kotak kecil berisi makan siangku kuletakkan di meja. Kusantap makan isi kotak tersebut perlahan.

“Wow Bu Zul bawa bekal.” Seru seorang guru perempuan yang berbaju biru. Aku tak tahu namanya siapa, tak mudah bagiku menghapal nama-nama guru dalam satu kali tatap muka.

“Eh iya Bu, saya suka cerewet soal makanan. Jadi lebih aman saya bawa bekal dari rumah.” Aku melihatnya memincingkan mata melihatku makan. Mungkin apa yang kulakukan terbilang aneh dan langka.

“Bu Emma yuk ngemie ke pak Sunar!” Ajak seorang guru muda kepada wanita tadi.

Lelaki tersebut berdiri kemudian mengambil kunci sepeda. Berberapa guru meminta tolong untuk dibelikan mie ayam juga ke warung yang disebut. Dari percakapan mereka aku jadi paham kebiasaan guru-guru yang ada disini. Pantas saja mereka memicingkan mata melihatku membawa bekal.

“Bu Zul gak nitip juga?” Guru lelaki yang dipanggil pak Leo tersebut menghampiriku.

“Oh, tidak pak terimakasih. Saya sudah membawa bekal.” Aku melanjutkan makan siangku.

Mereka berdua ruang guru menuju ke warung mie ayam. Setelah menghabiskan bekalku aku pergi ke kamar mandi membuang hajat dan mengambil air wudhu. Sayangnya orang yang ada di dalam kamar mandi terlalu lama ada disana. Karena tak tahan dengan pergolakan diperut bawah, aku segera pergi ke mushola. Di sana ada beberapa kamar mandi, mungkin aku bisa mendapatkannya dengan cepat.

Setelah membuang hajat dan berwudhu aku keluar dari kamar mandi. Akan tetapi alangkah terkejutnya diriku saat melihat beberapa siswa lelaki berdiri di pintu masuk area kamar mandi. Mereka terbelalak melihat kehadiranku, aku pun juga demikian. Ada apa dengan mereka? Kupandangi mereka satu-persatu. Aku juga heran mengapa kamar mandi di moshola sekolah ini bercampur baur antara lelaki dan perempuan?

“Ibu kok di kamar mandi laki-laki?” Aku mengenali pemilik suara. Ia adalah siswa yang bertanya kepadaku sebelum istirahat tadi.

“Apa?” Aku mendongakkan kepala, mencari papan yang bertuliskan “Toilet Pria”. Sayang aku juga tak mendapatkannya.
.
“Mana tulisan toilet pria?” Aku bertanya kembali kepadanya. Ia terdiam, tak memberi alasan. Siswa tersebut menoleh kepada temannya.

“Maaf Bu, tulisannya rusak. Belum kami ganti.” Siswa yang dipanggil John menjawab pertanyaanku sambil menggaruk-garuk kepala.

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Wajah saja jika salah masuk. Tidak ada petunjuk toilet laki-laki atau perempuan. Adapun penghuni sekolah ini tentu sudah sudah paham mana toilet laki-laki dan perempuan. Karena kenyataannya aku yang salah paham, kulangkahkan kakiku keluar menuju tempat shalat.

Selepas shalat perasaanku tidak enak. Sepertinya tadi aku membawa celana ganti, sebagai persediaan jika celana yang kupakai kotor. Akan tetapi celana itu tak ada di tasku. Aku khawatir jika tertinggal di kamar mandi lelaki.

Dengan tergopoh-gopoh aku kembali ke kamar mandi laki-laki. Berharap sekali celana ganti tersebut masih ada di sana. Beberapa siswa laki-laki yang ada di kamar mandi tercengang melihatku masuk.

“Permisi, minggir-minggir! Bu Zul mau mengambil barang yang tertinggal.” Aku segera masuk saja ke kamar mandi yang kupakai tadi. Mataku menyusuri isi kamar mandi. Melihat setiap sudutnya. Zonk, aku tak menemukan celana panjang coklat. Aku mencoba menanyakan kepada beberapa siswa barangkali ada di antara mereka yang mengetahui celana pendekku.

Setiap siswa yang kutanya menggelengkan kepala. Mereka tak melihat celana pendek yang bisa kupakai inner hijabku. Oh tidak, apa yang harus kulakukan? Pikiranku menjadi kalut gara-gara celana tertinggal. Aku takut jika celana itu dijadikan sebagai alat untuk jampi-jampi. Kok jadi su’udzon ya?

