Bahasa dan SastraCerpen

Sihir Cinta Zulaikha

blank
Bagikan di media sosialmu

By: Anita S

[Bu, ada apa?]
Kubaca pesan darinya. Heran juga kenapa dia bisa merasakan ada sesuatu yang kusembunyikan.
Kubalas dengan mengirimkan emoticon mulut dikunci.
[Hmm, saya kerumah ibu ya?] Aku membelalakkan mata.
[Gak boleh!]
[Kenapa Bu?]
[Bukan mahram]
[Dengan Tasya?]
[Gak boleh!]
[Why?]
[Kamu nanti berkhalwat, dosa!]
[Saya akan kerumah Bu Zul]
[Nanti malam saja saya akan share lokasi dimana saya berada, kalau kamu ingin ketemu harus tepat waktu!]

Aman, aku telah mengamankan Ridho dan kawan-kawan agar tidak menemuiku sekarang. Aku ingin membereskan semua barang-barang dengan leluasa. Aku juga ingin punya waktu lebih lama dengan paman dan bibi yang sudah berbaik hati menampungku selama disini.

Setelah semua baju dan beberapa barang-barang kumasukkan kedalam koper besar aku keluar ke ruang tengah untuk mengobrol bersama paman dan bibiku, mendengar petuah bijaknya di hari terakhir aku ada disini. Aku pasti akan sangat merindukannya.

*

Keretaku berangkat jam 22.00. Sebelumnya berangkat, sehabis isyak kuajak paman dan bibi makan malam disalah satu restoran yang terkenal ikan bakarnya. Makanan favoritku selama disini.

Selesai makan paman langsung mengantarku ke stasiun. Aku tiba di stasiun saat pukul 20.30 malam. Biarlah aku lama menunggu, ini lebih baik dari pada aku ketinggalan kereta.

Aku masuk diruang tunggu, sedangkan paman dan bibiku hanya bisa mengantar sampai pintu peron. Kulambaikan tanganku pada mereka berdua.

Di bangku besi panjang aku duduk menunggu kereta datang. Setelah menata barang bawaanku barulah kubagikan lokasi dimana aku berada kepada Ridho. Tak berselang lama pesanku bercentang biru.

[Stasiun?]
[Ya. Keretaku berangkat jam 22.00. Jangan lupa bawa teman!]
[Berangkat]

Apa aku sudah gila memberi kesempatan kepada Ridho untuk datang? Sebenarnya ada apa dengan hatiku? Lucu, jangan sampai ada rasa cinta kepada muridku sendiri.

Kulirik jam dinding kuno yang menempel di atas pintu. 30 menit lagi kereta akan datang, mungkinkah anak itu akan sampai tepat waktu? Bocah, mengapa aku bisa memikirkanmu?

“Bu Zul.” Suara beberapa siswa terdengar dari balik jendela kaca. Kubalikkan badanku, mereka datang berlima. Aku senang sekali bisa melihat mereka sebelum kereta datang.

Kulambaikan tanganku, “Maaf, Bu Zul tidak membuat pesta perpisahan. Bu Zul juga tidak bilang kepada kalian jika Bu Zul akan kembali ke kota kelahiran. Terimakasih dan mohon maaf atas segala khilaf. Semoga kalian bisa menggapai apa yang kalian cita-citakan.”

Kulihat Tasya dan Nindia terisak. Air matanya mengalir deras. Maafkan aku anak-anak. Suka atau tidak suka perpisahan ini pasti terjadi, toh kalian sebentar lagi lulus dan pasti meninggalkan sekolah untuk berpindah ke jenjang selanjutnya.

Rendi dan Aldo juga terlihat diam menahan air mata agar tak jatuh. Tapi tunggu dimana si pemilik lesung pipit?

“Bu Zul.”

Jantungku hampir saja copot melihat Ridho sudah duduk di sebelahku. Dasar gila, bagaimana dia bisa masuk dengan mudah. Tapi hatiku sepertinya bahagia.

“Eit tunggu, duduk disitu jangan bergeser! Ingat, kita bukan mahram.” Ucapku saat Ridho menggeser posisinya.

“Ada apa?” Tanyaku datar, aku tak berani menatapnya. Kutahan semua rasa yang membuncah di dada.

“Bu, tolong menghadap kepadaku!” Ini dia yang kuhindari.

“Bu Zul.” Maaf aku terpaksa tak menghiraukanmu nak.

“Bu Zul, saya suka kepada ibu.” Tanpa dikomando kepalaku secara reflek menoleh kepadanya. Seulas senyuman mengembang dari bibirnya, lesung Pipit yang indah terukir di kedua pipinya.

