Oleh. Nadia Ummu Ubay (Pendidik, Muslimah Semarang)
wacana-edukasi.com, OPINI– Hampir 10 Juta Penduduk Indonesia generasi Z berusia 15-24 tahun menganggur atau tanpa kegiatan berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS).
Fenomena maraknya pengangguran atau tanpa kegiatan (not in employment, editing, and training/NEET) di kalangan Gen Z menjadi ancaman serius bonus demografi menuju Indonesia Emas tahun 2045. Berdasarkan data justru yang termasuk pengangguran adalah daerah perkotaan. (Kompas.com, 24/05/2024)
Menurut laman yang sama, Jumat (24/5), Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan pengangguran berusia muda tersebut kebanyakan lulus SMA atau perguruan tinggi. Faktor utama penyebabnya adalah kurang sinkron antara pendidikan dengan permintaan tenaga kerja, atau minimnya lapangan pekerjaan termasuk di sektor formal. Peluang masuk pasar kerja formal kian sulit di Indonesia meskipun untuk para fresh graduate.
Kapitalisme Tidak Bisa Meriayah Generasi
Bonus demografi harusnya menjadi peluang besar untuk negara dan generasinya. Wacana Indonesia Emas tentu bisa menjadi sebuah capaian harapan. Namun kenyataannya justru tidak dalam pekerjaan, tidak dalam pelatihan, bahkan tidak dalam pendidikan. Sehingga apa yang bisa dilakukan? Ditambah tidak ada wadah atas potensi dan kesempatan generasi muda ini.
Di tengah kasus UKT yang tinggi, meski beberapa pembahasannya akan ditunda, namun ditelisik lagi agaknya para lulusan perguruan tinggi ini juga tidak terjamin. Mereka masih disulitkan dengan peluang lapangan pekerjaan. Bagai makan buah simalakama, dilema sepanjang hidupnya. Sudah mahal-mahal mengeluarkan biaya pendidikan setelah lulus tidak dapat apa-apa, kecuali nestapa. Ini memang yang dicetak oleh negara secara sistemik. Menjadikan manusia pamrih, menginginkan imbal balik, keuntungan atas biaya yang sudah dikeluarkan.
Kehadiran bonus demografi ternyata tidak mendapatkan uluran tangan baik dari pemerintah. Sebab pemerintah sendiri kewalahan mengurusi negerinya. Miris memang jika kehidupan diatur oleh manusia atau yang berkepentingan saja.
Belum lagi persyaratan lowongan pekerjaan yang terbilang menyusahkan. Lowongan pekerjaan yang tidak setara dengan output yang dimiliki generasinya. Sehingga hasilnya adalah ketimpangan.
Boleh dikatakan negara gagal menciptakan lapangan kerja sekaligus mengurusi generasinya. Di sisi lain perlu ditelisik pula kebijakan negara terhadap asing, adanya investor dan pekerja asing yang mendapatkan wadah. Lalu kemana rakyat lokal mengadukan nasibnya?
Ketimpangan dan kesalahan tupoksi dalam negara seperti ini terbawa dari landasan dalam aturannya. Negara demokratis dengan peluang pasar bebas yang dibuka lebar, sehingga negara justru banyak kecolongan dan ditipu habis-habisan.
Rakyatnya tidak mendapatkan apresiasi, wadah, dan fasilitas mumpuni. Justru asing yang dari luar dijamu seperti raja. Lihat saja bagaimana persaingan pasar lokal dengan barang import yang ada. Lagi-lagi produk lokal dipaksa kalah saing. Rakyat lagi menjadi kesusahan. Sudah berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri dengan peluhnya ternyata dihantam habis dengan kebijakan negaranya.
Belum lagi semua sumber daya alam yang tersedia tidak bisa dinikmati begitu saja. Banyak kekayaan alam namun mengapa rakyatnya tidak kaya. Letak pengelolaan yang tidak tepat menjadikan rakyatnya justru korban atas kekayaan alam negara. Kekayaan negara tidak lagi dimiliki umum yang diatur negara, namun menjadi milik asing. Negara hanya berpangku tangan saja. Walhasil tidak memiliki pendapatan kecuali tidak seberapa dari keuntungan atas perjanjian izin pengelolaannya.
Negara mengapa seolah pilih kasih, miskin papa? Ada negara dan pemimpinnya, namun rakyat tidak merasa diurusi. Memang ini yang jelas nampak. Bagaimana ketika sebuah negara berdiri di atas slogan dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat. Agaknya rakyat yang berkepentingan saja. Sebab selama ini yang dirugikan rakyat jelata, bukan rakyat kelas kakap. Mereka semakin untung dan berjaya saja.