Aku ingin menangis tetapi tak bisa. Sebenarnya kehilangan celana adalah hal biasa, tetapi yang menjadi masalah adalah aku mengajar di salah satu kota yang terkenal ilmu magicnya. Horor bukan?

Aku berusaha meyakinkan diri bahwa segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa kehendak Allah. Tugasku hanya berusaha dan berdoa. Semoga Allah tak menurunkan musibah atau bala’ karena kelalaiaku hari ini.

“Assalamualaikum,” sapaku kepada anak-anak kelas XII C.

“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, selamat datang bu Zul!” Wow, mereka sudah mengenaliku. Mereka juga sangat antusias menerima kedatanganku.

Kupandangi mereka satu persatu. Bukan mau mencari celanaku, tetapi sekedar memberi antantion sebelum pelajaran dimulai. Ekspresi mereka macam-macam ada yang cemberut, ada sumringah, ada yang cueks saja, ada juga yang sangat bersemangat penuh harapan. Namun yang paling dominan adalah sumringah dan penuh harapan.

Aku mengeluarkan beberapa lembar kertas pre-test yang sudah kupersiapkan. Soal-soal yang tertulis di dalamnya adalah alat ukur untuk mengetahu sejauh mana mereka memahami materi fisika.

Melihat kertas berisi soal-soal mereka membelalakkan mata dan menelan ludah. Pandangan mereka ke arah tanganku seperti melihat tuyul yang menakutkan.

“Ini adalah pre-test, soal-soalnya tidak sulit. Mudah-mudah kok, kalian isi sesuai kemampuan. Gak perlu takut salah karena tidak ibu masukkan ke dalam rapot.” Tak ketinggalan seulas senyum ku sertakan setelah penjelasan agar mereka tidak tegang.

“Alhamdulillah,” jawab mereka serentak sambil mengelus dada.

Kubagikan kertas-ketas tersebut. Kupastikan tak ada yang tertinggal. Ini adalah instrumen pentingkah dalam mengajar agar aku bisa memberikan pendekatan sesuai dengan kemampuan mereka.

30 menit kemudian satu persatu dari mereka mengumpulkan jawaban. Hasilnya bermacam-macam. Ada yang menjawab tepat, ada yang menjawab hanya 50%, ada juga yang hanya menuliskan kata ‘ngeblank Bu’. Kupikir kelas ini sangat beragam kemampuannya hanya sedikit yang mendapat nilai A. Wajar jika mereka menjuluki kelas buangan.

Ku keluarkan mekanik kit yang kubawa dari kantor. Aku melakukan beberapa percobaan seputar pembiasan cahaya oleh lensa, cermin, dan prisma segitiga. Mereka sangat antusias, bermacam-macam pertanyaan terlontar dari mulut mereka. Aku sangat bahagia melihat antusiasme mereka yang sangat besar. Tak terasa dua jam berlalu dan bel pergantian pelajaran telah meraung-raung.

“Yah sudah bel,” ucap mereka serentak.

“Minggu depan lagi ya,” ucapku.

“Bu Zul, kita boleh les privat?” Tanya Aldo yang duduk di dekat jendela.

“Tidak boleh,” jawabku pendek.

“Kenapa Bu?” Tanya Tasya yang duduk di depannya.

“Bukan mahram, kalau berkelompok baru boleh.” Sontak mereka sibuk berbicara sendiri dengan sesama mereka.

“Bu, kami mau les privat kelompok. Tapi khusus penghuni kelas IPA 3 saja. Bisakah Bu?” Rendi menghampiriku menyampaikan aspirasi beberapa temannya.

Aku terdiam sebentar, ada permasalahan apa antara mereka dengan kelas lainnya? Mengapa mereka tidak mau ada kelas lain? Sementara pertanyaan belum terjawab, melihat mereka antusias kuiyakan saja. Mungkin sambil jalan aku bisa mengetahuinya. Kuminta mereka datang kerumaku malam Minggu. Sekalian saja mencegah mereka berbuat maksiyat di malam itu, ya Khan?
*
“Assalamualaikum.” Suara siswaku terdengar kompak dari luar pagar.

“Waalaikumsalam.” Bibi Runi menengok siapa yang ada di luar. Ia keheranan melihat empat remaja berdiri di pagar. Bibi Runi menghampiri mereka.

“Cari siapa?” Tanya bibi Runi keheranan. Anak-anak itu mengulum senyuman mereka kepada bibi Runi.