Segera kupalingkan muka saat terjadi sesuatu dengan pandangan mataku. Kuingatkan hatiku pada kewajiban menundukkan pandangan. Meski disana ada kebahagiaan laksana bunga-bunga bermekaran di musim semi, aku tetap harus menjaga pandangan.

“Bu Zul?”

“Pantaskan dulu dirimu jika benar-benar menyukaiku. Aku tidak mau pacaran. Jika nanti kau sudah selesai memantaskan diri untukku temui aku di rumah orang tuaku.

Aku tak boleh menghindari lelaki seperti kemarin-kemarin. Namun aku juga tidak boleh memberikan pepesan kosong kepada mereka. Aku harus mulai membuka hatiku pada makhluk yang bernama lelaki.

Benar apa kata paman, aku tidak boleh keterlaluan dalam menghindari lelaki. Agar mereka tak terlalu kecewa sehingga menjadikan mereka berniat buruk kepaku. Terbukti, kulihat siswaku merenung. Tangannya memegang sebuah bingkisan kecil. Mungkin itu untukku.

Sorot lampu kereta telah nampak dari kejauhan. Aku berdiri untuk bersiap-siap. Kulambaikan tanganku pada empat sekawan yang memandangiku dari balik kaca, juga pada paman dan bibiku yang masih menunggu disana.

“Zulaikha, aku pasti akan menjemputmu.” Meski sangat terkejut ia memanggil namaku tanpa kata ‘Bu’, kubiarkan saja dia memanggilku sesukanya. Mungkin ia sedang dalam kondisi emosional. Toh sebentar aku tak akan bertemu dengannya. Kecuali jika memang ada jodoh, meskipun nanti akan terdengar lucu, “My teacher my love”.

Aku berdiri menuju pintu kereta yang telah terbuka. Sebelum masuk kubalikkan badan terlebih dahulum, ada satu hal yang ingin kusampaikan kepadanya.

“Satu lagi, lepaskan semua kekuatanmu yang berhubungan dengan jin dan setan. Aku senang jika kau menjadi muslim kaffah.” Ia termangu, dengan ragu-ragu ia berikan bingkisan kecil yang sejak tadi ada ditangannya.

“Terimakasih,” sekali lagi kulambaikan tangan kepadanya dan kepada mereka yang ada dibalik jendela ruang tunggu kereta.

Lega rasanya hatiku, kutinggalkan dia bersama segala kenangan di sekolah. Aku akan melanjutkan kehidupanku seperti semula sebelum ada di kota ini.

*

Kadang jika ingat aku ingin tertawa, bisa-bisanya aku punya kisah yang menegangkan sekaligus indah di sekolah itu? Padahal baru beberapa bulan.

Tiga setengah tahun berlalu. Ada banyak hal yang berubah dari diriku. Nomer satu tentu usiaku, sejalan dengan usiaku kematangan berpikir dan bertindak juga lebih baik. Aku pun bukan lagi gadis emosional yang tak bisa menutupi setiap wujud manifestasi naluri.

Saat ini aku mengajar di sekolah khusus para calon hafizah. Pengalamanku berhubungan dengan dunia jin ‘tempoe doeloe’ membuatku berpikir untuk mencari tempat kerja yang layak dan ramah wanita beriman. Tanpa jin dan jun, tanpa kasus cemburu buta apalagi sampai berbuat dzalim pada sesama.

Sore ini aku ada janji dengan kak Amerta. Kakak tingkatku yang berencana untuk mengenalkanku pada sepupu suaminya. Sebenarnya aku malas melakukan ta’aruf setelah empat kali yang selalu berakhir dengan kegagalan. Rata-rata mereka memutuskan untuk tidak lanjut ke jenjang selanjutnya dengan alasan tidak mantap. Meskipun demikian, kupaksakan untuk tetap berta’aruf yang kesekian kalinya sebagai sebuah bagian dari ikhtiar untuk mendapatkan jodoh terbaik dari sisi-nya.

Pukul 16.00 aku sampai dirumah makan “Seruni”. Kak Amerta tiba terlebih dahulu dengan suaminya. Hadir pula seorang lelaki yang berusia sekitar tiga puluh tahun bersama mereka.

“Assalamualaikum,” sapaku kepada mereka.

“Waalaikumsalam, ” jawab mereka serempak.

Saat duduk dihadapan mereka, perasaan tak nyaman kembali hadir. Persis seperti ta’arufku sebelumnya. Aku seperti punya feeling, ta’aruf ini tidak akan lanjut. Entah ini perasaan putus asa atau apa? Aku tak tahu, yang jelas sangat tak nyaman.

