Oleh: Nadia Fransiska Lutfiani S.P ( Aktivis Muslimah, Pegiat Literasi Islam )
Wacana-edukasi.com — Pandemi menghantam telak kekusutan kondisi berbagai negeri. Wabah ini menggoyahkan berbagai sektor dari politik, ekonomi bahkan sosial, yang paling berimbas dari krisis ini adalah buruh, pemilik usaha kecil, dan pekerja sektor informal.
Tidak terkecuali beban kaum buruh atau pekerja perempuan kian berat. Pekerja perempuan terutama ibu rumah tangga kritis bukan karena terpapar virus, tapi karena kelelahan mengerjakan semua peran bersamaan .
Apalagi setelah disahkan RUU-Ciptaker berhubungan dengan pekerja, terutama perempuan terkait ijin cuti. Dilema buruh perempuan hari ini, disamping keterbatasan dan mendesaknya kebutuhan karena seretnya ekonomi menjadikan mereka terjun mencari nafkah salah satu dari sekian banyak alasan yang mewakilinya.
Dalam salah satu laman terkutip dari seorang buruh perempuan “Saya sudah bilang ke HRD, saya punya riwayat endometriosis jadi tidak bisa melakukan pekerjaan kasar seperti mengangkat barang dengan beban berat,” itulah salah satu ungkapan yang disampaikan oleh pekerja buruh pabrik. Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Diahhadi Setyonaluri mengungkapkan tenaga kerja perempuan dianggap lemah, karena tenaga yang terbagi dengan pekerjaan domestik rumah tangga, hal itu menyebabkan sering ijin tidak bekerja. Bahkan menjadi penilaian tersendiri saat rekrutmen dengan nilai plus bagi perempuan yang belum menikah atau bahkan menyelesaiakn kontrak dengan tidak menikah terlebih dahulu (theconversation.com, 19/12/2020)
Betapa berat beban perempuan. Peran ganda menjadi beban yang teramat berat untuk dilakoninya. Kemana kaum perempuan harus berlabuh ? Bertahan dengan kehidupan ditengah sistem kelabu atau adakah sistem / solusi jitu ?
Anomali Kesejahteraan dibalik Aturan Demokrasi
Tentu tidak sebanding dengan fitrah perempuan yang memang memiliki perbedaan mutlak dari beberapaa sisi dibanding laki-laki. Namun apakah ini menjadi masalah sehingga muncul solusi kesetaraan? Adakah solusi mutakhir mengakhiri ini semua, dan mengembalikan lagi perempuan pada fitrahnya ?
Hari ini kita hidup dibawah naungan demokrasi dengan dalih kebeebasan dan aturan manusia, atau kedaulatan ditangan rakyat. demokrasi lahir dari asas kapitalisme atau manfaat dan untung rugi dengan kata lain jalan kompromi, asal bisa jalan menguntungkan. Maka tidak heran aturan dan kebijakan yang lahirpun tidak jauh dari konsep tersebut.
Asas kapitalisme bermula dari pemisahan agama dan kehidupan atau
sekuler. Bahkan untuk masalah buruh perempuan pun tidak jauh dari asas yang diembannya tidak lain kantong pemasukan tetap aman, perputaran ekonomi tetap stabil sekalipun rakyat sebagai korbannya.
Hari ini kita menyaksikan dilayar hiburan manapun, perempuan ibarat dijadikan ajang komoditas menguntungkan. Namun apakah dengan membiarkan perempuan berkiprah dimanapun menjadi solusi penilain yang mengangkat derajat kaum perempuan ? alih-alih mampu mengangkat nasib perempuan, justru menjadi racun yang kian mengukuhkan ketakmungkinan menyelesaikan persoalan perempuan.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan aturan hari ini menjerumuskan perempuan semakin jauh dari fitrah penciptaannya, masuk ke dalam jurang jahiliah. Betapa tidak? Kondisi kaum perempuan saat ini seperti perempuan di masa jahiliah, walau secara apa yang terlihat tidak sama persis.
Anomali Kesejahteraan dibalik Aturan Demokrasi
Islam tidak hanya berupa agama ritual, mengurus ibadah dan kerohanian semata. Namun diturunkan sebagai penyempurna lengkap dengan aturan-aturannya bagi semua umat didunia. islam layak dijadikan Sebagai sebuah sistem atau pedoman kehidupan.
Islam memiliki aturan yang komprehensif yang menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi siapa pun, termasuk perempuan. Hanya sistem Islam yang memberi solusi universal Yakni pandangan yang melihat perempuan sebagai bagian dari masyarakat, artinya mempunyai peran juga dipublik.
Laki-laki dan perempuan keberadaan keduanya di tengah-tengah masyarakat tidak ada perbedaan, peran yang sama yaitu sebagai khalifah fiil ardh atau mengatur urusan dibumi. Kedudukannya sebagai manusia atau makhluk ciptaanNya tidak lain yakni beribadah kepada Allah Al-Khaliq.
Adapun tentang peran perempuan, dalam buku nizham islam dijelaskan terkait sistem sosial bahwa hukum asal seoarang perempuan adalah ibu dan pengatur rumah tangga kehormatannya wajib dijaga. Hak dan kewajibannya terpenuhi.
Fitrahnya adalah sebagai ummu madrasatul ‘ula dan ummu warrabatul bayt, berperan membina, mengatur dan menyelesaikan urusan rumah tangganya. Peran yang istimewa bukan hanya bahagia didunia, keberhasilan peran tersebut menghantarkan bahagia diakhirat. Sungguh mulia peran utama perempuan.
Dalam islam perempuan diberi ruang untuk masuk dalam kehidupan umum, berkiprah dalam aktivitas yang dibolehkan, dalam mu’amalah / berdagang, pertanian perindutrian, bahkan qadhi—Khalifah Umar mengangkat Syifaa’ sebagai qadhi hisbah.
Adapun aturan pemenuhan kebutuhan bertujuan perempuan tidak berhak menjadi pemenuhan nafkah dirinya. Islam telah diatur syariat dengan berbagai strategi. Pertama, laki-laki atau suami bertanggung jawab atas nafkahnya. Kedua jika laki-laki tidak mampu menafkahi diserahkan ke ahli waris perempuan. Ketiga jika ahli waris tidak mampu maka negara yang bertanggung jawab penuh.
Kehidupan sosial dalam islam khalifah akan mengatur dan mengurusi penuh kebutuhan rakyat, mengatur hak umum untuk dikelola negara dan keuntungannya sebagai pemasukan negara untuk rakyatnya.
Penerapan syariat Islam secara kaffah oleh negara secara konsisten atas tanggung jawab penguasa serta penjagaan/pengawasan yang ketat inilah menghantarkan kemaslahatan hidup sebagaimana yang Allah janjikan.
Terterapkannya syariah islam bukan hanya bagi perempuan namun umat secara keseluruhan yang berada dalam naungan kepemimpinan Islam dengan syariatnya. Inilah gambaran syariah Islam memuliakan perempuan, kebahagiaan dan kesejahteraan hakiki yang didambakan.
Wallohualam bishowab
Views: 51
Comment here