Slogan demokrasi tidak lagi mampu mengurusi rakyat. Tidak bisa diharapkan lagi memang. Rakyat harus memahami akar masalah ini memang karena sistem yang diterapkan dalam negara. Ya, sistem kapitalisme demokrasi adalah sumber segala kerusakan dan permasalahan.
Negara tidak akan mau susah dan rugi untuk mengatur rakyatnya, karena sudah rugi duluan sebelum mengatur. Transaksi antar negara dan rakyat hanya berdasar untung rugi. Inilah cikal bakal kerusakan sesungguhnya, kapitalisme demokrasi. Kebebasan dan untung-rugi semata.
Islam Menjaga dan Mengatur Generasi Gemilang
Sudah tidak ada wadah, tidak ada riayah pula. Pilu sekali nasibnya. Sedih tak berkesudahan. Bagaimana penyelesaiannya?
Islam memiliki cara pandang yang khas. Islam seharusnya bukan menjadi keyakinan semata namun juga menjadi pengaturan kehidupan manusia dalam negara.
Islam memang sudah hilang di benak umatnya kecuali dalam ibadah, tidak dengan syariatnya. Padahal solusi semua permasalahan adalah dari Allah Ta’ala.
Permasalahan nasib generasi harus didudukkan. Mulai dari pengelolaan negara dalam kepemilikan. Termasuk dalam hal ini, ada tiga hak milik yang diatur oleh negara dengan sistem Islam. Yaitu hak milik pribadi, hak milik umum, dan hak milik negara.
Hak milik pribadi adalah semua warisan, hadiah, atau gaji kerjanya. Hak milik umum adalah kepemilikan sumberdaya alam yang dikelola negara untuk keuntungannya kembali ke rakyatnya. Hak milik negara adalah kekayaan negara dari pos-pos pemasukan negara, jika di dalam Islam maka ada khazraj, fa’i, ghanimah, pajak cukai perbatasan, dll.
Sudah jelas kepemilikan lalu ditegaskan dengan politik pemerintahan, ataupun politik dalam-luar negeri negaranya. Sistem Islam menghendaki negara menjadi berwibawa dengan syariatnya. Negara tidak mudah melakukan perjanjian dengan asing, dimaksudkan agar tidak terdikte oleh negara asing.
Bahkan dalam Islam yang seharusnya menyediakan lapangan pekerjaan adalah negara secara optimal. Bagi laki-laki balig khususnya. Sebab lelaki balig dalam Islam memiliki tanggungjawab besar sebagai pencari nafkah diri dan keluarganya. Negara membantu menuntaskan peran tersebut. Sedangkan perempuan diperbolehkan bekerja sesuai bidang yang tidak menggerus fitrahnya sebagai seorang istri dan ibu.
Lapangan pekerjaan akan mudah dan jelas serapan tenaga kerjanya. Jelas pula tidak akan merugikan rakyat dengan aturannya. Negara tidak akan bermudah-mudah memberikan hak istimewa kepada asing.
Pendidikan generasi juga dibekali dengan kemampuan mumpuni. Pendidikan dalam negara dengan sistem Islam. Tujuannya jelas untuk mencetak generasi berkepribadian Islam tinggi. Akidah Islam ditanamkan dalam kurikulumnya, dengan metode talqiyan fikriyan. Metode ini mengaitkan fakta dengan keagungan pencipta. Tumbuh rasa syukur dan takut kepada pencipta. Sehingga ketundukan kepada syariat akan mudah dilakukan.
Peserta didik dibekali pula dengan mata pelajaran sesuai jenjang usia dan keterampilan khusus. Sehingga memiliki skill yang sempurna. Tidak menjadi generasi berpangku tangan.
Pendidikan pun tidak dikomersialkan. Pendidikan gratis untuk semua rakyatnya dengan fasilitas penuh dan memadai untuk menunjang riset dan kemampuan akademiknya. Sehingga fokus para generasi jelas untuk mencari ilmu.
Rakyat juga jelas aktivitasnya, tidak terbebani masalah negara. Mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan saja. Tidak muncul ketimpangan, kesenjangan, dan kesusahan akibat kebijakan negaranya.
Terlebih negara dengan sistem Islam memiliki pengaturan ekonominya, untuk memberikan dan memenuhi semua kebutuhan pokok rakyatnya tanpa terkecuali. Setiap orang mendapatkan haknya secara penuh.
Gambaran negara dalam Islam akan meriayah generasi dengan serius. Sebab generasi adalah estafet negara dalam kejayaannya. Generasi Islam merupakan para pejuang kebenaran, pengisi peradaban agung nan mulia. Peradaban akan membawa negara yang berjaya pula.
Wallahualam bissawwab
Views: 18
Comment here