Tatapan lelaki yang bernama Fatih tersebut sangat intens. Tak pantas rasanya lelaki beriman memandang wanita yang bukan mahramnya dengan pandangan demikian. Jujur, semakin lama aku merasa semakin tidak nyaman. Seandainya ia bukan sepupu suami kak Amerta, aku pasti sudah melarikan diri.

“Bu Zul…” Aku menengok ke kiri dan ke kanan. Panggilan khas ini hanya milik mantan muridku dulu. Sebab murid-muridku sekarang lebih suka memanggilku dengan nama panjangku.

“Bu Zul.”

Seorang perempuan berambut pirang mendekatiku. Wajahnya sangat cantik, putih, dan glowing. Rasa-rasanya aku mengenalnya. Tiba-tiba ia menarik tanganku lalu menciumnya.

Pemandangan yang pasti membuat siapapun iri melihatnya. Seorang gadis cantik dengan penampilan bak model iklan kosmetik mencium tangan seorang wanita berkerudung panjang. Hatiku sungguh bahagia, menjumpai siswaku yang masih mengingatku.

“Kamu siapa?” Kucoba memutar kembali ingatanku tiga setengah tahun yang lalu. Sebab wanita dihadapanku ini pasti salah satu siswiku dari SMA “R”, satu-satunya sekolah umum yang pernah kujejakkan kakiku.

“Tasya Bu.” Aku menutup mulutku yang terbuka lebar. Benarkah dia Tasya yang satu SMA dengan Ridho ‘siswa fenomenal yang paling kukenang’?

“Ibu kangen,” Ia memelukku erat. Ketiga kawanku yang duduk di meja nomer 15 nampak tertegun melihat kami berdua. Hi…hi… Aku bahagia, sepertinya aku akan punya alasan untuk menghindari pertemuan dengan lelaki itu.

“Bu Zul, Tasya mau foto.” Gadis cantik tersebut mengedipkan satu matanya. Dengan alasan menemui muridku SMA sebentar, aku berpamitan kepada kak Amerta. Merdeka, pekikku dalam hati.

*

POV Ridho

[Hallo, bro]
[Waalaikumsalam,]
[Iya maaf lupa, Assalamualaikum]
[Bro, hidupin kameranya. Ubah setingan ke video call]
[Tasya cantik, gue lagi banyak pekerjaan. Nih toko mau tutup]
[Udah dho, ubah dulu setingan ke video call!]
[Ogah, ntar gue lihat rambut lo yang kayak rambut singa. Dosa tau!]
[Ih pak haji, mentang-mentang masih muda sudah pergi haji sok suci lo]
[Gue tutup telponnya!]
[Lo bakal menyesal kalau gak mengubah setingan telpon Lo. Lihat, gue sama siapa?]

Perasaan gue sedikit tidak nyaman. Tasya tak pernah sekalipun berbohong meskipun tampilannya bak Miss Indonesia. Kira-kira siapa yang ditemuinya.

Perlahan gue ubah setingan telepon menjadi video call. Gue sangat terkejut, gugup, sekaligus bahagia melihat wajah yang muncul di layar ponsel.

“Zulaikha?” Wajah wanita itu tetap ayu tak berubah.

*

“Bu Zul, lihat siapa yang ada di layar!” Aku mematung melihat lelaki muda yang ada dilayar ponsel Tasya. Senyum manis itu tak berubah. Lesung pipit itu pun masih ada. Apakah Allah memang menyiapkan lelaki itu untukku?

Dadaku berdegup kencang tak karuan. Tapi tunggu bagaimana kabar dunia jin dan jun yang pernah digelutinya? Seperti apapun baiknya dirinya, jika masih berurusan dengan dunia itu aku tetap tak bisa menerima. Perjuanganku melepaskan diri dari belenggu mereka terlalu berharga jika ia masih menggelutinya.

“Assalamualaikum, Zulaikha.” Tidak sopan, dia menganggil dengan namaku lagi. Tapi anehnya aku senang, dan kurasa pipiku merona.

“Waalaikumsalam,” Aku tak sanggup menatapnya meski hanya didepan kamera. Kumatikan panggilan Tasya kepada Ridho. “Nakal!” Kukembalikan HP Tasya lalu kucubit kedua pipinya. Aku kesal dengan ulahnya.

“Tasya, Bu Zul masih ada janji. Nanti bu Zul hubungi jika sudah selesai. Tulis nomer Bu Zul yang baru!” Kusebutkan dua belas nomer cantik yang sudah kuhapal diluar kepala.