“Kami mencari Bu Zul.” Ucap pemuda berbaju biru. Dengan celana jeans dan kemeja biru, Aldo terlihat sangat tampan. Tak ada yang mengira ia siswa kelas tiga. Tampangnya sudah seperti eksekutif muda.

“Oh…” Bibi Runi mengamati mereka. Anak-anak muda yang tampak seperti mahasiswa. Wajar lah karena mereka juga calon mahasiswa.

“Silahkan masuk!” Satu persatu dari mereka masuk ke halaman membawa motornya. Setelah memarkir motor mereka duduk di teras.

Aku bergegas mengambil jilbab dan khimar kemudian menuju teras depan. Mereka telah duduk manis di teras.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, anak-anak kita buka dulu forum belajar kita dengan membaca basmalah!”

“Bismillahirrahmanirrahim,” jawab mereka serempak.

Kuminta anak-anak mengeluarkan buku panduan dan catatan mereka. Kumulai pelajaran tambahan malam ini berdasarkan informasi awal yang kudapat dari hasil pre-tes beberapa hari yang lalu. Meskipun mereka berkelompok tetapi urusan pembelajaran saya memakai metode privat. Kecepatan materi sesuai kemampuan masing-masing. Di akhir pembelajaran saja aku satukan pemahaman mereka dengan pos-tes.

Mereka berempat sangat khusyuk. Saat kucoba untuk mengintip jawaban mereka ternyata mereka mampu mengerjakannya dengan benar. Kupikir otak mereka sebenarnya ‘encer’ tapi entah mengapa mereka berada di kelas buangan?

Setelah kubagikan hasil post-tes sejenak mulut mereka menganga.

“Tas, kok gue jadi pinter?” Aldo menepuk punggung Tasya namun matanya masih fokus pada lembaran yang ia pegang.

“Bener gaes, kok gue bisa dapat seratus? Seumur hidup gue, baru kali ini nilai fisika dapat seratus.” Nindia mematung melihat angka satu dikuti dua angka nol di lembar tesnya.

“Gaes, apa kita tidak sedang bermimpi?” Rendi memukul pipinya. “Gaes, apa kita genius? Mereka berempat masih tak percaya dengan kenyataan malam ini.

“Bu Zul, apa kami cukup pintar?” Tasua mendongakkan kepalanya menghadapku.

“Memangnya kalian terlalu bodoh ya?” Sontak mulut Tasya menganga.

“Kami pikir kemarin begitu bu Zul.” Tasya menggaruk-garuk kepalanya.

“Bu Zul kalau semua guru cara mengajarnya seperti Bu Zul pasti kami bisa mendapat peringkat sempurna,” puji Rendi.

“Sebenarnya bukan salah bapak ibu guru sepenuhnya sih. Kalian terlalu tergesa-gesa memiki persepsi gak bisa. Jadinya Allah ngasih kenyataan sesuai dengan perasangka kalian deh. Coba kalau kalian punya perasangka ‘Aku pasti bisa’ lalu kalian mau serius dikit belajar, pasti deh Allah bakal ngasih apa yang kau mau.” Mereka menatapku tak berkedip. Halo, apakah mereka terkesima dengan kalimat-kalimatku?

“Berarti kita gak boleh menjustifikasi kita bodoh ya Bu?” Aku meringis mendengar ucapan Nindia. Heran juga di usia segitu belum ngerti bagaimana menata paradigma berpikir.

Rasanya puas pake banget saat melihat siswaku mampu mengerjakan tugas tanpa harus mengeluarkan jurus hitung kancing yang berlanjut dengan jurus mencontek atau cocokologi. Jadi bahagia melihat mereka bisa merobohkan dinding penghalang prestasinya.

“Nanti jangan lupa nyampek rumah shalat isya lalu shalat sunah dua rakaat. Bersyukur kepada Allah atas prestasi hari ini.” Tak lupa aku menyampaikan dakwah ringan kepada mereka.

“Biar apa Bu?” Tanya Rendy polos.

“Biar ditambah nak kepintaranmu,” ujarku.

“Betul Bu?” Tasya menghentikan langkah kakinya kemudian berbalik menghadapku.

“Betul, lain syakartum la-azidannakum, wa laa in kafartum Inna adzaabi lasyadid. Jika kamu bersyukur (atas nikmat-Ku) maka akan aku tambah, jika kamu ingkar maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.”

“Siyap grak,” jawab Aldo dan Rendi bersamaan.

(Bersambung)

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 24

Comment here