“Bu, Foto dulu!” Tasya merengek seperti anak kecil. Aku sendiri tak menolaknya. Setelah bergaya didepan kamera Tasya, aku menenteng tas tanganku untuk kembali bergabung dengan tamuku.

“Ibu sedang apa?” tanya Tasya polos.

“Bu Zul sedang mencoba untuk ta’aruf nak.” Jawabku pelan sambil mencubit dagunya yang menggemaskan.

“Ta’aruf itu yang mau nikah secara syar’i itu ya Bu?” Tanyanya polos.

“Hmmm, ta’aruf itu hanya kenalan saja. Tetapi memang dalam rangka ikhtiar untuk mencari jodoh. Sudah dulu ya, nanti kita sambung lagi.”

Kutinggalkan Tasya yang terbengong-bengong. Aku tak sempat menanyakan apa yang ada dipikirannya. Aku bergegas untuk bergabung kembali dengan mereka. Tak enak juga kabur terlalu lama.

Setelah berdiskusi ringan aku berpamitan untuk pulang. Hari semakin gelap, aku tak suka berada di tempat seperti ini sendirian.

Tiga hari kemudian, ayahku menerima seorang tamu. Katanya namanya Fatih. Di luar dugaan ia berani juga datang untuk berkenalan dengan orang tuaku. Ibuku datang ke kamarku, ia memintaku untuk keluar menemuinya.

Aku berkata apa adanya kepada ibuku bahwa tak ada sedikitpun kecenderungan hati ini kepadanya. Ibuku melihatku dengan tatapan “melas”. Mungkin beliau sangat kecewa karena disaat ada lelaki yang datang menanyakan anak gadisnya, sang anak tidak menggubrisnya.

“Bu, nanti kalau yang datang namanya Ridho aku mau menemuinya.” Kucoba menghibur ibuku dengan menyebut satu nama yang pernah mengutarakan isi hatinya. Lelaki muda yang saat itu masih berstatus sebagai siswaku.

Setengah jam kemudian terdengar suara mobil berhenti di halaman. Aku tak terlalu memperhatikan siapa saja tamu ayahku. Aku sudah mengunci ibuku dengan sebuah clue. Jika yang datang namanya bukan Ridho aku tak mau menemuinya.

“Zul…Zul..” Ibuku berjalan dengan cepat ke kamarku kembali.

“Zul, itu yang datang namanya Ridho. Apa dia yang kamu tunggu Zul?”

“Hah?” Aku seperti tak percaya pada apa yang baru disampaikan ibu. Tapi dimana akhlakku jika tak percaya pada apa yang disampaikan ibuku sendiri?

“Zul kamu gak bercanda khan? Anaknya masih muda sekali. Mungkin usianya sekitar 23 atau 24 tahun.” Aku tersenyum mendengar keterangan ibuku.

“Ibu jangan kaget, itu siswa SMAku dulu. Ia memang pernah mengungkapkan kalau menyukaiku. Waktu itu aku bilang kalau serius kuminta ia datang ke rumah ayah sesudah memantaskan diri untuk meminangku, karena aku tak mau pacaran.” Ibuku menganggukkan kepala.

“Kalau begitu kamu jangan keluar, sampai salah satu diantara keduanya undur diri dari hadapan ayahmu.” Sepertinya ibuku merencanakan sesuatu. Entahlah apa itu, aku lebih suka menjadi penonton saja untuk saat ini.

Mengapa demikian? Karena hatiku sendiri sedang kebat-kebit antara iya dan tidak. Biarlah kedua orang tuaku yang menguji kualitas kedua lelaki itu.

Lama sekali ibu, ayah, dan kedua lelaki tersebut bercakap-cakap. Aku yang menjadi penonton sekaligus pendengar setia dari jauh terkantuk-kantuk. Begitu lamanya hingga aku tertidur di sofa ruang tengah.

Saat membuka mata aku hanya melihat satu mobil berplat L terparkir di depan rumah. Aku tak tahu mobil itu milik siapa. Seperti kata ibuku aku diminta untuk menunggu sampai salah satu diantara mereka pergi. Tak lama kemudian ibuku memanggilku dengan nada menggoda, “Zul, dicari muridmu.”

“Ya Allah benarkah yang engkau sisakan untukku adalah muridku?”

“Aaaaaa…” Aku menutup kedua mukaku dengan tangan, saat kusadari aku akan menikah dengan muridku sendiri yang usisnya terpaut tiga tahun di bawahku.

*
(Tamat)

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 41

Comment here